Suatu pagi cerah, di sekolah internasional yang ramai dengan anak-anak dari berbagai latar belakang, aku memulai kelas dengan rutinitas sederhana: mengucap salam dengan senyum hangat. Sekolah ini memang istimewa, karena sebagian besar siswanya berasal dari latar belakang yang sangat beragam—ada yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Buddha, bahkan ada pula yang tidak beragama.
Aku sendiri adalah salah satu guru pengajar mata pelajaran Agama Islam. Di sekolah kami, setiap waktu pelajaran agama tiba. Setiap murid masuk ke kelas sesuai agama masing-masing. Di kelas ini lah, setiap anak hadir dengan kisah dan keyakinan mereka, berbaur dalam percakapan yang terbuka dan penuh keingintahuan.
Pada suatu sesi tanya jawab, ada pertanyaan yang memecah keramaian kelas dengan sunyi mendalam. Seorang siswa mengangkat tangan dan, dengan pandangan serius, bertanya, “Bu, apakah saya bisa masuk surga bersama teman-teman saya yang beda agama?”
Pertanyaan ini menggetarkan hatiku. Sebuah pertanyaan polos yang menyentuh hal mendasar dalam hidup manusia: harapan untuk tetap bersama orang-orang yang kita cintai dan sayangi, bahkan di kehidupan setelah mati. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa toleransi yang telah ditanamkan di lingkungan sekolah telah memberi ruang bagi rasa ingin tahu mereka untuk tumbuh dan berkembang. Namun, sekaligus, ini menjadi tantangan besar bagi diriku untuk menjawab dengan logis, sensitif, dan menghormati pemahaman tiap anak.
Aku sadar, jawabanku harus menyampaikan pesan yang moderat. Aku perlu menjawab pertanyaan ini dengan pemahaman dan penghargaan terhadap nilai-nilai universal, tanpa mengurangi prinsip kepercayaan setiap agama yang diwakili di kelas.
Aku menarik napas panjang sebelum mulai menjawab. Aku sadar, kata-kataku mungkin akan menjadi pengalaman pertama siswa-siswaku dalam memahami konsep surga dan toleransi. Mereka menatap penuh harap, menanti jawaban dariku.
“Pertanyaan yang kamu ajukan itu sangat indah dan mendalam,” ujarku lembut. “Pada dasarnya, surga adalah tempat yang diimpikan oleh banyak orang untuk kembali kepada kedamaian dan kebahagiaan abadi. Bagi setiap orang, jalan menuju kebahagiaan itu bisa jadi berbeda-beda. Setiap agama memiliki pandangannya sendiri tentang kehidupan setelah mati, tapi di dalam semua ajaran itu, selalu ada harapan untuk kebahagiaan.”
Para siswa terdiam, menanti kelanjutannya.
“Di dunia ini,” lanjutku, “kita sering mendengar bahwa Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Banyak yang percaya bahwa selama kita hidup dengan kasih sayang dan kebaikan terhadap sesama, kita akan diberi pahala atas perbuatan itu. Artinya, jika kamu berteman dengan baik, mengasihi teman-temanmu, dan menghormati kepercayaan mereka, kalian sudah menanam benih kebaikan di dunia. Surga yang sebenarnya bukan hanya soal tempat yang jauh di atas sana, tapi juga tentang hidup damai dan saling menghargai.”
Seorang siswa di baris belakang mengangkat tangannya, “Jadi, kita semua bisa masuk surga meski berbeda agama?”
Aku tersenyum lembut, memikirkan pesan-pesan moderasi yang selama ini sering aku dengar. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan ini tanpa menyudutkan kepercayaan apapun, dan tetap memberikan harapan yang tulus kepada anak-anak ini?
“Begini,” jawabku, “Surga mungkin punya makna berbeda untuk setiap orang, tergantung kepercayaan mereka. Tapi Tuhan menciptakan kita untuk hidup bersama dalam keharmonisan. Jika kita menghormati satu sama lain, saling mendukung, dan menebarkan kasih, kita sudah menciptakan surga kecil di dunia ini. Tuhan melihat hati kita, bagaimana kita hidup dengan penuh kasih sayang dan toleransi. Mungkin, inilah yang paling penting.”
