Persoalan pidato Sukmawati yang beredar luas di layanan jejaring sosial menarik atensi dari masyarakat yang cukup luas. Apalagi setelah kehadiran media mainstream yang juga turut memperbincangkan persoalan “Soekarno dan Nabi Muhammad” tersebut, walau intensitasnya tidak setinggi di media sosial.
Pasca pengamatan beberapa kali di beberapa akun yang memiliki followers yang cukup tinggi, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku menghardik atas kesalahan orang lain di media sosial masih cukup tinggi. Dari pengunaan kata yang cukup sopan hingga penghinaan yang sangat keras. Luapan kemarahan publik di media sosial, terutama kalangan masyarakat Muslim, memang tidak bisa dianggap sepele. Sebagian ekspresi kemarahan hingga kebencian menjadi dasar perundungan terhadap pribadi yang memiliki sikap berbeda, bahkan bisa terjadi segregasi terhadap masyarakat atas perbedaan sikap ini.
Pertanyaan ini memang cukup sering didengar, mengapa orang mudah sekali menghardik di media sosial, tapi masih terlihat relevan hingga sekarang, terutama dalam beberapa kasus yang menyulut emosi masyarakat. Berbagai jawaban juga turut diajukan sebagai jawaban atas kemarahan warganet tersebut. Artikel ini mencoba menelisik permasalahan pelik ini dari sudut kebertubuhan dan identitas di media sosial.
Memang menghardik bagian dari kehidupan manusia karena emosi adalah sisi manusia yang tidak dapat disangkal. Tapi, ekspresi emosi berupa menghardik lewat media sosial adalah hal yang menarik. Sebab, ekspresi dalam media sosial termasuk menghardik dimunculkan lewat teks (berupa kata-kata), video visual, emoji hingga meme. Intonasi dan mimik muka adalah sisi yang mulai dikaburkan atau hilang dari media sosial. Tapi, media sosial malah bisa mengamplifikasi hardikan seseorang yang bisa saja tersebar luas dengan sangat mudah.
Kebersamaan menjadi sebuah keunikan yang paling bahkan menjadi identitas dalam kehidupan manusia. Masuk dalam sebuah komunitas besar adalah naluri manusiawi setiap orang, tidak banyak berbeda di media sosial gejala yang sama juga bisa ditemukan. Tapi, bukan hal yang aneh jika kita temukan fakta bahwa saat perundungan atau penghardikan sering sekali dilakukan secara berjamaah atau massif. Bagaimana ini bisa terjadi?
Dalam buku The Crowd dari Gustave le Bon dijelaskan bahwa manusia itu sering sekali melakukan sesuatu itu secara imitatif (ikut-ikutan), sehingga dia percaya bahwa semua orang yang tergabung dalam anggota sebuah crowd (kerusuhan) bergabung karena didorong oleh pilihan yang benar-benar rasional, dengan emosi yang terkontrol, atau tindakan yang sadar (reflexive behavior).
Pemahaman le Bon tersebut bisa ditarik untuk menjelaskan perilaku menghardik di dunia maya, sebab tidak semua orang yang menghardik tersebut menyandarkan perilakunya pada pilihan yang rasional, apalagi emosi yang terkontrol atau tindakan yang sadar.
Jadi, perundungan dan penghardikkan secara jemaah dilakukan di media sosial belum tentu dipahami seluruh orang yang melakukannya. Tapi, mereka sering sekali disatukan dalam bingkai isu yang sama. Isu-isu primordial tetap menjadi narasi besar, bahkan semakin membesar, di dunia maya. Di titik inilah yang kebersamaan menjadi penanda status sosial sebagai bagian dari kelompok besar (baca: mayoritas).
Selain persoalan kebersamaan, persoalan menghardik sering sekali dihubungkan persoalan hubungan pribadi antar dua person. Perdebatan di media sosial yang bisa berujung hingga perasaan emosi dan menghardik, bukan hal yang baru karena bagian dari kehidupan manusia. Tapi, minus perjumpaan fisik adalah bagian yang menarik dari perbincangan dunia siber menyoal emosi ini.
Kehadiran dunia maya harus ditelaah lebih hati-hati dan mendalam. Lantaran irisan dari “jagad nyata” ke “jagad maya” terus terjadi redefinisi berbagai terminologi seperti ruang dan waktu. Bahkan, struktur sosial juga harus bernegosiasi dengan persoalan media sosial ini. Baru-baru ini ada keinginan dari pemerintah mengawasi akun media sosial dari calon pendaftar penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN), untuk melihat apakah ada status yang dibagikan para calon yang berhubungan dengan konten radikalisme. Dari soal kemarahahan hingga konten radikal di akun media seseorang tersebut, bisakah menjadi alasan menerka sikap atau ekspresi orang, di sinilah ruang perdebatan masih terbuka luas.
Slavoj Zizek menuliskan dalam buku “Tentang Kepercayaan Agama” tentang perdebatan dunia siber, ada dua kelompok besar yang merumuskan persoalan ke-diri-an. Kelompok pertama berpendapat total atau persamaannya pikiran (pasca) manusia dengan pola perangkat lunak yang melayang bebas di antara bermacam-macam penjelmaan.
Adapun kelompok kedua malah berbeda cukup radikal, karena menegaskan keterbatasan agen (baca: manusia) yang menjelma sebagai lengkung cakrawala terakhir eksistensi manusia. Dalam kelompok ini memahami bahwa kehidupan manusia yang sangat terbatas ini diakui dan dirayakan sebagai kondisi “ada” manusia. Selain itu, kelompok ini juga memahami kehidupan sebagai hidup yang mengendap dalam dunia material yang sangat rumit, dan terus bergantung pada dunia material itu agar tetap hidup.
Zizek menambahkan bahwa ada godaan untuk melakukan sesuatu yang menuju “penubuhan” bioteknologis dengan sifatnya yang memang terus beralih dan tidak kokoh. Di sinilah pemahaman Zizek dengan mengutip Micheal Houllebecq menampilkan kelenyapan manusia dengan menyambut kelahiran jenis pasca-manusia anyar. Kehidupan manusia akhirnya terus ditarik keluar dari unsur materialnya, yang artinya ada dua person manusia yang hidup di “dunia nyata” dan “dunia maya”. Keduanya bisa memiliki kesamaan juga bisa menjadi sangat berbeda sama sekali.
Kehidupan di alam maya tersebut yang kemudian dikenal sebagai kehidupan artifisial, yang mana bisa mensubtitusi kehadiran di dunia nyata. Di titik inilah, perdebatan soal jerkah di media sosial malah semakin rumit karena perasaan pemilik akun tersebut tidak bisa dihukum langsung sebagai bagian dari ekspresi diri, sebab ada banyak hal sebagai kelindan dalam persoalan tersebut.
Hardik akhirnya tidak lagi dinilai tunggal sebagai sebuah ekspresi, bisa menjadi penanda status kebersamaan sebagai bagian dari kelompok mayoritas, walau tidak memahami secara keseluruhan persoalan yang ada di dunia nyata.
Jadi, keributan atau kemarahan di media sosial harus ditelisik lebih dalam agar tidak terjebak pada pemahaman yang salah, yang menghasilkan solusi yang salah juga. Sebagaimana dijelaskan di atas, dunia maya memang telah melakukan redefenisi berbagai hal dari kehidupan nyata yang dijalani manusia, bahkan termasuk ekspresi emosi. Mengapa orang mudah sekali menghardik di media sosial, banyak sekali kemungkinannya.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin