HTI meyakini bahwa penegakan Khilafah Islamiyyah merupakan kewajiban agama, meskipun sebagian pakar studi Islam menilai bahwa Khilafah Islamiyyah hanyalah pengalaman sejarah (tajribah tarikhiyyah) umat Islam. Untuk melegitimasi ideologinya, HTI mempolitisasi ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi (tasyis al-nushush). Taqiyuddin Al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam karyanya yang berjudul Al-Daulah al-Islamiyyah hlm. 3 mengutip hadits:
تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكا عاضا، فيكون ما شاء الله أن يكون، ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها، ثم تكون ملكا جبرية، فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت
Artinya: Rasulullah bersabda:
“Di era kalian terdapat zaman kenabian. Atas kehendak Allah kenabian itu ada lalu diangkat oleh Allah atas kehendakNya pula. Lalu akan ada Khilafah yang mengikuti jalan kenabian atas kehendakNya lalu diangkat atas kehendak-Nya pula. Kemudian akan ada kekuasaan zalim; ia ada atas kehendakNya dan akan diangkat atas kehendaNya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator; ia ada atas kehendakNya dan akan diangkat atas kehendaNya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti jalan kenabian. Lalu Nabi diam.”
Hadits ini terdapat dalam Musnad Imam Ahmad (no. 18430), Musnad Abu Dawud al-Thayalisi (no. 439) dan Sunan¬-nya Al-Bazzar (no. 2796). Syaikh Al-Arnauth berpendapat bahwa sanadnya berstatus Hasan. Al-Albani menilai hadits tersebut Shahih.
Berdasarkan hadits di atas, kelompok HTI meyakini bahwa Khilafah merupakan ajaran Rasulullah saw. karena secara tekstual disebut dalam haditsnya. Namun ilmu hadits tidak sesempit itu; ada ilmu jarh wa ta’dil yang berfungsi untuk menilai kejujuran dan kebohongan periwayat, ada ilmu naqdu sanad wal matan yang berfungsi menelaah secara kritis mata rantai periwayatan dan substansi kandungan hadits.
Syaikh Dr. Shalahuddin al-Idlibi, ahli hadits penganut madzhab Syafi’iyyah yang menggeluti kajian kritis hadits sekaligus pengajar di Universitas Al-Imam bin Su’ud Al-Islamiyah, berpendapat bahwa hadits rujukan HTI di atas meskipun dinilai hasan dan shahih menurut sejumlah ulama, namun apabila diteliti lebih mendalam memiliki kelemahan-kelemahan. Hadits di atas diriwayatkan melalui enam jalur:
Pertama jalur riwayat Abi Ubaydah bin al-Jarah, yang sangat lemah sebab Makhul Dimasyqi tidak langsung mendengar dari Abu Tsa’labah sehingga terputus jalur periwayatannya.
Kedua, Dawud al-Thayalisi, Ibnu Abi Ashim, Abu Ya’la, al-Bayhaqi dan Al-Thabrani meriwayatkan hadits di atas dari Layts bin Abi Sulaim, seseorang dari Kufah yang dianggap lemah riwayatnya karena haditsnya banyak yang bercampur aduk.
Ketiga, terdapat dua perawi bernama Mas’ud bin Sulayman dan lelaki dari Qurays yang tidak dikenal serta mata rantainya dibuat-buat seolah-olah tersambung. Dalam mata rantai ini juga terdapat nama Hasyim bin Basyir yang oleh ahli hadits dinilai sering melakukan tadlis, mengaburkan redaksi hadits agar seolah-olah ia mendengar langsung dari gurunya, padahal kenyatannya tidak;
Keempat, diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hamad dari Yahya bin Sa’id al-Athar. Yahya bin Sa’id al-Athar adalah perawi yang hadits-haditsnya ditinggalkan dan tidak dianggap;
Kelima, di dalam jalur ini terdapat Abdurahman bin Jubayr yang mendengar hadits dari Abi Ubaydah bin Jarah. Mata rantai ini sangat janggal sebab mereka berdua tidak hidup sezaman. Abdurahman lahir setelah Abi Ubaydah meninggal dunia, sehingga tidak memungkinkan keduanya berbagi hadits;
Keenam, Ibnu Hanbal dalam Musnadnya meriwayatkan dari Abi Dawud al-Thayalisi dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi dari Habib bin Salim dari Nu’man bin Basyir. Dalam mata rantai ini terdapat Dawud bin Ibrahim yang oleh Syaikh Ibnu Abi Hatim, dalam Jarhu wa Ta’dil, dianggap haditsnya tidak dapat dipercaya dan ditinggalkan karena pembohong.
