PP No 25 tahun 2024 yang menjadi payung hukum izin menambang bagi ormas disambut baik oleh ormas keagamaan. Setelah Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama (PBNU), kini giliran Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang menyatakan menerima izin usaha pertambangan tersebut.
Dikutip dari laman tempo.co, PP Muhammadiyah menyetujui dan menerima IUP dengan sejumlah catatan, antara lain akan menambang dengan tetap menjaga lingkungan. Hal tersebut juga tersirat dalam risalah pleno PP Muhammadiyah yang menegaskan bahwa tambang Muhammadiyah nantinya merupakan tambang ramah lingkungan.
Selain terkait lingkungan, Muhammadiyah juga menyebutkan akan menjaga hubungan baik dengan masyarakat setempat. Bahkan Anwar Abbas, Pengurus PP Muhammadiyah dengan tegas mengatakan agar masyarakat setempat tidak mengedepankan emosi karena nantinya ada hitung-hitungan tersendiri. Tidak disebutkan dengan jelas, apa yang dimaksud dengan hitung-hitungan dalam konteks tersebut.
Satu hal yang cukup menarik dari pernyataan PP Muhammadiyah tersebut adalah penyebutan ‘masyarakat setempat’. Bagi praktisi pertambangan yang bersentuhan langsung dengan persoalan masyarakat lokal di wilayah pertambangan, konstruksi narasi tersebut bisa dikatakan upaya sedia payung sebelum hujan.
Artinya, Muhammadiyah sadar bahwa persoalan masyarakat lokal adalah persoalan krusial yang harus menjadi perhatian. Namun demikian, kesadaran saja tidaklah cukup untuk menghadapi peliknya meraih dukungan masyarakat, khususnya mereka yang berada di sekitar operasi tambang.
Baca juga: NU dalam Pusaran Tambang: Untung atau Buntung?
Jika dicermati lebih dalam, pernyataan PP Muhammadiyah itu sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan konstruksi narasi PBNU. Meski tidak memunculkan kata tinjauan fiqh seperti yang kerap digaungkan oleh PBNU, namun inti pernyataan tersebut mengarah pada narasi bahwa tambang ormas (baca: NU dan Muhammadiyah) akan membawa ‘maslahah’ bagi masyarakat dan lingkungan.
Konstruksi narasi bahwa tambang ormas membawa ‘maslahah’ telah dimunculkan oleh PBNU sebelumnya sebagai justifikasi untuk memuluskan rencana menambang. Narasi tersebut menuai kritik pedas dari kalangan internal NU sendiri, khususnya para aktivis lingkungan. Munculnya narasi yang sama dari PP Muhammadiyah mengesankan adanya produksi wacana oleh elit ormas keagamaan sebagai justifikasi kebenaran keputusan yang diambil. Mereka berupaya meyakinkan publik bahwa pengelolaan tambang oleh ormas dijamin membawa kemaslahatan bagi umat.
Kata ‘maslahah’ dalam konteks tambang ormas terkait erat dengan regime of truth yang memproduksi pengetahuan sebagai sebuah kebenaran. Foucault (dalam Hall, 1997: 43) menjelaskan, ada tiga cara bagaimana wacana membentuk objek, yaitu melalui distingsi antara linguistik dan praktik, pihak yang memiliki otorisasi memberi makna, dan pengklasifikasian objek di luar konteks. Bagi Foucault, “nothing has any meaning outside of discourse…….the concept of discourse is not about whether things exist but about where meaning comes from”.
Oleh karena itu, membedah terminologi ‘maslahah’ menjadi penting untuk melihat lebih dalam makna di balik kata tersebut. Untuk membongkarnya, kita tidak bisa hanya melihat dari makna bahasa yang kerap diproduksi oleh pihak yang berkuasa atas sebuah wacana. Sebab, pertambangan sebagai sebuah bisnis, lebih spesifiknya bisnis yang penuh risiko bukanlah sebuah ideologi yang cukup dibahas dari sudut pandang fiqh semata.
Baca juga: Polemik Pemberian Izin Tambang, Ketua Umum PBNU: Memanfaatkan Batu Bara itu Tidak Otomatis Haram
Konsep ‘maslahah’ dalam dunia pertambangan harus bisa merepresentasikan dua kebaikan, yaitu lingkungan dan sosial. Keduanya membutuhkan tinjauan empirik berdasarkan realitas yang ada di industri pertambangan itu sendiri bukan sekedar analisis di atas kertas. Dengan tinjauan yang komprehensif diharapkan konstruksi narasi tersebut bisa lebih dipertanggungjawabkan, bukan sekedar wacana untuk meraih dukungan massa.
Tambang Ramah Lingkungan: Narasi Berbasis Ilusi
Konstruksi narasi ‘tambang ramah lingkungan’ sebagaimana tersirat dalam risalah pleno PP Muhammadiyah dan pernyataan PBNU di berbagai media terasa sangat indah didengar. Publik diajak untuk berimajinasi bahwa tambang ormas tidak akan merusak alam sebagaimana realitas yang sering disuguhkan para aktivis lingkungan.
Perencanaan atau lebih tepatnya klaim akan diterapkannya model tambang yang ramah lingkungan seolah menjadi jawaban atas banyaknya penolakan terhadap rencana ormas keagamaan terjun di bisnis tambang.
Pertanyaannya, ketika narasi tersebut dibangun, apakah disertai riset lapangan yang memadai? Berapa banyak data yang dijadikan acuan? Siapa atau pihak mana yang memberikan pertimbangan? Berapa besaran biaya yang dipersiapkan untuk mewujudkannya? dan mampukah ormas keagamaan menyiapkan sumberdayanya?
Integritas Ormas Keagamaan di Bibir Lubang Tambang
Berbagai pertanyaan tersebut menjadi penting karena realitasnya istilah tambang ramah lingkungan tidak mencerminkan fakta pertambangan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pertambangan sangat dekat dengan aktivitas merusak alam, seperti penebangan pohon, peledakan, dan pengerukan isi perut bumi.
Oleh karena itu, bagi korporasi pertambangan yang memiliki komitmen tinggi dalam menjaga lingkungan, hal yang bisa dilakukan adalah optimalisasi praktik penambangan berbasis tata kelola lingkungan yang baik. Tujuan akhirnya adalah untuk mengembalikan rona alam ke kondisi awal seperti sebelum penambangan dilakukan.
Upaya tersebut diimplementasikan melalui model Good Mining Practice (GMP) yang mengacu pada kaidah teknik pertambangan yang baik. UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara pasal 95 menggariskan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menerapkan kaidah penambangan yang baik. Pelaksanaan kaidah tersebut diatur mendalam dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2018.
Dengan GMP diharapkan dampak negatif pertambangan terhadap lingkungan bisa diminimalisir. GMP terkait lingkungan pertambangan sendiri melibatkan berbagai langkah yang tidak mudah. Hal tersebut mencakup aktivitas reklamasi dan revegetasi area bekas tambang, pengelolaan kualitas lingkungan yang mencakup kualitas air, udara, dan tanah, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, penyiapan kolam pengendap sebelum kegiatan penambangan dilakukan, dan pengelolaan limbah B3 dan non B3.
Selain itu, secara rutin perusahaan akan melakukan serangkaian pemantauan terkait kualitas air bekas lubang tambang, air kolam pengendap agar keluaran airnya memenuhi baku mutu yang ditetapkan, dan keanekaragaman hayati di area konsesi termasuk area reklamasi. Langkah yang tidak kalah penting adalah menyiapkan desain dan melakukan tata kelola lingkungan pasca tambang, sehingga ketika korporasi selesai beroperasi tidak menyisakan kerusakan alam sebagaimana yang banyak ditemukan saat ini.
