Salah satu ayat dalam al-Qur’an yang sering dijadikan dalil untuk menyatakan Islam membuka ruang terhadap keragaman dan perbedaan adalah QS al Hujurat 13. Di mana prinsip utama ayat ini bahwa adanya perbedaan dari segi biologis (laki dan perempuan), beragam suku/budaya dan berbagai macam komunitas bangsa adalah li ta’arafuu (saling mengenal satu sama lain).
Menariknya, Tuhan mengetuk kesadaran manusia seolah ingin mengatakan “meskipun kamu itu beragam, ingat loh, yang paling bertakwalah yang akan mendapatkan kasih sayang dan kemuliaan dari-Ku bukan karena identitasmu”.
Membaca pesan Tuhan ini, saya ingin menemukan moral ideal al-Qur’an (ajaran akhlak) meminjam istilah Fazlur Rahman dengan mengaitkan dua kata kunci, yaitu apa moral ideal makna litaarafu (untuk saling mengenal) sebagai alasan Allah menciptakan ragam perbedaan? Dan apa bentuk sikap nyata manusia yang paling bertakwa (atqaakum) di sisi-Nya yang menjadikannya orang paling mulia di sisi-Nya?
Pesan saling mengenal (litaarafu) tak sekedar mengenal identitas, suku bahkan agama orang lain saja, tapi saling mengenal ditandai dengan timbulnya kesadaran dan pemahaman yang mendalam. Apa bentuk kesadaran dan pemahaman itu? dalam kitab Fath al Bayan fi Maqashid al Qur’an perbedaan didesain Tuhan dengan tujuan menciptakan perasaan sama dan setara.
Saking “seriusnya” Tuhan mengetuk kesadaran manusia bahwa perbedaan itu semestinya memberi kedewasaan untuk mengarifi perbedaan, al-Qur’an menggunakan kata li taarafuu (saling mengenal) bukan li taalamuu (saling mengetahui). Secara gramatikal bahasa semua kata yang disandingkan arafa dalam Islam punya arti yang erat kaitannya dengan perenungan, pelajaran dan pemahaman spiritual. Misalnya, Nasaruddin Umar mengatakan orang yang alim belum tentu ia menjadi orang yang arif. Sebab untuk menjadi alim sifatnya ijtihadi dan kesungguhan belajar. Tapi orang yang arif bisa jadi ia tak begitu alim tapi hati dan pikirannya terbuka dan lurus.
Begitu pun haji disebut al–hajju arafah (haji adalah arafah). Kenapa disebut arafah? karena wukuf di arafah yang menjadi rukun haji adalah bagian dari salah satu pesan ruhani-spritual bagi setiap manusia untuk menyadari kelemahan bahwa manusia setara dan sama dihadapan Yang Kuasa.
Dalam tradisi tasawwuf juga kerap digaungkan “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” sebuah penegasan untuk mau mengenal Tuhan maka arafa (harus mengenal) diri sendiri. Bahkan istilah taarufan sering terdengar sebagai proses mengenal lebih jauh antara laki dengan perempuan tak hanya fisiknya, tapi saling memahami karakter dan sikap keduanya guna membina bahtera rumah tangga.
Lantas, mengapa perbedaan itu tujuannya litaarafuu (untuk saling mengenal)? Saya menelusuri renungan ini pada teori Abraham Maslow tentang hirarki kebutuhan manusia bahwa dari lima kebutuhan dasar manusia, maka kebutuhan akan rasa aman (safety/security needs) dan penghargaan atau ingin dihargai (esteem needs) adalah keinginan semua manusia.
Setiap manusia secara psikologis ingin hidupnya aman, mendapatkan perlindungan dan tak ingin terdengar hinaan atau dikucilkan. Artinya untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidup, maka manusia membutuhkan perlindungan dan rasa aman pada setiap sudut kehidupannya. Kebutuhan psikologis tersebut, Islam memfasilitasinya dengan adanya aturan berupa perlindungan yang kerap disebut maqashid syari’ah. Misalnya, Islam melarang keras untuk mengolok-olok atau menghina sesama manusia (QS al Hujurat 11).
Untuk apa larangan itu? ada perasaan manusia yang harus dilindungi, tak boleh dilukai dan diciderai. Atas dasar, Islam datang untuk mengayomi setiap detuk perasaan manusia. Karena itu, keberagaman yang dihadirkan Tuhan hakikatnya manusia sedang diuji apakah ia tulus menyikapi pada setiap orang yang berbeda dengannya. Dianggap sebagai ujian, sebab ada kecenderungan pada manusia akan lebih mudah terjadi gesekan bahkan konflik pada orang yang berbeda dengan dirinya.
Tak sebatas ingin mendapatkan rasa aman. Abraham Maslow tegaskan manusia ingin dihargai dan diakui keberadaannya. Teori Abraham Maslow ini tak bisa dinafikan dengan menilik sejarah manusia atas perintah Tuhan kepada Iblis untuk sujud pada Nabi Adam, adalah bagian dari penegasan-Nya pada Iblis bahwa ada sosok manusia yang harus dihargai dan diakui keberadaannya.
Kebutuhan akan diakui dan dihargai keberadaannya, memperkuat alasan bagi setiap manusia tak dibenarkan untuk merasa diri lebih baik dan mulia pada setiap kelompok, pemahaman atau aliran yang berbeda dengan dirinya. Singkatnya, keragaman pada satu sisi adalah uji mental manusia untuk mengakui dan menghargai keberadaan orang lain. Jika tidak, sama saja mengulang apa yang pernah dilakukan Iblis pada Nabi Adam yaitu tak mau mengakui keberadaan orang yang berbeda dengannya (Nabi Adam)
Oleh sebab itu, litaaraafu (saling mengenal) bukan sekedar tahu bahwa ia berbeda dengan diri kita, tapi hakikatnya mengakui, menghargai dan memberi kenyamanan pada setiap orang yang berbeda. Bahkan cara terbaik untuk menjadi manusia yang paling mulia (akramakum) di sisi Tuhan adalah toleran pada setiap perbedaan, sebab wujud dari sikap takwa adalah mengakui, menghargai dan memberi rasa aman pada orang lain.