Mengambil Inspirasi dari Masjid Nabawi

Mengambil Inspirasi dari Masjid Nabawi

Mengambil Inspirasi dari Masjid Nabawi
Dalam kedua sumber tekstual kitab suci Al-qur’an mengenai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip hingga prosedurnya.

Dalam sebuah pertemuan saya bercerita tentang satu usaha aksi dana untuk menghidupi sebuah aliansi perdamaian di Yogyakarta.

“Teman-teman Kristen merekomendasikan untuk mengajukan proposal dana ke Gereja dan dananya cair,” kata saya takjub.

Teman saya berkelekar. “Terus orang Islam rekom tuk ngajuin ke mana La? Ke Masjid?” Sontak kami tertawa terbahak. Hal mustahil untuk mengajukan proposal ke Masjid untuk membantu satu atau dua kegiatan pemuda. Karena tidak jarang didapati masjid-masjid yang “meminta-minta” dalam proses pembangunannya. Artinya masjid masih menjadi tempat yang harus ditolong, bukan sebuah tempat yang bisa menolong.

Kemudian saya teringat dengan sejarah Masjid Nabawi yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi dalam buku berjudul Madinah. Salah satu Masjid yang selalu dikunjungi oleh umat Islam dari penjuru dunia ini,  dibangun dengan spirit kesederhanaan. Sebenarnya, saat itu para sahabat dan kaum Anshar bersedia menyumbangkan harta mereka agar Masjid Nabawi dibangun secara layak dan megah. Namun, Nabi menolak. Memang, dalam perkembangannya, Masjid Nabawi menjadi Masjid yang sangat megah sampai saat ini.

Kendati Masjid Nabawi dibangun dengan sederhana, Masjid ini memiliki ciri khas yang sangat bermakna, yakni dibangunnya Al-Shuffah, sebuah tempat untuk menampung kalangan fakir miskin. Adanya AlShuffah menunjukkan komitmen Islam untuk menolong fakir miskin dan mengentaskan kemiskinan.

Misi yang dibawa Nabi dalam pembangunan masjid adalah untuk meningkatkan kualitas iman dan kepedulian terhadap sesama yang diharapkan dapat memperkokoh solidaritas di antara umat. Di masjid inilah, Nabi mengajak umatnya untuk menguatkan ketauhidan kepada Allah, menjalin hubungan vertikal dengan-Nya melalui ibadah yang dilakukan di mesjid. Shalat berjamaah menjadi salah satu cara untuk menumbuhkan solidaritas di kalangan umat Islam. Hal lain yang lebih konkrit untuk menumbukan solidaritas adalah adanya Al-Shuffah.

Madinah adalah kota yang sangat majemuk. Sebelum Nabi datang ke Madinah, kota ini tidak memiliki ruang yang dapat mempertemukan berbagai kelompok. Tidak jarang, konflik pun terjadi di kota ini. Namun, setelah Nabi berdakwah di sana, masyarakat Madinah memiliki satu tempat untuk berkumpul. Masjid menjadi tempat untuk mempersatukan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda.

Selain itu, masjid pun menjadi pusat tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan. Nabi mengajarkan nilai-nilai keislaman, menyampaikan pesan-pesan moral dan wahyu kepada para pengikutnya. Sehingga, Nabi dapat melahirkan generasi yang dapat menyebarkan ajaran Islam.

Tidak jarang pula, Masjid sebagai tempat untuk konsolidasi sosial-politik. Saya yakin, saat Nabi melakukan konsolidasi politik di masjid, Nabi tidak menggunakan ujaran hate speech atau melakukan tindak kekerasan terhadap lawan politiknya. Suatu ketika, kaum Anshar membujuk Nabi untuk melakukan peperangan kepada kaum pagan Quraish. Tetapi, Nabi menolak, Nabi tetap memperlihatkan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi saling pengertian dan perdamaian. Menurut saya, tindakan kaum Anshor ini cukup emosional. Oleh karenanya, ketika Nabi membuat satuan-satuan pertahanan, kaum Anshor tidak dilibatkan. Nabi lebih memilih melibatkan kaum Muhajirin dalam merumuskan strategi-strategi pertahanan.

Hal ini, berbeda dengan beberapa dakwah/khutbah yang dilakukan di masjid-masjid saat Jumatan atau saat pengajian di Indonesia. Beberapa penceramah memasukan muatan politik dan ujaran kebencian kepada jamaahnya. Tentu saja, ini tidak sesuai dengan teladan Nabi Muhammad SAW.

Melihat sejarah Masjid Nabawi, membuat saya berpikir dan melihat ulang fungsi masjid di Indonesia, terutama fungsi untuk menampung dan menolong orang-orang yang tidak mampu. Tidak jarang, masjid sepi dari jamaahnya dan mulai ditinggalkan. Sekalinya masjid dipadati banyak jamaah, penceramah/khatibnya menjadikan masjid sebagai ladang untuk menyuarakan muatan politik dan menebar kebenciaan. Masjid juga menjadi ladang untuk menyebarkan paham radikalisme. Padahal masjid pada masa Nabi telah berhasil meredam konflik yang terjadi di Madinah. Mungkinkah masjid-masjid di Indonesia menjadi tempat sejuk untuk semua kalangan masyarakat dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda?

Bermula dari Masjid, Nabi Muhammad telah memberikan teladan yang baik untuk ditiru oleh umat Islam. Zuhairi Misrawi mengatakan, Nabi Muhammad telah berhasil membangun peradaban yang dapat menyatu dengan kebhinekaan, memunculkan solidaritas, mencerdaskan generasinya, mengajarkan pesan-pesan moral dan mengentaskan kemiskinan. Barangkali, jika fungsi masjid dijalankan kembali, Indonesia akan menjadi bangsa yang memiliki peradaban adilihung seperti Madinah.

Dan mungkin, jika aliansi perdamaian itu muncul saat masa Nabi, aliansi ini akan mendapatkan bantuan dana dari Masjid Nabawi. Wallahua’lam.

Laelatul Badriyah. Penulis adalah pegiat di Islami Institute dan Gusdurian Jogja.