Kesadaran personal umat Islam pada umumnya sangatlah mempengaruhi setiap kondisi kekuasaan politik, namun keliru jika dikatakan bahwa Islam sebagai doktrin agama adalah satu-satunya basis etik dan kultur politik masyarakat muslim secara umum, baik pada masa lalu ataupun masa kekinian.
Secara historis, segala sesuatu yang dipraktikkan sebagai aturan-aturan atau sesuatu yang disebut sebagai institusi Islam, sangat banyak dipengaruhi atau bahkan didasarkan pada praktik-praktik sebelum Islam. Artinya Islam hanyalah penyempurna dari setiap sistem keyakinan yang telah lahir lebih dulu, yang secara khusus mengacu pada kawasan Timur Tengah.
Ketika Islam mulai menyebar ke banyak kawasan, baik di Timur Tengah, Afrika, sampai keluar dari batas-batas wilayahnya, praktik doktrinal umat Islam juga sangat dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal. Nilai lokalitas menjadi sesuatu yang diserap, dan secara fleksibel, Islam mampu menginternalisasi bersamaan dengan nilai-nilai lokal tersebut.
Ada banyak praktik non-Islami, seperti ekonomi dan bersosial yang memaksa umat Islam pada waktu itu untuk terus-menerus berinteraksi secara langsung dengan masyarakat non-muslim. Hal ini menjadi penting untuk dikemukakan mengingat betapa beragamnya kekuasaan wilayah dan budaya masyarakat Islam waktu itu.
Namun demikian, hubungan antara Islam dan politik, khususnya dalam masyarakat muslim, begitu kuat mengakar. Sehingga adalah sebuah ketidakmungkinan untuk memisahkan secara tegas antara keduanya, ada pula yang beranggapan bahwa secara prinsip atau pun praktik, kedua hal tersebut sama sekali tidak bisa dipisahkan.
Jika sisi historis ini dapat menjelaskan tentang kedekatan hubungan antara Islam dan politik, maka ada perlu juga untuk memahami lebih jauh bagaimana hubungan keduanya di era modern saat ini.
Hal ini penting dilakukan daripada secara terus menerus berdebat tentang apakah Islam dan politik secara mutlak dapat dipisahkan atau sebaliknya, yakni disatukan sebagai satu kesatuan yang utuh berdasarkan nilai historis itu.
Saya kira, yang lebih penting untuk dilakukan adalah mencoba mencari titik temu antara nilai-nilai yang berkembang di era modern saat ini, seperti sekularisme dan demokrasi dengan nilai-nilai Islam secara aktual.
Hal ini lebih penting daripada mencari rumusan-rumusan formulatif dalam mengimplementasikan hukum Islam yang historis ke dalam struktur politik kenegaraan.
Tentu saja, akal pikiran dan kebijaksanaan praktis yang terhimpun dalam setiap pengalaman umat Islam, dapat membantu memahami dan menilai bahwa Al-Quran dan sunnah nabi, telah banyak menyediakan wadah teoritis maupun kerangka-kerangka umum yang luas bagi sistem negara modern saat ini.
Hal ini mengacu pada pendasaran status hukum, yang terkait dengan prinsip-prinsip kedaulatan politik dan akutanbilitas hukum oleh pemerintahan dan bagaimana menyediakannya. Tentu ini sangat sesuai daripada harus secara mati-matian menegakkan negara Islam dengan menerapkan syariat atau memisahkan sama sekali antara Islam dan politik, seperti sekularisme ala Barat.
Memang, ada hubungan yang kuat antara keyakinan umat Islam dengan setiap sikap dan tindakan-tindakan keseharian, baik yang dilakukan oleh pribadi muslim maupun komunitas muslim secara luas, namun amat sangat berbahaya jika misalnya kedua hal di atas, yakni Islam dan politik disatupadukan secara mutlak.
Ini bisa dipahami bahwa jika setiap sistem keyakinan yang menjadi kesadaran kolektif umat Islam disatukan dengan setiap masalah-masalah kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial-budaya, yang sebenarnya lebih menjadi wilayah publik dan menjadi tanggung jawab legislatif dan eksekutif, maka keyakinan doktrinal umat Islam cenderung menjadi rendah dan tidak lagi otentik, khususnya dalam setiap bentuk praktik peribadatan.
Penyatuan itu, justru akan mendorong tindakan kekerasan atau pemaksaan terhadap hak asasi dan kebebasan setiap pribadi muslim. Dan lagi, dapat dipastikan akan membahayakan setiap kepentingan vital masyarakat dan negara.
Adanya penyelenggaraan fungsi publik dalam bernegara, seperti adanya badan legislatif, peradilan, atau tindakan eksekutif yang begitu kuat, lalu diiringi dengan lemahnya keyakinan dan pengalaman keagamaan setiap warga negara, justru akan melahirkan sebuah pretensi yang saling bersaing satu sama lain, lalu pada akhirnya akan lebih mengedepankan kepentingan duniawi semata.
Misalnya, dalam persaingan itu, adanya pertimbangan subjektif terkait masalah kesalehan atau sikap keberagamaan akan tampak mengacaukan faktor-faktor objektif dalam membuat suatu kebijakan sekaligus dalam pengimplementasiannya.
Demikian juga, kekacauan itu akan mempengaruhi hak dan kewajiban setiap individu maupun golongan dalam hubungannya dengan berbagai pihak, sekaligus hubungannya dengan lembaga-lembaga pemerintahan dan penyelenggaranya.
Jika ada fakta yang menunjukkan bahwa hubungan Islam dan politik tidak pernah didasarkan pada apa yang disebut sebagai ‘negara Islam’, maka yang lebih penting adalah bagaimana mencari titik temu dan keselarasan antara Islam dan sistem politik yang berkembang di era modern.
Ini jauh lebih penting, karena ajaran Islam tidak pernah menyediakan sistem yang baku dan lengkap tentang bagaimana mengatur sebuah negara.
Upaya memperjelas hubungan antara Islam dan politik sebagaimana yang dipahami oleh komunitas muslim, merupakan sebuah kepentingan untuk mempertegas dan menegakkan sistem demokratisasi yang sebenar-benarnya dan perlindungan terhadap hak asasi atas dasar kebebasan dari setiap individu.
Wallahu A’lam.