Lingkungan Membentuk Seseorang untuk Terbiasa Berbeda
Pertanyaan siswa itu terus membekas di hatiku hingga setelah jam sekolah berakhir. Aku menyadari, di lingkungan sekolah internasional yang inklusif seperti ini, isu keagamaan dan perbedaan keyakinan sering kali hadir dalam bentuk pertanyaan yang polos dan lugas. Di balik keingintahuan mereka, anak-anak ini merindukan dunia di mana perbedaan bukanlah penghalang untuk saling mencintai dan bersama-sama.
Aku kemudian merenungkan pentingnya pendidikan toleransi sebagai bekal hidup anak-anak didikku. Bagiku, toleransi bukan hanya sekadar menerima perbedaan, tapi juga belajar untuk memahami dan menghargai keyakinan yang tak selalu sesuai dengan kepercayaan pribadi kita. Di dalam ajaran agama yang aku ikuti, aku juga percaya bahwa kedamaian dan kebaikan adalah prinsip dasar yang harus diutamakan.
Dalam ajaran Islam, kita mengenal ummatan wasthan, yang dalam bahasa Indonesia dikenal dengan moderasi. Istilah ini sering diartikan sebagai upaya untuk membangun jalan tengah, menghargai perbedaan, dan menjaga persatuan. Bagiku, moderasi ini penting untuk diperkenalkan sejak dini, agar anak-anak ini tumbuh menjadi pribadi yang menghargai persatuan dan kedamaian. Dengan menjawab pertanyaan siswa tadi, aku merasa telah berkontribusi kecil dalam misi besar ini.
Beberapa hari setelah sesi tanya jawab itu, seorang siswi mendekatiku dengan pertanyaan lanjutan, “Bu Guru, apakah saya boleh berdoa agar teman-teman saya juga masuk surga?”
Pertanyaan ini kembali menyentuh hatiku. Aku tersenyum, lalu berkata, “Tentu saja, doa adalah ungkapan cinta dan harapan. Ketika kita mendoakan kebaikan untuk teman-teman kita, kita sebenarnya sudah menciptakan lingkungan yang penuh kasih di sekitar kita. Mungkin itulah doa yang paling indah.”
Aku menambahkan, “Kalian bisa mendoakan teman-teman kalian agar selalu bahagia, sehat, dan hidup damai. Doa seperti itu menunjukkan bahwa kalian menghargai mereka apa adanya, tanpa memandang perbedaan. Bukankah itu juga bentuk dari surga kecil yang bisa kita ciptakan di dunia ini?”
Senyum siswi itu menjawab pemahamannya, dan aku merasa lega bahwa pesan kedamaian telah sampai di hati murid-muridku.
Menciptakan Surga Kecil di Bumi
Ketika aku pulang di akhir hari, aku kembali memikirkan pertanyaan tadi. Aku tersadar bahwa tugasku sebagai guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan yang mungkin tak tertulis di dalam buku pelajaran.
Di dunia yang penuh dengan perselisihan dan kebencian, harapan anak-anak ini untuk masuk surga bersama teman-teman mereka yang berbeda agama adalah harapan yang indah dan murni. Ini adalah tanda bahwa di hati yang paling polos sekalipun, ada keinginan tulus untuk hidup dalam kedamaian bersama orang-orang yang mereka sayangi.
Aku merasa semakin yakin bahwa mengajarkan toleransi dan kasih sayang adalah bekal terbaik bagi generasi masa depan. Anak-anak ini mungkin masih muda, tetapi harapan mereka adalah cerminan dunia yang diinginkan oleh banyak orang dewasa: dunia yang penuh kedamaian, tanpa sekat perbedaan yang memisahkan.
Di akhir hari itu, aku merasa bahwa aku telah menjalani panggilanku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak hanya memberi jawaban, tapi juga membuka jalan bagi anak-anak didikku untuk tumbuh dalam kedamaian dan harapan—dua hal yang merupakan inti dari surga kecil di bumi.
(AN)