Amar ma’ruf nahi munkar, barangkali kita sering mendengar dari salah satu ormas Islam yaitu Front Pembela Islam (FPI). Terlebih lagi, amar ma’ruf nahi munkar menjadi cita-cita mereka dan hal ini terlihat dalam setiap aksinya.
Sudah banyak aksi-aksi yang mereka lakukan demi menciptakan masyarakat yang Islami. Masyarakat Islami dalam pengertian mereka, yaitu masyarakat yang terbebas dari hal-hal yang berbau maksiat. Seperti tempat prostitusi, perjudian, dan sebagainya yang ditentang oleh masyarakat namun dilindungi oleh pemerintah.
Kita semua sudah mengetahui pemberitaan di berbagai media tentang aksi mereka. Tindakan semacam ini tentu kita harus cermat dalam menafsirkan pemberitaan tersebut. Jika tidak, maka pemahaman kita atas pemberitaan itu akan menganggap bahwa FPI adalah organisasi yang keras, dan tanpa kompromi dalam mengentaskan kemaksiatan yang ada di masyarakat.
Salah satu tokoh besar Islam yang berbicara mengenai amar ma’ruf nahi munkar alah Ibnu Taimiyyah. Beliau adalah seorang ulama yang hidup antara abad 12-13. Ibnu Taimiyyah dididik dalam keluarga yang religius. Ayahnya adalah seorang hakim pada saat Dinasti Abbasiyah. Semasa kecil beliau dibawa ke Damaskus untuk mempelajari ilmu agama Islam. Terbukti pada umur belasan tahun beliau sudah menghafal Al-Qur’an dan menguasai beberapa ilmu agama Islam, seperti Ushuluddin, Tafsir, dan sebagainya.
Beliau banyak mengarang kitab, salah satu kitabnya yang berbicara mengenai amar ma’ruf nahi munkar ialah Majmu Al-Fatawa. Menurutnya, penegakkan amar ma’ruf nahi munkar harus diiringi dengan kelemahlembutan. Ibnu Taimiyyah mendasarkan pada Hadits Nabi yang berbunyi “Kelemahlembutan akan menghiasi sesuatu yang lebih indah, sedangkan sikap keras akan mengotorinya”. Hadits lain yang menjadi rujukan Ibnu Taimiyyah ialah “Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan menyukai kelembutan atau kebaikan hati di dalam segala masalah”.
Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa, jika amar ma’ruf nahi munkar ebih banyak membawa kerusakan dibanding dengan kemaslahatannya, maka itu berarti tidak sesuai dengan perintah Allah. Sebab Allah mencintai kelemahlembutan dan tidak menyukai kekerasan.
Menurut Ibnu Taimiyyah, ada tiga sendi utama dalam beramar ma’ruf nahi munkar, yaitu; ilmu, kelemahlembutan, dan sikap sabar. Ilmu harus ada dalam beramal ma’ruf nahi munkar, kelemahlembutan harus menyertainya, dan kesabaran dalam menanggung akibatnya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah menunjuk kepada qadhi Abu Ya’la dalam al-Mu’tamad ketika ia berkata; tidaklah sesorang melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali ia harus memahami dulu segala perintah dan larangan, bersikap lembah lembut terhadap segala perintah dan larangan, dan sabar terhadap segala perintah dan larangan.
Beramar ma’ruf nahi munkar emang menjadi tanggung jawab semua umat Islam. Namun, Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya. Artinya, kita beramar ma’ruf nahi munkar harus sesuai kemampuannya, dan disertai dengan ilmu, lemah lembut dan sikap sabar.
Jika beramar ma’ruf nahi munkar seseorang tersebut melebihi kemampuannya, hal ini ditakutkan akan mengakibatkan kemunkaran yang lebih besar. Ini yang dilarang oleh Ibnu Taimiyyah. Sebab, beramal ma’ruf nahi munkar harus berakhir pada kemaslahatan bersama, bukan malah menambah lebih besar kemunkaran yang ada. Terlebih lagi hal ini dimungkinkan akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Kita telah mengetahui bersama bahwa ada hadits Nabi yang mengatakan, bahwa jika melihat kemunkaran harus dilakukan melalui tangan, lisan, dan hati. Dengan menambahkan ilmu, kelemahlembutan, dan sikap sabar, maka kita akan mengetahui kapasitas ilmu yang kita miliki dalam beramar ma’ruf nahi munkar.
Dengan demikian maka, amar ma’ruf nahi munkar yang kita lakukan tidak akan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar, melainkan kemaslahatan untuk kita bersama. Kasus FPI di atas, tentu mereka sudah mengetahui batas kemampuan dan kapasitas ilmu yang mereka miliki. Dan kita sebagai orang awam pun juga semakin tahu, bagaimana amar ma’ruf nahi munkar yang dipraktekkan oleh FPI selama ini; apakah sudah sesuai dengan ajaran Nabi?
Muhammad Mujibuddin. Penulis adalah pegiat di