1 Agustus 1868 – 1 Agustus 2018, 150 tahun usianya. Laki-laki yang dianugerahkan Tuhan untuk negeri zamrud khatulistiwa, Indonesia. Laki-laki inilah yang membuat dada Soekarno bergetar, membuka pemahaman baru tentang Islam. Soekarno begitu terpukau hingga ia “kinthil” mengikuti kemanapun pergi laki-laki ini menggelar tabliigh.
Laki-laki ini bernama Muhammad Darwis, yang kemudian lebih dikenal oleh dunia dengan nama KH. Ahmad Dahlan, founding father Muhammadiyah. Salah-satu ormas Islam terbesar di Indonesia.
Kata kunci yang membuat Soekarno begitu terpukau pada KH. Ahmad Dahlan adalah ” teologi al ma’uun”. Seperangkat gagasan bertuhan yang membumi, yang mendefinisikan Tuhan tidak hanya “Dia yang di langit”, tetapi Tuhan menjadi bermakna jika “Dia hadir di bumi”.
Bertuhan, demikian dalam konsep teologi al ma’uun” tidak cukup hanya mengumbar berbusa dzikir dan iktikaf di masjid. Bertuhan menjadi otentik jika ia hadir menjawab persoalan-persoalan umat.
Ahmad Dahlan dengan rezim teologi al ma’uun bekerja di ranah itu. Sejak awal berdiri, Muhammadiyah sadar diri untuk agresif berkarya mendirikan sekolah-sekolah, klinik-klinik kesehatan, dan usaha amal lainnya yang didedikasikan untuk mereka yang miskin dan orang awam.
Bung Karno, dalam sebuah kesempatan, berujar : “Tuhan berada di gubuknya orang miskin”. Jelas, kata-kata yang meluncur dari bibir Soekarno itu merupakan hasil internalisasi begitu rupa teologi al ma’uun.
Ahmad Dahlan mengajarkan pada kita bahwa mencintai orang miskin dan membantu orang miskin adalah salah-satu prasyarat mendapat gelar “Islam Kaffah”.
Untuk konteks kekinian dan kedisinian, Muhammadiyah jangan sampai terjebak hanya pada “glorifikasi” atas karya-karya Ahmad Dahlan. Ahmad Dahlan bekerja untuk konteks “saat itu” dan Muhammadiyah abad 21 wajib ‘ain bekerja untuk konteks “saat ini”, meskipun tidak menafikan konteks “saat itu”.
Isu seperti korupsi, Narkoba, pluralisme, kerusakan lingkungan, global warming, kekerasan seksual, pembuangan bayi yang lahir di luar nikah, KDRT, akses untuk kaum difable dan masih banyak persoalan umat lainnya yang membutuhkan sentuhan kader-kader Muhammadiyah, para penggerak teologi al ma’uun.
Saya bermimpi, kelak, Muhammadiyah mempunyai rumah singgah untuk para korban perkosaan dari Sabang sampai Merauke. Saya bermimpi suatu saat Muhammadiyah mempunyai lembaga pendidikan yang ramah pada kaum difable, dari PAUD sampai Universitas. Saya bermimpi suatu saat Muhammadiyah menjadi motor utama melawan kerusakan lingkungan. Saya bermimpi suatu saat Muhammadiyah mempunyai tim advokasi yang khusus menangani para buruh, dan seterusnya dan sebagainya.
Pendek kata, mencintai Ahmad Dahlan, mencintai Muhammadiyah berarti harus pula mencintai umat dengan segala masalahnya. Menjadi muslim kaffah berarti wajib menolong mereka yang tertindas, bukan merapat pada kekuasaan.
Selamat ulang tahun Gurunda KH. Ahmad Dahlan, semoga rahmat dan kemuliaan tercurah.