Menelusuri Fenomena Sport Muslim: Kejar Sunah sampai Upaya Bangkitkan Identitas Islam

Menelusuri Fenomena Sport Muslim: Kejar Sunah sampai Upaya Bangkitkan Identitas Islam

Menelusuri Fenomena Sport Muslim: Kejar Sunah sampai Upaya Bangkitkan Identitas Islam
Ilustrasi perempuan olahraga (Freepik)

Empat bundar mata menatap pada sekumpulan kuda. Mereka berkaca-kaca mencari kuda mana yang lebih perkasa dan bagus di matanya. Mereka memperhatikan kuda-kuda yang lalu lalang di tiap belokan tepat di depan tubuhnya. Mereka juga melihat harga-harga yang tertera di dinding registrasi. Mereka adalah dua perempuan memakai cadar dan tas besar di pundaknya.

Benar saja, tak berselang lama dua perempuan ini menunggang kuda dan memilih kuda berwarna hitam pekat.

Perempuan-perempuan ini menaiki kuda mengelilingi lapangan dengan cadar. Setelah mereka selesai naik kuda, ada satu laki-laki yang menghampirinya. Saya baru tahu kalau laki-laki itu adalah suami mereka yang mengantarnya ke sebuah lapangan pacuan kuda di Sukoharjo.

Kasus lain saya lihat di Boyolali, Karanganyar, dan Salatiga. Di ketiga tempat ini, tidak hanya perempuan yang menunggangi kuda, tetapi sebagian besar adalah laki-laki. Mereka memiliki penampilan berbeda.

Yang laki-laki memakai sepatu, berpakaian kostum hitam, celana cingkrang layaknya penunggang kuda profesional. Sedangkan yang perempuan menggunakan abaya, menggendong panah dan sebagian bercadar.

Sekilas kasus kedua di atas lebih mirip pada fenomena artis-artis yang keranjingan berkuda. Katakanlah seperti Shiren Sungkar, Zaskia Sungkar, Zaskirwan, Darah Arafah, Athya Rachmani, Ria Ricis, Teuku Wisnu, Irwansyah dan lainnya.

Pada kasus pertama di atas sebagian besar datang dari kelas menengah bawah. Mereka mengumpulkan dikit demi sedikit uang untuk bisa berkuda. Untuk diketahui harga menunggang kuda sangat mahal. Satu putaran saja sudah mencapai puluhan ribu rupiah. Jadi, apabila ada seseorang yang berupaya berhobby manaiki kuda dari kalangan bawah (tidak mampu), pasti mereka memiliki hasrat atau karena dorongan lain selain olahraga.

Setelah saya mencoba cari tahu, benar saja mereka digerakkan oleh nilai-nilai lain, yaitu sunnah Rasul. Mereka sangat ingin meniru hobby atau olahraga yang disenangi Nabi dan sahabat dengan mengendarai kuda. Di punggung kuda mereka sesekali melecutkan anak panah. Mereka bahkan memiliki dan membuat komunitas. Mereka menyebut dirinya: yang cowok disebut “mujahidin” dan kalau perempuan disebut “mujahidah.”

Saat mengendarai kuda, mereka mengikat kepalanya dengan tulisan “La ilaha illallah”. Meka juga membawa bendera negara Palestina yang dikibarkan di punggungnya. Mereka melakukan ini semua karena basis dalil hadis HR Bukhari: “ajarilah anak-anakkalian berkuda, berenang, dan memanah.”

Menariknya, hadis inilah juga yang menjadi doktrin mereka untuk terus menunggangi kuda. Bahkan hadis di atas juga dijadikan strategi bisnis oleh travel-travel umroh kenamaan di Indonesia. Sehingga, hari ini, kita sering melihat orang yang berumroh memilih travel yang menyediakan olahraga berkuda. Kemudian mereka membuat konten-konten menunggangi kuda di Madinah atau Dubai. Mereka mempertontonkan kuda yang besar, busana abaya serba hitam, kacamata hitam, kameramen, dan pemandangan gundukan pasir.

Apa yang bisa lihat dari fenomena berkuda muslimah dari golongan bawah ini? Saya melihat, berkuda bagi mereka bukan hanya bernilai olahraga atau hobby. Lebih dari itu, mereka menganggap aktivitas ini adalah jalan ekspresi keagamaan yang berakar pada sejarah Islam. Mereka mencita-citakan bisa melakukan olahraga seperti Nabi.