Tata kelola lingkungan pertambangan sejatinya bukan sekedar ‘mitos’ yang tidak mungkin direalisasikan. Di tengah banyaknya perusahaan tambang yang melakukan penambangan tak bertanggungjawab masih ada perusahaan yang mau dan bisa menjalankan GMP. Persoalannya adalah hal tersebut hanya mungkin direalisasikan oleh korporasi yang berpengalaman, memiliki komitmen, dan pastinya mau menganggarkan biaya pemulihan lingkungan yang nilainya cukup besar.
Sebagai gambaran, PT Kaltim Prima Coal (KPC) sebuah tambang batu bara di Sangatta, Kalimantan Timur dalam laporan keberlanjutannya (https://www.kpc.co.id/id/laporan-keberlanjutan/) menyebutkan bahwa tahun 2021 perusahaannya menggelontorkan dana senilai US$ 70.822.279 dan tahun 2022 senilai US$ 66,601,059 untuk pengelolaan lingkungan. Jika dikonversi ke rupiah dengan kurs saat ini, maka dana yang dikeluarkan setiap tahunnya setara dengan Rp 1 trilyun lebih.
Biaya tersebut dianggarkan secara khusus setiap tahunnya di luar dana jaminan reklamasi yang telah disetorkan ke negara ketika korporasi akan memulai penambangan. Meskipun demikian, kesiapan dana saja tidak menjamin kesuksesan tata kelola lingkungan. Korporasi juga harus menyiapkan sumber daya manusia yang berpengalaman agar tata kelola lingkungan di pertambangan yang sudah dirancang bisa dilaksanakan sesuai target yang ada.
Baca juga: Tulisan Ulil Abshar Abdalla, Seri Pertama: Soal Tambang dan Fikih Lingkungan
Gambaran tingginya biaya dan rumitnya tata kelola lingkungan pertambangan sejatinya sudah dipaparkan oleh sejumlah korporasi pertambangan dalam bentuk laporan tahunan. Umumnya laporan tersebut bersifat terbuka dan bisa diakses di website korporasi terkait. Membaca laporan tersebut menjadi hal penting bagi ormas keagamaan yang tengah mengangankan dirinya menjadi pebisnis tambang.
Selain belajar dari berbagai praktik pertambangan yang ada, ormas keagamaan yang sudah memutuskan menerima konsesi, sebaiknya memfokuskan diri pada penyusunan rencana reklamasi dan AMDAL secara matang. Sebab, kedua hal tersebut sangat fundamental sebagai acuan praktik penambangan yang akan dilakukannya. Dengan cara tersebut diharapkan terbangun narasi yang bisa diterima akal sehat yang dirancang berdasarkan fakta dan data bukan ilusi semata.
Tambang yang Menyejahterakan: Narasi Berbasis Mimpi
Tambang ormas keagamaan menyejahterakan umat menjadi janji manis dan jualan PBNU dan PP Muhammadiyah saat ini. Tentu saja wacana tersebut sangat layak diapresiasi. Sebuah mimpi yang diharapkan suatu hari nanti bisa terealisasi. Namun demikian, perlu disadari bahwa semua itu masih wacana yang bisa jadi berbeda dengan realitas yang ada. Wacana sendiri sangat bergantung pada siapa yang memproduksinya serta kepentingan apa yang melatarbelakanginya.
Sebelum memimpikan tambang yang bisa membawa kesejahteraan, ada baiknya kedua ormas keagamaan tersebut memahami persoalan sosial yang melingkupi bisnis tambang. Sebab, pertambangan adalah bisnis yang sangat rawan dengan isu sosial. Oleh karena itu, pada pertambangan yang menerapkan good mining practice (GMP), persoalan sosial kemasyarakatan menjadi salah satu aspek penting yang selalu diperhatikan. Hal ini sekaligus menjadi tolok ukur penerapan good corporate governance oleh korporasi.
Bagi korporasi pertambangan, kesuksesan program sosial menjadi modal besar untuk kelancaran operasi tambang. Kesuksesan program sosial akan melahirkan dukungan kuat dari masyarakat setempat yang berujung diraihnya izin sosial. Persoalannya adalah menyusun program sosial pertambangan berbeda dengan menyusun kurikulum pendidikan yang menjadi ‘expertise’ Muhammadiyah selama ini. Pelaksanaan program sosial pertambangan juga tidak semudah mengelola pesantren sebagaimana tradisi yang sudah berjalan di NU.
