Dari segi pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi dua: muthlaqah dan muqayyadah. Ibadah muthlaqah adalah ibadah yang pelaksanaannya tidak diatur. Seperti sedekah, tidak ditentukan kapan, kepada siapa, dan jumlahnya berapa.
Ibadah muqayyadah merupakan kebalikan dari muthalaqah. Jenis ibadah muqayyadah, ditentukan siapa pelakunya, kapan waktunya, dan apa-apa persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi.
Puasa termasuk jenis ibadah muqayyadah. Misalnya dari segi waktu pelaksanaan, puasa terbatas pada bulan Ramadhan, sejak fajar terbit sampai matahari terbenam, tidak lebih tidak kurang. Bahwa waktu puasa sehari penuh, ditegaskan Allah Swt. dalam al-Qur’an yang artinya:
“Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) Malam.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Dalam berpuasa memang dianjurkan untuk mempercepat berbuka (ta’jil al-fithr) dan mengakhirkan sahur (takhir as-sahur). Tetapi harap diingat, anjuran mempercepat berbuka itu berlaku apabila sudah diperoleh keyakinan matahari telah terbenam. Jadi, jika sifatnya masih dugaan atau ragu-ragu, jangan cepat-cepat berbuka.
Kedudukan waktu dalam ibadah puasa penting sekali sehingga menuntut perhatian yang serius dari shaim (orang yang berpuasa) untuk mengetahuinya. Puasa yang tidak dimulai sejak fajar atau sudah diakhiri sebelum Maghrib tidak sah.
Waktu ibadah harus sesuai dengan kenyataan, tidak cukup hanya berdasarkan keyakinan atau dugaan semata. Misalnya, kalau seseorang dengan cara atau metode tertentu telah meyakini atau menduga dengan kuat waktu dhuhur telah tiba, lalu mengerjakan shalat, tetapi dalam kenyataannya waktu dhuhur belum tiba, maka shalatnya harus diulangi lagi. Ini mengikuti kaidah fiqih: “La’ibrah bi azh-zhann al-bayyin khata-uhu”, tidak ada pembenaran bagi dugaan yang terbukti salah. Shalat dhuhur tersebut tidak dianggap cukup sebagai pemenuhan kewajiban, karena ia didirikan dia atas dugaan yang kemudian terbukti salah. Sedangkan dugaan semacam itu tidak mempunyai tempat dalam sistem hukum Islam.
Demikian halnya dengan puasa. Puasa yang disudahi berdasarkan dugaan bahwa waktu buka telah tiba (sebagaimana umumnya jika terdengar suara adzan dari radio), dan kemudian ternyata dugaan itu berlawanan dengan kenyataan, maka puasanya harus dianggap batal sebelum waktunya.
Meskipun tentu saja ketidaktahuan itu membebaskan seseorang dari dosa membatalkan puasa, tetapi hal yang sama tidak membebaskan seseorang dari kewajiban qadha’. Seseorang tersebut wajib mengganti puasa yang batal ini nanti, setelah Ramadhan berakhir.
Sumber: K.H. M. A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, hal 134-135, Khalista 2013, Surabaya