Meneladani Julukan Nabi “al-Mutawakkil” dalam Keseharian

Meneladani Julukan Nabi “al-Mutawakkil” dalam Keseharian

Meneladani Julukan Nabi “al-Mutawakkil” dalam Keseharian

Syaikh Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam Zadul Ma’ad, Jilid 1, halaman 115, menyebut Nabi Muhammad memiliki nama Al Mutawakkil, orang yang bertakwa. Dalam Shahih Al-Bukhari dari Abdullah bin Amr, Allah memberi nama pada Nabi Muhammad yaitu Al-Mutawakkil. Arti dari nama tersebut adalah tidak keras, tidak kasar, tidak gaduh di pasar-pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan, bahkan memaafkan dan berlapang dada.

Berusaha untuk tidak keras kepada orang lain.

Nabi adalah sosok yang fleksibel sehingga bisa beradaptasi dengan situasi dan lingkungan. Tidak memaksakan satu pendapat jika memang membebani secara berlebihan kepada orang tersebut. Ada seorang pemuda ingin berangkat ke medan tempur, justru beliau suruh pulang untuk merawat orang tua yang sakit. Di lain kesempatan juga tidak menghukum pencuri barang yang nilainya di bawah seperempat dinar.

Bayangkan betapa merepotkan ketika di zaman serba mudah sekarang ini, kita menjadi sosok yang kaku. Terlalu kaku akan membawa pada banyak jalan buntu. Tidak bisa berdamai dengan situasi maupun orang lain membawa konsekuensi berat, seolah hidup di bumi sendirian. Seringkali hidup terbentur pada kenyataan bahwa sesuatu yang ideal belum tentu cocok dengan realita.

Hindari sikap dan ucapan kasar.

Lembut dan beradab merupakan sikap Nabi Muhammad setiap saat. Beliau bertutur kata dengan lembut dan menghindari menyinggung orang lain. Mengumpat menjadi hal yang mustahil. Nabi bermuka masam secara tidak sengaja pun segera mendapat teguran dari Allah. Kita perlu meneladani sikap ini di zaman media sosial jadi keseharian. Bahkan sebagai netizen pun tidak lepas dari kewajiban untuk menjaga sikap yang tercermin lewat tulisan dan kata-kata yang terlontar.

Generasi muda saat ini begitu mudah mengumpat dan memaki saat tengah bermain game di ponsel pintarnya. Sesuatu yang seharusnya dianggap sebagai permainan justru memainkan emosi si pemain. Tanpa kenal waktu dan tempat, para pemain ini mudah terpicu ejekan, makian, sehingga terombang-ambing kekalahan dan kemenangan yang bersifat semu dan tidak berdampak apa-apa di dunia nyata, ya, kecuali kalau dia memang seorang atlet e-sport. 

Tidak gaduh di pasar-pasar.

Pasar adalah tempat transaksi berbagai hal sedari peradaban manusia terbentuk ribuan tahun. Wajar saja di dalamnya terdapat keramaian yang melebihi tempat lain. Tawar menawar, jual beli, sampai umpatan dan makian sudah umum terdengar. Alih-alih ikut dalam bising, Nabi memberi contoh agar tetap tenang meski di tengah pasar. Fokus pada diri sendiri tanpa pedulikan aib orang lain yang mungkin tengah tersebar. Bahkan berjualan dengan elegan dan nilai moral bisa kita tiru.

Saat ini, pasar tak hanya fisik dan bangunan, namun juga ada pasar online. Pasar daring yang berjualan live streaming sudah tak terhitung lagi. Mereka berlomba menunjukkan sisi positif barang yang dijual. Hal yang baik dan lumrah selama tidak menghina produk lain apalagi mengunggulkan produk sendiri. Gaduh karena persaingan tidak sehat haruslah dihindari agar suasana kompetisi berjalan sesuai momentum. Bukankah kestabilan membawa kemakmuran? 

Tidak membalas keburukan dengan keburukan.

Tidak terhitung berapa banyak tindakan buruk dilontarkan kepada Nabi Muhammad sejak mendeklarasikan dakwah. Suatu saat saat Nabi tengah sujud di Kakbah, dalam Shahih al-Bukhari, Ibnu Mas’ud menyaksikan Abu Jahal menyuruh gerombolannya menaruh kotoran kambing di antara bahu sang nabi. Abu Jahal tertawa, sedangkan Nabi tetap dalam posisi sujud.

Fatimah az-Zahra, putri Nabi, membersihkan kotoran dari bahu Nabi sembari meneteskan air mata. Jangankan membalas perbuatan itu kepada Abu Jahal dan gerombolan, Nabi mengumpat pun tidak. Beliau hanya berdoa agar Allah menurunkan laknat bagi segolongan Quraisy tersebut. Doa tentu berbeda dengan makian dan umpatan.  

Memaafkan kesalahan atau keburukan orang lain.

Tidak hanya sekali dua kali Nabi memaklumi kesalahan orang lain. Memang sudah bawaan manusia untuk miliki kemungkinan salah dan lupa. Termasuk juga keburukan, tiap manusia tidak bisa lepas dari hal tersebut. Perang Uhud menjadi contoh tragis tentang kesalahan pasukan Nabi yang turun dari puncak bukit. Kekalahan dari kaum Quraisyi jadi tebusan atas reaksi merebut harta rampasan perang hingga tinggalkan puncak bukit.

Nabi tidak menjatuhkan hukuman bagi pasukan turun gunung yang kemudian jadi mangsa empuk pasukan Khalid bin Walid. Nyawa pun berguguran dan pasukan luka-luka berderet. Nabi memberikan maaf dan mendengarkan penjelasan para pemanah turun gunung itu. Tidak lantas mengucilkan atau mendiamkan mereka, Nabi justru mengajak kembali bermusyawarah.

Berlapang dada menerima apa saja.

Serangkaian teladan dari al Mutawakkil ini seperti rumus menghadapi kejadian menyakitkan di dunia. Tidak bisa dipungkiri, keseharian adalah sumber pelajaran yang seringkali terselip di antara ujian dan tantangan. Bertahan dalam kebaikan, kesabaran, dan menjaga reaksi agar tidak berlebihan bukanlah perkara mudah. Meski begitu, setiap manusia memiliki kemampuan untuk menjalani tahap demi tahap hingga berujung pada lapang dada.

Nabi menerima setiap kejadian, menyenangkan ataupun menyedihkan dengan biasa saja, tidak lantas larut dalam drama tidak perlu. Nabi mengembalikan kepada nalar dan perasaan sebagai sesama manusia, tidak menghakimi ketika memang menjumpai kesalahan orang lain, memaklumi, memaafkan, dan mengajak kembali bekerjasama meski pernah dibuat menderita.

Jadikan al Mutawakkil sebagai cita-cita sederhana saat membaca kisah Nabi menjalani hari-harinya. Bukankah sikap-sikap di atas adalah perilaku yang esensial dimiliki di zaman yang serba “mudah mengutarakan” ini? Hanya sekian detik mengetuk layar bisa membuat kita jadi monster mengerikan yang bahkan tega memangsa teman kita sendiri. Aib-aib sesama manusia bisa secara instan tersebar dan dimakan jutaan pasang mata. Tanpa kekangan kuat dan teladan hebat, tekad kita akan mudah sekarat.

Al Mutawakkil adalah nama pemberian Allah kepada Nabi Muhammad. Sebagaimana nama-nama beliau yang lain, tersimpan banyak suri teladan yang masih relevan di segala masa. Seperti sebuah aksioma, kebenaran dan kebaikan akan terus berjalan beriringan meski dihadapi banyak malam-malam penderitaan. Entah kemanapun kaki melangkah, akan mudah menemukan jalan jika rambu-rambu teladan kita ikut, meski secara perlahan.

Wallahu a’lam.

(AN)