Dalam jalur keenam ini juga terdapat gambaran kronologis tentang indikasi kemunculan pemalsuan hadits ini. Dikisahkan bahwa pada saat Nu’man bin Basyir duduk-duduk di sebuah Masjid, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyni lalu bertanya:
“Wahai Basyir bin Sa’id apakah engkau hafal sebuah hadits dari Rasululllah saw yang berisi tentang para pemerintah?” Lalu ada seseorang bernama Khudayfah berkata; “Aku hafal khutbahnya. Rasulullah saw bersabda: ‘Di era kalian terdapat zaman kenabian. Atas kehendak Allah kenabian itu ada lalu diangkat oleh Allah atas kehendakNya pula. Lalu akan ada Khilafah yang mengikuti jalan kenabian atas kehendakNya lalu diangkat atas kehendak-Nya pula. Kemudian akan ada kekuasaan zalim; ia ada atas kehendakNya dan akan diangkat atas kehendaNya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator; ia ada atas kehendakNya dan akan diangkat atas kehendaNya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti jalan kenabian’”.
Nu’man bin Basyir adalah teman dekat Umar bin Abdul Aziz. Setelah Umar bin Abdul Aziz berkuasa menjadi pemimpin Dinasti Umawiyah pada 22 September 717 hingga 5 Februari 720, Nu’man bin Basyir mengirimkan surat dukungan kepada Umar bin Abdul Aziz yang didalamnya tercantum hadits politik tersebut. Nu’man menulis: “Aku berharap engkau adalah pemimpin umat mukmin yang datang setelah era kerajaan zalim dan diktator”.
Dari sini dapat dipahami bahwa Nu’man bin Basyir berharap Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah yang mengikuti jalan kenabian sebagaimana yang diprediksikan akan muncul kembali sesuai keterangan dalam hadits tersebut.
Kronologi ini mengindikasikan bahwa hadits politik yang dikutip oleh pendiri Hizbut Tahrir besar kemungkinan dibuat/dipalsukan pada sekitar tahun 717 sampai 720 sebab Umar bin Abdul Aziz berkuasa hanya 2 tahun lebih 136 hari. Kesimpulan ini senada dengan pendapat Dr. Sulaiman Dhahyan, peneliti dari Universitas Qashim, Arab Saudi. Ia berpendapat bahwa hadits rujukan Hizbu Tahrir tersebut termasuk hadits-hadits politis yang banyak bermunculan di era kekuasaan Umawiyah dan Abasiyah. Tujuan pemunculan hadits-hadits palsu tersebut adalah untuk menjustifikasi kekuasaan agar terkesan Islami serta untuk melawan kelompok oposisi. Pendapat ini jauh-jauh hari juga telah diutarakan oleh Dr. Ahmad Amin, dalam kitabnya Fajrul Islam. Menurutnya hadits-hadits yang mengandung unsur-unsur kepentingan politik merupakan produk kepentingan politik para penguasa dan ulama-ulama istana.
Dengan memahami persoalan di atas, kita sebagai warga Negara Indonesia hendaknya tidak mudah terdoktrin oleh para penganut HTI yang ternyata dasar-dasar ideologisnya sangat problematis.
Wallahu a’lam bishshawab.
*) Irwan Masduki, alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir