Seorang ibu yang baru melahirkan 3 anak kembar dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini terjadi di Aceh akibat sang ibu melakukan penipuan CPNS. Terpaksa 3 anak kembar yang baru dilahirkannya itu pun ikut “menginap” dalam penjara.
Benar, bahwa hukum harus ditegakkan. Akan tetapi melihat terpidana baru saja melahirkan 3 bayi sekaligus, secara manusiawi sepantasnya kita timbul rasa iba. Dapatkah hakim menangguhkan hukuman atas terpidana tersebut?
Di zaman Nabi Muhammad Saw pernah terjadi kasus semacam itu, tapi kasusnya bukan penipuan. Kasusnya ialah seorang perempuan yang mengaku terus terang telah berbuat zina hingga hamil. Perempuan itu meminta kepada Rasulullah Saw agar dijatuhi hukuman.
Setelah Rasulullah memeriksa perempuan itu, beliau perhatikan yang bersangkutan perutnya buncit. Setelah ditanya Nabi, perempuan itu menjawab bahwa dirinya sedang hamil. Dengan pertimbangan perempuan itu sedang hamil maka Rasulullah menangguhkan hukuman hingga yang bersangkutan melahirkan.
Setibanya masa bersalin perempuan itu kembali menghadap Nabi agar dijatuhi hukuman. Tapi lagi-lagi Rasulullah menangguhkannya dengan alasan sebagai seorang ibu perempuan itu harus menyusui anaknya. Rasulullah mengurungkan penjatuhan sanksi zina atas perempuan itu hingga tuntas masa menyusui.
Setelah lewat 2 tahun, perempuan itu kembali menghadap Rasulullah. Ia meminta agar Nabi menjatuhkan hukuman kepadanya. Barulah Rasulullah menjatuhkan hukuman zina ‘muhsan’ dengan cara dirajam sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pada saat perempuan itu dirajam dengan cara dilembari batu, ia meronta-ronta kesakitan, hingga dirinya bisa lepas, lolos, dan melarikan diri. Sahabat-sahabat Rasulullah yang menyaksikan langsung kejadian ini bermaksud menangkapnya kembali untuk diteruskan hukumannya. Tapi oleh Rasulullah niat para sahabatnya itu dicegah, dan perempuan itupun diberikan kebebasan untuk menikmati hak hidupnya.
Berdasarkan riwayat ini, alangkah bijaksananya jika pak hakim yang mulia menangguhkan hukuman kepada terpidana yang mempunyai 3 bayi kembar itu