Saya menyimak Felix Siauw di Chanel You Tube-nya, bagaimana dia caper lagi, kali ini tentang statement Ibu Nyai Shinta Nuriyah tentang tidak wajibnya seorang muslimah memakai Jilbab. Kali ini yang bakal saya bahas bukan masalah dialektika persoalan Jilbab, namun yang menarik untuk dibahas di kasus Felix adalah, setiap statement yang bernuansa keluasan dalam memaknai hukum Islam, akan dianggap sebagai sebuah gerakan De-Islamisasi.
Lebih jelas lagi, yang dianggap berbeda olehnya tak sama dengan paham Khilafah Islamiyah-nya, merupakan upaya-upaya De-Islamisasi itu sendiri. Sederhananya, yang tak sama dengan HTI-nya,adalah upaya-upaya melemahkan gerakan Islam.
Satu hal, lebih bahaya lagi adalah ketika memaknai hukum yurudis Islam dengan semangat kontekstual dibilang sesat oleh Felix, ini sangat bahaya, bahwa pemaknaan pada agama yang sangat tekstual ini mereka anggap ketaatan sempurna pada agama. Padahal ya ndak bisa seperti itu. Ada konteks yang harus dipertimbangkan, yang harus dimaknai lebih luas atas semua perubahan zaman.
Ketika Felix dalam tulisannya mengatakan, pemahaman kontekstual pada agama adalah sesat, justru ini yang sangat ngawur, mari kita buktikan, bagaimana “Konteks” itu sangat diperlukan dalam memaknai sumber-sumber yuridis Islam. Misalnya, suatu hari, Nabi pernah menghardik seorang sahabat yang diketahui melepas alas kakinya ketika shalat di Masjid, hadis masyhurnya redaksinya seperti ini “Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka shalat tidak pakai sandal dan sepatu” (HR :Abu Daud). Sekarang kita balik saja pada pernyataan Felix bahwa kontekstual itu sesat, silahkan saat ini Si Felix masuk Masjid pakai sandal, seperti dawuh Rasul tersebut.
Jadi, dahulu Rasul bersabda seperti itu, karena Masjid pada saat itu tidak memakai lantai, masih tanah atau pasir, bayangkan jika kita beragama secara tekstual semacam Felix dan Konco-konconya itu, kan kacau Islam. Abu Yusuf, salah satu murid Imam Abu Hanifah, mengeluarkan sebuah kaidah: “Jika suatu Nash muncul dilatarbelakangi sebuah tradisi, dan kemudian tradisi itu berubah, maka pemahaman kita terhadap Nash itu juga berubah.” Begini ini yang Felix ndak paham.
Jika kita ingat bahwa dahulu pernah ada Khawarij dengan segala kekakuan dan tekstualisnya mereka dalam memaknai sumber yurudis Islam, maka saat ini, Felix dan kawan-kawannya adalah Neo Khawarij yang sangat berbahaya bagi Islam sendiri, Islam sebagai agama yang sejatinya untuk menebar kasih pada semesta.
Jika kemudian nanti berhadapan dengan ayat perang misalnya, dan diartikan secara tekstual, padahal Al-Qur’an itu sangat kompleks yang untuk memahaminya, dibutuhkan banyak perangkat. Ada tafsir, asbabun nuzul (sebab turunya), ushul fiqih, balaghah, dan lainnya. Tidak cukup memahami Al-Qur’an hanya berdasarkan terjemahan. Bayangkan betapa mengerikannya Islam jika pendektan penafsirannya tekstual seperti Felix yang malah menganngap pemaknaan kontekstual itu sesat.
Maka jangan heran ketika para tekstualis ini kemudian dekat dengan ekslusivitas, kaku dan kemudian radikal, memahami sumber-sumber yurudis Islam hanya pada teks mati tanpa perangkat disiplin keilmuan dan bahkan tidak melihat konteks budaya serta keadaan zaman yang sudah berubah.
Moderasi Islam salah satunya adengan memaknai setiap sumber hukum dengan segala kehati-hatian, ditinjau dengan pendekatan dari berbagai disiplin keilmuan, ndak asal Kafir, Haram seperti si Felix itu. Sing waras ojo ngalah, jangan biarkan pemikirian picik dan berbahaya ala HTI dan sejenisnya ini memakan korban para saudara kita yang awam, taruhannya sangat besar, Islam itu sendiri dan damai serta tolerannya bangsa ini pada satu payung besar yang bernama NKRI.