Ada dua candaan di sosmed yang membuat saya terbahak sekaligus prihatin. Tertawa karena ini lucu betul dan prihatin karena memang demikianlah fakta ironis yang dialami sebagian saudara seiman kita.
Pertama, “Salah pergaulan, masih bisa diperbaiki, namun salah pengajian, bakal sulit betul untuk diperbaiki.”
Kedua, “Dulu, sebelum hijrah, dia jauh dari Tuhan. Setelah hijrah, tak tanggung-tanggung, seketika dia menjadi Tuhan.”
Sengaja saya menggunakan istilah “guru rohani” dengan tanda petik, bukan guru agama, guru Islam, guru hijrah, atau ustadz, apalagi kiai. Sebab, saya kira, pada hakkatnya, mau melalui jalan apa pun, komunitas atau jamaah apa pun, hal utama yang kita dambakan dari setiap perjalanan mendalami agama, Islam, hingga ke lekuk-lekuk kajian maupun amaliahnya yang paling dalam dan penuh misteri, ialah semata demi meningkatkan kualitas iman kita, berikutnya amal kita. Itu artinya tanah rohani untuk bercocok-tanam tumbuh-tumbuhan migunani.
Dalam seri biografi Syekh Abdul Qadir al-Jailani, terbitan Zaman, diberikan perbedaan makna antara sebutan “murid” dan “murad”. Murid adalah orang yang berangkat dari dirinya sendiri menginginkan pengetahuan agama. Ia persis seperti siswa atau mahasiswa di lembaga pendidikan formal kita. Sedangkan “murad” adalah orang yang diinginkan oleh sang guru rohani untuk diajarinya ilmu, juga amaliah, agama.
Umpama kita adalah orang awam yang baru kenalan dengan ilmu-ilmu agama Islam dan sangat ingin mendalaminya –derajatnya adalah murid—lazimnya kita akan berburu lembaga atau komunitas kajian atau sosok guru. Dalam proses ini, tentulah kita akan sangat ditentukan oleh lingkar-pergaulan atau lingkar-jaringan yang kita punya. Semakin luas, semakin banyaklah arus masukan dan informasi yang kita dapatkan lalu kita analisa dengan pelbagai pertimbangan. Pun sebaliknya.
Di zaman informasi yang begitu enteng-entengan bisa kita akses begini, alamiah belaka bila kita menjadikan media-media sosial sebagai sarana untuk mempertimbangkan pilihan guru rohani yang akan kita tuju atau bahkan berguru langsung via semata media-media tersebut. Kedua cara tersebut pada dasarnya baik belaka.
Hanya memang, penting dimengerti bahwa pola kedua relatif lebih riskan. Berguru ilmu agama dengan tidak bermuwajahah langsung kepada guru rohani, tidak interaktif, hanya melalui link-link yang berserakan di internet atau grup wasap, mengandung pelbagai risiko. Pertama, risiko otoritas link yang Anda akses dan, kedua, risiko daya resepsi kritis Anda sendiri.
Bila Anda benar-benar newbie, link apa yang Anda akses, rawan akan semata demikian pulalah pola pikir dan kemudian konstruksi berpikir Anda tentang suatu hukum atau narasi agama terbentuk. Ya, begitu saja. Tunggal.
Jika Anda mengakses link ceramah Gus Baha’, misal, konstruksi pemikiran Anda akan menjelma begitu. Jika Anda mengakses link ceramah Ustadz Adi Hidayat, demikianlah Anda akan menjadi. Bila Anda mengakses link ceramah Gus Muwafiq, akan demikian pulalah Anda menjelma. Bila Anda mengakses link Ustadz Sugi’, begitulah Anda akan menjadi. Dan sebagainya.
Maka, ihwal akan seperti apa paradigma keislaman yang terbentuk di kepala dan tentulah kemudian rohani Anda, tergantung pada “kebetulan” link siapakah yang Anda klik. Persis gambling: bisa kartu Anda merah, bisa pula putih.
Kini, persoalannya adalah betapa sangat nyatanya di semesta digital itu serakan link yang bertutur tentang ilmu-ilmu agama oleh siapa saja. Semuanya menyebut ilmu, tentu saja. Semuanya menyebut Allah dan Rasulnya Saw, tentu saja. Pun semuanya menukil ayat dan hadis, tentu saja.
Tetapi, paradigma-paradigma berislam yang dinarasikan oleh para penceramah yang Anda akses, tentulah tak sama. Karakter dan bahkan orientasi pun bisa tak sama. Ada yang santai, kalem, ada pula yang tegas, lugas, bahkan kasar. Ada yang tulus lillahi ta’ala, ada yang misionari, dan bahkan bertendensi politis elektoral.
Sekali lagi, ingat dan renungkan betapa paradigma berislam Anda akan menjadi seperti link ceramah yang “kebetulan” Anda klik. Inilah yang saya maksud “rawan” tadi.
Tentu, kita semua sepakat, berguru ilmu-ilmu agama kepada penceramah siapa saja, pada hakikatnya sahih belaka. Tak ada batasan tentang hal ini, walau kita pun memahami bahwa antarpenceramah memiliki kapasitas yang tak sama.
Namun, sebagai pengingat belaka, mari mawas diri dalam memilah dan memilih paradigma Islam yang bukan hanya mengajarkan dimensi keimanan, tetapi sekaligus dimensi sosialnya. Elan kedua sama sekali tak boleh kita abaikan. Ia bagian nyata dari ekspresi keimanan, ejawantah ketakwaan, dan karena itu semestinya “selaras” dengan lingkungan hidup kita yang majemuk. Dari aspek bahasa, kultur, tradisi, sosial, hingga kearifan lokalnya.