Bahkan mereka menilai bahwa berkuda adalah bagian dari sunah Nabi. Karena itu, meski keuangan terhimpit berkuda harus tetap dilestarikan meski mahal modalnya. Berkuda bagi mereka bisa mendapatkan pahala karena bisa dilakukan dalam nilai-nilai Islam dan dalam batasan syariat. Mereka tidak melihat untung rugi (mahal biaya berkuda). Yang penting bisa meniru Nabi. Mereka menyebut berkuda dengan “sport Nabi/sport Islam.”

Dalam konteks muslimah kalangan bawah hari ini, berkuda menjadi tren gaya hidup Islami. Karena inilah banyak bermunculan komunitas berkuda di Soloraya berbasis prinsip-prinsip syariah. Sejauh penelitian yang saya lihat pada kelompok ini, mereka memiliki busana khusus dengan mengenakan busana super longgar dan tetap menutup aurat.

Di antara mereka ada yang tidak ingin bercampur dengan laki-laki, tetapi ada sebagian yang tidak mempermasalahkan. Mereka juga menyediakan fasilitas berkuda Islami, perlengkapan khusus, serta komunitas yang menawarkan pengalaman berkuda syariah.

Dalam menunggangi kuda mereka memiliki doa khusus. Mereka juga menggunakan suara zikir (bismillah, Allahu Akbar, dan lainnya). Setelah selesai berkuda, mereka saling berbagi di media sosialnya dengan menggunakan musik-musik Islam. Para perempuan berkuda Islami ini tampak seperti mau berangkat berperang dan seperti memenangkan perang. Mereka merasa seperti Asma’ binti Abu Bakar dan Nusaibah binti Ka’ab, yang dikenal ikut pertempuran.

Di masa Nabi berkuda menjadi alat transportrasi dan keterampilan bertahan hidup. Hari ini, berkuda sebagai olahraga, hobby, terapi psikologis, atau bahkan sebagai simbol identitas muslimah. Transformasi ini jelas bisa dilihat dari berbagai dimensi dengan melihat pertautan keagamaan muslimah Indonesia dengan tradisi.

Transformasi keagamaan

Talal Asad menyebut perubahan seperti ini sebagai secular formations atau discursive tradition. Fenomena budaya/tradisi tidak selalu dipandang sebagai sesuatu yang tidak statis, tetapi dilihat sebagai gejala yang terus berkembang dalam proses diskursif.

Melihat transformasi berkuda muslimah pun demikian. Dia tidak bisa dipandang sebagai tradisi yang “kehilangan makna asli,” tetapi lebih sebagai proses negosiasi di mana tradisi tetap hidup dengan cara yang berbeda dalam berbagai kondisi sosialnya. Artinya, muslimah berkuda harus dilihat sebagai sesuatu yang bergerak dari tradisional ke modern. Mereka mencoba melakukan proses yang terus dinegosiasikan dalam berbagai konteks sosial, budaya, politik, dan keagamaan di sekitarnya.

Jika selama ini berkuda hanya boleh dilakukan oleh atlet profesional dengan aturan busana ketat yang oleh kelompok hijrah terlihat berbenturan dengan norma syariat karena tidak menutup aurat. Dengan makai kacamatan Asad, maka muslimah berkuda yang memakai abaya dan cadar boleh bebas melakukan yang sama dengan misi dan tujuannya.

Dalam perspektif Asad, berkuda bisa dipandang sebagai simbol kebebasan dan pemberdayaan perempuan tanpa harus memikirkan (bebas) norma-norma tradisional yang dianggap membatasi. Namun di sisi lain, dalam ruang penglihatan muslimah hijrah, berkuda justru dapat dilihat sebagai bagian dari tradisi Islam yang diperbarui, di mana perempuan tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas berkuda tanpa harus mengadopsi nilai-nilai sekuler dan lebih mengedapankan kesopanan atau syar’i.

Perspektif Asad memungkinkan kita memahami bahwa kedua narasi ini tidak selalu berlawanan. Perempuan berkuda berjalan dalam konteks sosial tergantung pada apakah muslimah tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan norma Islam atau norma sekuler. Tinggal kita melihat posisi manakah yang lebih dominan dipilih: antara tubuh yang dikondisikan oleh agama (tren abaya dan cadar) atau tubuh yang dikondisikan oleh aturan sekuler (busana berkuda profesional).

Lalu bagaimana jika berkuda dilakukan oleh muslimah yang masih terhimpit secara ekonomi? Apakah kita bisa menilai bahwa mereka sedang melakukan perjuangan melawan struktur tradisi yang membatasi pergerakannya antara si kaya dan si papa. Atau dalam rangka memperjuangkan: hobby sunnah mahal, nggak harus kaya?