Baca juga: Aktivis Lingkungan Muhammadiyah Kecewa atas Keputusan Kelola Tambang
Program sosial pertambangan tidak bisa dirancang sendiri oleh korporasi. Keterlibatan stakeholder, khususnya masyarakat sekitar tambang mutlak diperlukan agar program yang dicanangkan bisa berjalan sesuai harapan. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 1 tahun 2021, pelibatan stakeholder bahkan menjadi salah satu program penilaian peringkat kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang pemetaan stakeholder mutlak diperlukan. Korporasi harus mampu menerapkan konsep ‘ethnography public relations’, sebuah hubungan yang dibangun berbasis masyarakat. Perlu dipahami juga bahwa karakter stakeholder sendiri sangat beragam sehingga menuntut penanganan yang beragam pula. Sebagai gambaran, pendekatan terhadap masyarakat lokal, akan sangat berbeda dengan pendekatan LSM, pemerintah setempat, dan juga media lokal. Mereka semua adalah stakeholder yang akan selalu berkaitan dengan operasi tambang.
Khusus terkait media, perlu dipahami bahwa terminologi media ‘mainstream’ yang selama ini dilekatkan pada media besar yang bersifat nasional, tidaklah tepat diterapkan dalam konteks bisnis pertambangan. Dalam riset yang berjudul “local media engagement: communication strategy to gain social license to operate”, Mahmudah (2022) menegaskan bahwa dalam hal pembentukan opini lokal, media lokal memegang peranan penting. Media lokal lebih menjadi rujukan bacaan masyarakat setempat yang salah satunya disebabkan oleh adanya kedekatan antara media lokal dengan pembacanya. Oleh karena itu, membangun hubungan baik dengan media lokal sangat penting agar mereka bisa menjadi kepanjangan komunikasi korporasi.
Selain karakter stakeholder, isu sosial yang harus dihadapi juga sangat beragam. Persoalan tenaga kerja lokal, pembebasan lahan, sanitasi dan kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya keahlian masyarakat sekitar tambang akan mewarnai perjalanan industri pertambangan. Hal yang paling krusial adalah ketika mereka ditumpangi oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa dan kepentingan. Dalam konteks ilmiah, mereka dikategorikan pada stakeholder “high power high interest”. Kelompok ini tidak segan-segan menggunakan isu masyarakat lokal untuk meraih kepentingan pribadi. Kondisi seperti ini akan terus dihadapi korporasi bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari praktik pertambangan.
Pertanyaannya adalah sejauhmana PBNU dan Muhammadiyah memiliki pengalaman dalam hal ini. Pengalaman mengurus umat yang relatif homogen dan bisa ditundukkan dengan pola-pola ‘kyai sentris’ bukanlah modal kuat untuk mengurus masyarakat sekitar tambang. Sebab, lingkungan sosial di sekitar tambang jauh berbeda dengan lingkungan pendidikan, khususnya pesantren. Bagi korporasi pertambangan, penanganan isu sosial jauh lebih rumit dibandingkan aktivitas menambang itu sendiri.
Cukupkah persoalan itu ditangani dengan berbagi kesejahteraan, seperti melibatkan mereka menjadi penyedia catering sebagaimana digaungkan oleh Muhammadiyah? Tata kelola lingkungan barangkali bisa diukur dan dihitung dengan langkah dan angka pasti, persoalan sosial justru sebaliknya. Tidak mengherankan jika sejumlah korporasi bisa menggelontorkan dana begitu besar untuk urusan ini. Dikutip dari riset Tarigan dkk (2023), PT Freeport Indonesia menggelontorkan dana kemitraan untuk pengembangan masyarakat senilai US$ 36 juta pada tahun 2020 dan US$ 31 juta pada tahun 2021. Sementara KPC yang barangkali isu sosialnya tidak begitu kompleks seperti halnya Freeport, tiap tahunnya menganggarkan biaya sosial senilai US$ 5 juta (https://www.kpc.co.id/id/laporan-keberlanjutan/).
