Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) masih menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Apalagi jika itu terjadi dalam situasi konflik, seberapa jauh garis batas HAM menjadi sangat abu-abu. Konflik yang terjadi antara militer Australia dan Afghanistan adalah salah satu tamsilnya. Sayangnya, jika terjadi pelanggaran HAM, sanksi bagi pihak pelanggar kerap kali tidak menjadi perhatian publik. Lebih dari itu, bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran HAM juga masih menjadi masalah lain yang belum banyak diketahui oleh publik sebagai bentuk edukasi dan informasi.
Untuk membahas lebih lanjut dua hal tersebut, Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) beberapa waktu lalu menggandeng Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam sebuah diskusi bertajuk Menyoal Pelanggaran HAM Militer di Afghanistan, Selasa (4/5) di Swiss-Bel Hotel Pondok Indah, Jakarta Selatan. Diskusi ini diselenggarakan secara luring dengan tetap menerapkan protokol kesehatan dan juga dapat disimak secara daring melalui siaran langsung di channel Youtube IMCC.
Hadir sebagai Keynote Speaker, Prof. Amany Burhanudin Umar Lubis menyampaikan pengalamannya sewaktu bersinggungan dengan Afganistan pada 1980an ketika Afgahnistan pertama kali diserang oleh militer Amerika. Dalam serangan tersebut, Afghanistan dibela oleh Rusia, kemudian pihak lain dari Afghanistan dibela oleh Amerika.
Jadi, serangan tersebut sebetulnya adalah pertarungan antara Rusia dan Amerika. Tentu, akibat dari serangan tersebut banyak korban berjatuhan. Pada kurun waktu ini Amany dan teman-temannya menyelenggarakan kegiatan orasi dan pameran foto korban Afghanistan di Jurusan Sastra Inggris Kuliyatul Banat Al-Azhar Mesir. Ternyata kegiatan tersebut dilarang oleh pihak kampus, sehingga menyebabkan Amany dipanggil oleh pihak keamanan kampus dan diperingatkan bahwa orang asing dilarang ikut campur mengenai konflik Afghanistan.
Lalu, persinggungan kedua Prof. Amany dengan Afghanistan adalah pada medio 1990an ketika dia bertemu dengan para “mujahidin” asal Indonesia yang baru saja kembali dari Afghanistan. Persinggungan berikutnya dengan Afghanistan adalah sewaktu Amany menyaksikan proses pembentukan PCINU cabang Afghanistan di masa kepemimpinan KH. Hasyim Muzadi, dan selanjutnya terlibat dalam seminar internasional di Bali yang mempertemukan ulama-ulama Afghanisan yang pro dan yang kontra terhadap penanaman opium di Afghanistan. Dalam seminar tersebut, pihak Afghanistan meminta agar Indonesia memediasi kedua belah pihak untuk duduk bersama dan bermusyarawah mengenai solusi apapun yang terbaik untuk Afghanistan.
Pada Februari 2020, Prof. Amany dan Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi melakukan kunjungan ke Afghanistan dan membentuk sebuah jejaring yaitu Indonesia-Afghanistan Women Network. Jejaring ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu perempuan Afghanistan agar lebih berdaya, apakah berpendidikan, paling tidak dapat membantu sesama perempuan. Sebelumnya, pemerintah Indonesia telah bekerjasama dengan Afghanistan melakukan pelatihan-pelatihan bagi bidan-bidan Afghanistan berupa pelatihan promosi Kesehatan dan pertolongan bagi ibu melahirkan.
Menurut Amany, sejauh in telah terjadi sejumlah Kejahatan Perang Pasukan Khusus Australia di Afghanistan. Ini ia kutip dari rilis otoritas militer Australia. Diduga, ada 25 personel tentara Australia yang terlibat dalam pembunuhan 39 warga sipil Afghanistan yang non-Thaliban selama beroperasi di Afghanistan.
“Tindakan ini jelas melanggar hukum internasional. Temuan ini juga didukung oleh bukti-bukti di berbagai titik sejak tahun 2009 sampai tahun 2013. Pihak Australia menyampaikan bahwa Tindakan tersebut cukup memalukan karena sudah melanggar hukum internasional,” ujar Prof. Amany.
Dari bukti yang ada, warga sipil yang dibunuh berprofesi sebagai petani. Ironisnya, mereka diduga sempat mengalami mengalami penyiksaan dan pemukulan menggunkan benda keras ke badannya, bahkan ada juga yang jasadnya dibuang. Dari bukti tersebut, terlihat sekali pelanggaran HAM. Dari 19 anggota tim penyidik Australia ditemukan adanya bukti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tantara khusus Australia di Afghanistan terhadap warga sipil Afghanistan bahkan anak-anak di Afghanistan.