Jika Anda hidup di lingkungan bertradisi Bantul, misal, secara otomatis Anda akan terlingkup oleh karakter sosial budaya khas Bantul. Sebutlah misal ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tapi ya jangan begitu).
Umpama Anda mengasup link yang berkarakter tegas lugas hitam putih, misal tentang hukum padusan (perayaaan mandi besar menyambut Ramadhan), Anda akan menuai masalah sosial bila paradigma Islam yang Anda dapatkan itu disodorkan ke khalayak sosial Anda dengan cara tak bijaksana. Boleh saja Anda meyakini bahwa tradisi tersebut adalah bid’ah, tapi sebagai wong Bantul seyogianya Anda tak perlu bertikai dengan tetangga-tetangga Anda sendiri hanya karena Anda gagal berbijaksana para realitas kultural akibat paradigma Islam Anda tahunya bid’ah itu haram belaka, bukan?
Ngunu yo ngunu ning ojo ngunu, di titik inilah kearifan ini menjadi keniscayaan yang menyelamatkan. Perspektif Anda mesti juga dilengkapi dengan arah kemaslahatan bersama.
Begitupun bila Anda adalah newbie dalam kajian tasawuf, misal lain. Bila Anda ngeklik satu link yang menyatakan bahwa kualitas iman dan rohani kita adalah semata karunia Allah Swt, bukan karena intensitas ritual ibadah kita, cermatilah dengan mawas diri agar mendapatkan pemahaman yang lebih utuh dan jeli. Rawan bagi Anda untuk terjatuh pada pembenaran kemalasan bershalat sunnah, ngaji, dzikiran, dan sebagainya, dikarenakan Anda lalu membangun paradigma tasawuf sendiri bahwa laku peribadatan kita adalah semata kehendak Allah Swt, bukan diri kita.
Inilah bukti kerawanan berguru tanpa muwajahah alias semata mengandalkan link-link. Jadi, bagaimanapun bergunanya informasi link-link itu dengan instan, ia jauh dari ideal.
Jika diperbandingkan dengan cara berguru langsung, bermuwajahah, artinya di dalamnya bisa ada interaksi dan bimbingan langsung dari guru rohani, paradigma Islam yang Anda tangkap darinya memiliki ruang untuk mendapatkan koreksi, pendalaman, atau pengarahan. Kapasitas asal Anda dalam memahami dan menangkap pesan dan makna ceramah-ceramah guru rohani langsung Anda takkan menjadi fondasi satu-satunya lagi, tetapi mengalami fase-fase alamiah internalisasi ilmu yang tentu lebih nggenah.
Sebagai awalan, monggo saja berguru kepada guru rohani virtual. Silakan klik link-link ceramah yang Anda temukan atau sreg. Namun, di fase lanjutannya, Anda mesti berguru langsung: berkenalan, bermuwajahah, dan berinteraksi. Selain demi koreksi dan bimbingan pendalaman sang guru, metode ini diyakini membawa keberkahan berlimpah melalui doa-doa sang guru. Di link, alih-alih dapat doa guru, Anda tanya apa pun di kolom komentar, musykil ditanggapi.
Level lanjutan ini bisa kemudian menghantar Anda menggapai derajat “murad” tadi. Tentu, orang yang dimuradi sang guru, memiliki keintiman emosional dan rohani yang lebih dalam dan intensif. Pada pola begini, dapat diilustrasikan Anda senantiasa berada di bawah pancaran cahaya rohani sang guru. Bahkan di saat Anda tak sedang bersamanya.
Terakhir, secara umum, kita semua niscaya memahami dan menyepakati bahwa tangga paripurna dari kedalaman ilmu, amal, dan rohani seseorang adalah kualitas akhlak karimahnya. Semakin adiluhung akhlaknya, semakin bersinarlah rohaninya, semakin memancarlah karakter Islam yang rahmatan lil ‘alamin darinya.
Parameter jamak ini layak untuk kita jadikan pertimbangan mendasar dalam memilah, lalu memilih seorang guru rohani yang akan kita timba ilmunya dan kita gugui amal-amalnya dan kita teladani akhlak-akhlak karimahnya. Jika seseorang tak sejalan dengan prinsip-prinsip etis universal alias akhlak karimah dan asas kemanusiaan, baik dalam ucapan maupun tindakannya, bagaimana mungkin Anda sebagai murid akan menuai cahaya rohani yang rahmatan lil ‘alamin darinya? Anda justru hanya akan menjadi kasar sepertinya, bukan, atau malah lebih su-ul akhlak lagi?
Cermatlah, cermatlah, dan cermatlah.
Perbanyak bertanya untuk mencari referensi kepada lingkaran dan jejaring Anda tentang sosok guru ini dan sosok guru itu dalam aspek akhlaknya; luaskan jejaring Anda untuk mendapatkan konfirmasi yang lebih jauh dan banyak lagi, lalu simpulkanlah dengan obyektif berdasar parameter jamak tersebut.
Jangan sampai Anda yang nawaitu lillahi ta’ala-nya hendak berguru ilmu, amal, dan rohani Islami demi taqarrub ilalLah, malah menjadi bagian dari candaan awal di atas: “Salah pergaulan, masih bisa diperbaiki, namun salah pengajian, bakal sulit betul untuk diperbaiki.” Sehingga kemudian makin lama belajar agama Islam, Anda bukannya menjulang akhlak karimahnya, malah terperosok pada: “Dulu, sebelum hijrah, dia jauh dari Tuhan. Setelah hijrah, tak tanggung-tanggung, dia menjadi Tuhan.”