Dengan anggaran kesejahteraan masyarakat yang begitu tinggi, apakah persoalan sosial otomatis terselesaikan? Dalam konteks pertambangan isu sosial sangat dinamis, sehingga uang besar saja tidaklah cukup untuk meredam persoalan sosial yang kerap muncul. Selain banyaknya kepentingan, terkadang program sosial yang digulirkan juga belum tentu sesuai dan diterima dengan baik oleh masyarakat. Disinilah pentingnya memahami tradisi dan pola hidup masyarakat setempat.
Persoalan masyarakat lokal dan isu sosial secara keseluruhan bisa semakin kompleks jika korporasi salah menyalurkan dana sosial, seperti donasi keluar daerah. Memanfaatkan dana sosial (baca: CSR) untuk kesejahteraan masyarakat di luar wilayah area penambangan adalah langkah yang tidak tepat bahkan bisa memicu konflik sosial. Sebagai gambaran, pada Mei 2022 PT Bayan Resources, perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah Kutai Kartanegara dihujani demo masyarakat dan mahasiswa di Kalimantan Timur usai menyalurkan dana CSRnya ke kampus-kampus di Jawa (https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6084301/mahasiswa-kaltim-demo-perusahaan-tambang-setor-dana-csr-rp-200-m-ke-jawa).
Untuk menghindari konflik sejenis, penyaluran dana sosial perlu dilakukan berdasarkan skala prioritas. Sebagai contoh prioritas pertama adalah desa dan kecamatan yang paling terdampak oleh aktivitas tambang, prioritas kedua area kecamatan di luar area tambang tetapi masih dalam satu kabupaten, dan prioritas ketiga adalah kabupaten di luar area operasi tapi masih dalam provinsi yang sama.
Paparan di atas bisa meluruskan cara berpikir PBNU yang ingin menyejahterakan pesantren-pesantren NU melalui hasil tambang. PBNU bisa berbagi profit – yang besarannya sendiri belum jelas – untuk menghidupi pesantren-pesantren di berbagai wilayah di Indonesia seperti yang diangankannya. Satu hal yang pasti, tujuan yang baik tersebut bisa berujung petaka jika pembiayaan diambil dari dana sosial (baca: CSR) yang menjadi hak masyarakat yang paling terdampak aktivitas pertambangan.
Berbagai gambaran tersebut juga bisa menjadi pertimbangan PP Muhammadiyah yang tengah berupaya mengambil hati masyarakat lokal melalui narasi berbagi kesejahteraan. Sebuah narasi yang akan diuji kebenaran dan efektivitasnya ketika praktik penambangan itu sendiri sudah terealisasi. Semoga.
Referensi:
Hall, S. (1997). The Work of Representation. Dalam Stuart Hall, Jessica Evans, dan Sean Nixon (ed.), Representation, halaman. 1-47. London: SAGE.
Mahmudah, Z. (2022). Local Media Engagement: Communication Strategy to Gain Social License to Operate. Prosiding konferensi Southeast Asia Conference on Media, Cinema, and Art. Center for Southeast Asian Social Studies, Universitas Gadjah Mada.
Tarigan, G., H., Radyati, M.,R., Utha, M., A. (2023). Program Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Kesehatan PT Freeport Indonesia di Era Pandemi Covid-19. Jurnal Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Vol 8 (1), halaman 112-124.
Tempo.co. (2024). Sempat Gamang, Muhammadiyah Akhirnya Ikuti Langkah PBNU Terima Izin Usaha Pertambangan. Dikutip dari https://nasional.tempo.co/read/1895745/sempat-gamang-muhammadiyah-akhirnya-ikuti-langkah-pbnu-terima-izin-usaha-pertambangan.
*Penulis adalah Doktor Kajian Budaya dan Media, bekerja di bidang public communication di sebuah industri pertambangan internasional, dan dewan pakar komunikasi publik di sebuah organisasi pertambangan.