Lebih jauh, dari hasil penyidikan, memang tida ditemukan adanya komando atau perintah untuk menyiksa warga sipil, dan ini merupakan pelanggaran atas dasar kebencian karena orang Austalia merasa lebih unggul dan lebih pintar daripada orang Afghanistan sehingga mereka melakukan tindakan tersebut.
Senada dengan Amany, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Dr. Ahmad Tholabi Kharlie dalam sambutannya menyampaikan bahwa perang selalu menyisakan permasalahan yang serius, khusunya bagi kalangan masyarakat sipil sebagai pihak yang menjadi korban. Sejumlah negara yang dilanda perang pada akhirnya melahirkan dampak turunan yang cukup ekstrem, mulai dari aspek ekonomi, sosial, hingga perampasan hak-hak sipil.
Menurut Tholabi, dalam kasus di Afghanistan yang disiarkan oleh media elektronik dan juga rilis dari militer Australia, militer Australia sudah menemukan 13 anggota militer yang sudah melakukan pembunuhan tanpa justifikasi atau unlawful killing terhadap 39 tawanan dan warga sipil di Afganistan.
“Apapun motifnya, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena itu kasus ini harus didorong untuk dibawa ke pengadilan pidana internasional,” kata Tholabi.
Temuan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh militer Australia di Afghanistan, demikian Tholabi, bisa menjadi pemantik untuk melakukan penyelidikan bagi kasus lain yang bisa saja dilakukan oleh militer dari negara-negara lain, tak terkecuali dari kalangan Thaliban yang berlangsung sejak April 2003 yang lalu.
Sementara itu, narasumber diskusi, Irfan R. Hutagalung, mempertanyakan apa relevansi diskusi ini dengan Indonesia.
“Mengapa kita membicarakan kasus HAM yang dilakukan oleh negara lain? Karena mengutip ungkapan popular dari Marthin Luther King, injustice anywhere is a threat to justice everywhere, ketidakadilan di satu tempat adalah ancaman keadilan di manapun. Bahwa kita berhak berbicara ketidakadilan di pojok dunia manapun karena ketidakadilan itu merupakan ancaman bagi keadilan kita semua,” kata dosen Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Menurut Irfan, pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum humaniter yang terjadi di Afghanistan adalah salah satu kasus pelanggaran saja. Kasus pelanggaran ini tidak hanya dilakukan oleh satu atau dua negara, tetapi dilakukan oleh banyak negara yang belum kita ketahui siapa saja, tapi yang pasti Australia sudah mengambil inisiatif proses penegakan hukum lewat pengadilan. Ditengarai, telah terjadi pelanggaran hukum perang oleh tantara khusus Australia yang diduga dilakukan oleh 25 orang.
Irfan juga menyampaikan bahwa pelanggaran hukum perang ini adalah peraturan yang mengatur perlindungan orang yang tidak ikut berperang atau tidak lagi ikut berperang. Pelanggaran hukum perang di antaranya tertulis dalam Konfensi Jenewa. Konfensi ini mengatur tentang perlindungan bagi kedua kelompok orang tadi, yaitu orang yang tidak ikut brperang dan tidak lagi ikut berperang. Selain itu konfensi ini juga mengatur pelanggaran terhadap tatacara metode berperang, yaitu seperti menggunakan senjata kimia, mengunakan senjata yang dilarang, menghancurkan rumah sakit, dan menggunakan racun. Itu semua adalah metode perang yang dilarang.
Menegaskan Irfan, aktivis HAM, Refendi Djamin, membeberkan data mengenai tingginya pengungsian di wilayah Asia Pasifik baik itu akibat konflik maupun bencana alam. Dalam 20 tahun terakhir tercatat bahwa akar dari tingginya arus pengungsi ke wilayah asia pasifik adalah konflik di Afghanistan.
Menurut senior advisor di Human Right Working Group Indonesia ini, relevansi diskusi yang membahas pelanggaran HAM negara lain bagi Indonesia adalah terkait dengan peran kita berdasarkan amanah konstitusi dan amandemen konstitusi untuk aktif dalam perdamaian dunia, menjunjung tinggi HAM dan itu semua tercantum sebagai amanah konstitusi yang diterjemahkan dalam amanah undang-undang yang dimiliki oleh Indonesia.
Selain itu Rafendi juga menyampaikan bahwa Indonesia bisa belajat dari kasus yang terjadi di Australia, Indonesia bisa belajar bagaimana proses penyelesaiannya bagi kasus-kasus HAM yang dihadapi oleh Indonesia.