Seorang bos penerbitan buku yang sekaligus teman facebook saya beberapa waktu yang lalu mengeluhkan betapa “sok” tahunya banyak saudara muslim kita perihal konflik Palestina-Israel. Dengan nada yang amat kesal, ia menyebut kalau seolah-olah mereka lebih tahu tentang situasi Palestina ketimbang intelektual cum aktivis yang getol membela Palestina, Edward Said.
Kemudian, tak berselang begitu lama setelah bos penerbitan buku tersebut berkeluh kesah, dum!!! konflik Hindu-Muslim di India meletus. Peristiwa tersebut kemudian menjadi editorial di semua media massa internasional sampai nasional, dan lalu dibicarakan di mana-mana, hingga berhasil memecah pemberitaan internasional dan nasional dari dominasi pemberitaan terkait virus Corona.
Telak, peristiwa itu menimbulkan respon dari saudara muslim kita di negeri ini yang alih-alih bersolidaritas atas nasib kaum muslim di India, mereka justru menunjukkan sikap yang tidak tepat sasaran dan sekaligus memperlihatkan betapa tidak mengertinya mereka atas persoalan konflik yang sebenarnya di India tersebut. Ringkasnya, mereka sok tahu!!!
Misalnya saja, mereka menuntut kaum Hindu di negeri kita untuk ikut bertanggung jawab atas peristiwa terbunuhnya kaum muslim dalam konflik di India tersebut. Padahal, kaum Hindu di negeri kita tidak ada ikatan sama sekali dengan kaum Hindu di India. Sekaligus, kaum Hindu di negeri kita juga sama sekali tidak terlibat dalam kasus kekerasan anti muslim di India tersebut.
Lebih jauh, kasus kekerasan yang dilakukan oleh kaum Hindu terhadap muslim di India itu sebenarnya berakar pada sikap yang sama sebagaimana banyak kaum muslim di negeri kita yang menjadi mayoritas dan merasa paling gagah dan merasa benar sendiri.
Mayoritarianisme yang berkelit-kelindan dengan konservatisme agama menjadikan kelompok ini berlaku semana-mena kepada kelompok lain yang secara kuantitas minor. Kaum Hindu di India merupakan kelompok agama yang mayor dan mereka merasa paling berkuasa di India daripada kelompok lainnya.
Sedikit menelisik sejarah, konflik antara Hindu dan Muslim di India ini sebetulnya memiliki akar yang sudah sangat lama. Pada masa India belum pecah dengan Pakistan, di sana agama Hindu dan Islam menjadi dua agama mayoritas.
Sebagian besar kaum Hindu bertempat tinggal di daerah yang saat ini menjadi negara India dan ada sebagian komunitas muslim di sana. Sedangkan, sebagian besar kaum muslim berdomisili di wilayah yang saat ini masuk ke dalam bagian negara Pakistan.
Pada masa negeri itu belum terpecah, di sana sebetulnya sudah ada benih-benih perpecahan. Kemudian, perpecahan tersebut terjadi dengan eskalasi yang sangat besar pada masa awal kemerdekaan dari penjajahan Inggris. Di antara dua kelompok mayoritas tersebut tak ada kesepakatan untuk dapat hidup bersama dalam payung keberagaman.
Akhirnya, Pakistan memerdekakan diri dengan membentuk negara Islam. Pada saat itu, minoritas muslim yang tinggal di wilayah India yang mana di sana Hindu menjadi mayoritas. Kemudian, mereka harus bermigrasi ke wilayah negara Pakistan untuk menghindari ancaman pembunuhan akibat konfik tersebut. Begitu pula sebaliknya, kaum minoritas Hindu yang tinggal di wilayah Pakistan juga harus bermigrasi ke India juga.
Pada masa itu eskalasi kekerasan sangat besar dan menelan banyak korban jiwa dari masing-masing kelompok. Konflik antar agama yang kemudian agak bergeser menjadi konflik antar negara tersebut sangat membekas pada masing-masing kelompok dan bisa jadi diantara mereka masih saling menaruh dendam.
Kemudian, kendati Pakistan telah berhasil merdeka, tetap ada saja minoritas muslim yang tinggal dan menjadi warga negara di India. Persoalan menjadi kompleks ketika kelompok Hindu yang konservatif menjadi penguasa di India. Mereka kemudian merancang undang-undang yang merugikan kelompok minoritas, wabil khusus minoritas muslim yang punya kisah lama yang saling menaruh dendam.
Sampai kemudian tiba masanya ketika minoritas muslim merasa dirugikan dengan adanya undang-undang baru tersebut dan mereka kemudian berunjukrasa. Nah, pada momen inilah kemudian kubu konservatif Hindu yang menjadi aliansi penguasa tidak terima. Dan lalu terjadilah konflik tersebut sehingga mengakibatkan jatuhnya korban meninggal sejumlah kaum muslim.
Sayangnya, persoalan yang kelewat pelik dan kompleks ini tidaklah dipahami dengan baik oleh banyak saudara muslim kita. Sehingga mereka memberikan respon yang tidak tepat sasaran dan sekaligus memiliki sikap dengan kecenderungan yang sama dengan kaum konservatif Hindu di India dengan nalar perkawinan mayoritarianisme dengan konservatisme.
Alhasil, sikap banyak saudara muslim kita yang merespon kasus tersebut dengan rekasioner dan tanpa pemahaman yang baik atas problem yang terjadi. Ini seolah memberikan konfirmasi atas apa yang menjadi keluhan bos penerbitan buku di awal tulisan ini yang mengeluhkan betapa “sok” tahunya banyak kawan muslim kita atas situasi sosial dan politik konflik yang melibatkan kaum muslim di luar negeri.
Sikap ambyar kawan muslim kita atas konflik di India ini sama persis dengan keambyaran mereka dalam merespon peristiwa-peristiwa lain yang melibatkan kaum muslim di luar negeri. Semuanya ambyar dan gagal paham; mulai kasus muslim di Palestina, Suriah, Rohingya, hingga Uighur di Cina.
Semua respon mereka atas berbagai peristiwa tersebut, alih-alih hendak bersolidaritas dan membela nasib tertindas kaum muslim di luar negeri. Justru mereka melakukan pengulangan yang sama dengan para penindas kaum muslim di berbagai wilayah konflik tersebut, yakni terus melestarikan nalar mayoritarianisme dan konservatisme. Ambyar!!!