Hari-hari terakhir ruang publik kita kembali dihebohkan dengan isu gorengan soal penghapusan mata kuliah agama. Kabar yang ternyata setelah ditelusuri kembali adalah berita bohong. Bagi saya persoalan dari mata pelajaran agama bukanlah apakah mata pelajaran agama harus dihapuskan atau harus dipertahankan.
Paling krusial untuk difikirkan oleh pemerintah saat ini adalah mata pelajaran agama harus direformasi dan direjuvenasi. Apabila pelajaran agama ingin memberikan kontribusi nyata bagi penguatan akal budi dari manusia Indonesia maka substansi pengajaran harus memperhatikan dimensi nalar-intelektual, hikmah kebijaksanaan dan empati serta rasa-kesenian.
Khazanah keagamaan Islam dan agama yang lain memiliki banyak sekali kekayaan literatur yang luar biasa untuk menunjang pengajaran demikian.
Saya belum membaca atau melihat misalnya dalam pengajaran agama tentang bagaimana surat perdamaian yang penuh rahmah dari Rasulullah kepada para pendeta dan suster Biara St Catherine yang secara detail mengabarkan salam perdamaian Nabi Muhammad SAW kepada ummat Kristen diajarkan. Juga bagaimana pengabaran Tauhid dilakukan oleh murid utama kesayangan Rasulullah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib kwh seperti tertera dalam Nahjul Balaghah.
Aforisma-aforisma Jalaluddin Rumi dalam Mastnawi dan Fihi Ma Fihi, dan inisiatif Santo Francis Asisi bertemu Sultan kekhalifahan untuk memperjuangkan perdamaian saat era perang salib semestinya juga didiskusikan agar anak didik memahami bahwa ada juga sosok manusia mulia diluar agamanya. Al-Hikam dari Ibn Athoillah diajarkan sebagai rujukan dimensi hikmah dan akhlak dalam pelajaran agama. Kekayaan karya-karya sastra dan seni seperti Musyawarah Burung karya Fariddudin Attar, Hayy Ibn Yazqan karya Ibn Tufayl dan puisi-puisi Muhammad Iqbal yang begitu elegan diajarkan dalam pelajaran agama.
Dalam hubungan antara Islam dan sains serta filsafat ranah yang jarang disentuh dalam pelajaran agama, perlu untuk diperkenalkan bukan saja soal bagaimana kalangan akademisi Islam telah memberikan sumbangan besar pada dunia seperti intelektual bermazhab Sunni Ibn Khaldun yang meletakkan batu pertama pada analisis ilmu sosial berbasis empiris sosial science tapi juga kalangan filsuf yang berkompeten dalam ilmu kesehatan dan astronomi seperti Ibn Sina dan Al-Kindi yang bermazhab Syiah, sehingga ada penghormatan lintas mazhab yang saat ini menjadi persoalan dan krisis dalam peradaban Islam.
Dalam terang hikmah, empati dan logika seperti itu misalnya maka ketika menafsirkan hadits Nabi soal bahwa pada saatnya nanti pemelukku ada 73 golongan hanya satu yang akan selamat. Maka tafsir berdasar keluasan akal budi (logika, hikmah dan rasa) akan membuat anak didik menginsyafi bahwa yang 1 golongan itu ada di golongan-golongan yang banyak, dan dari golongan yang banyak tadi tidak akan selamat ketika tidak merujuk pada yang satu yaitu mereka yang tidak mengamalkan hikmah toleransi dan empati kepada yang berbeda.
Tentu ini membutuhkan perhatian serius dari banyak pihak, agar pelajaran agama memberikan kontribusi bagi kemajuan Indonesia.