Setiap menjelang tanggal 14 Februari, di media sosial kita selalu gaduh soal Valentine, atau yang dikenal dengan hari Kasih Sayang. Mulai dari pengharaman coklat, bentuk perayaan valentine yang dianggap menyalahi syariat, bahkan di media sosial kemarin trending #ValentieBukanBudayaKita, padahal tulisannya typo—kurang huruf ‘n’, tapi itulah orang Indonesia. Selalu lucu dan membanggakan.
Dalam Islam, mencintai dan menyayangi siapapun tak perlu menunggu hari tertentu. Karena cinta dan kasih sayang tidak dibatasi oleh waktu, sepanjang massa. Tentu agama lain pun sama: ajaran kasih mengasihi dan menyayangi harus selalu dilestarikan setiap saat kepada siapapun.
Makanya, saya sepakat kalau Hari Valentine sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama. Karena orang Nasrani yang ada di Indonesia, tidak semuanya mengamini kalau Valentine itu adalah kalender relijius. Sebagian menilai itu adalah budaya. Bahkan Romo Franz Magnis Suseno (pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat STF Driyarkara) pernah mengatakan, Valentine Day hanya sebagai ajang kapitaslis bisnis untuk melakukan keuntungan dari perayaan itu. Romo Magnis mengaku tidak mengetahui Velentine Day sebagai Hari Kasih Sayang. Sebab di dalam Katolik tak mengenal Velentine Day, hanya sekedar mempromosikan barang dagangan. (Tabloid Reformata edisi 148).
Sangat menarik, apa yang disampaikan oleh Husen Ja’far Alhadar dalam akun twitternya @husen_Jafar. Ia mencuit “Begini, Dek. Cinta itu, kalau ‘c’nya masih kecil, dirayakan besok pas Valentine atau malam minggu. Tapi kalau ‘C’nya sudah besar, kau rayakan tiap saat pun tak cukup, karena ia melampaui dimensi waktu. Dia menetes dari Sang Maha Cinta. Begitu”
Mencintai dan menyayangi dalam Islam adalah ajaran utama. Bahkan Tuhan sendiri mengenalkan dirinya dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang (QS. Alfatihah ayat 1). Manifestasi rasa kasih sayang (rahman-rahim) perlu diwujudkan dalam sikap dan tindakan seorang muslim atau orang yang beriman, yang meyakini adanya Allah Swt.
Untuk saat ini, yang paling krusial adalah tindakan menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Di media sosial, orang paling mudah marah-marah, melakukan ujaran kebencian. So, saatnya hijrah yuk dari muslim yang pemarah menjadi sosok yang ramah. Dari Muslim yang gengsi meminta maaf, saatnya mengakui kesalahan dan minta maaf kalau memang melakukan kesalahan. Toh wajar kalau manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Agama Islam itu lentur loh, jangan dibuat spaneng dan pethentengan.
Perlu diketahui bahwa tanpa kasih sayang, Islam tak mungkin mengalami akselerasi perkembangan yang cukup luas, seperti sekarang. Karena menurut saya, ajaran Islam didakwahkan oleh sosok yang mempunyai kepribadian yang sangat lembut, ramah, dan menarik. Diam dan bicaranya pun menyejukkan dan menyenangkan. Apakah kita pernah mendengar kalau Nabi Muhammad Saw itu bertindak atau berbicara kasar?
Perlu kiranya kita merefleksikan lagi apa sih pentingnya perdebatan valentine? Apakah benar valentine selalu membawa dampak buruk? Kalau mau mencintai dan mengasihi sesama, tak perlu nunggu valentine-velentinan.
Yang jelas, apapun jawaban dan perbedaan pandanganmu—apapun itu—harus dilandasi dengan kasih sayang, sehingga perbedaan apapun tidak mengakibatkan konflik atau putus hubungan persaudaraan. Umat Islam menjadi berwibawa kalau dia saling mengasihi antar sesama, bukan saling menghina dan menjatuhkan satu sama lain.
Hal itu tampak sederhana diucapkan, namun sulit dilakukan, bukan?
Muhammad Autad An Nasher, penulis adalah pengasuh di Islami Instittue Jogja.