Dalam buku kumpulan esai yang berjudul Tuhan Tak Perlu Dibela (1999), di esai nomer tujuh (Dakwah Harus Diteliti) Gus Dur menulis bahwa dakwah telah dipandang gagal menjelaskan fenomena behavioral yang terjadi di kalangan audiensnya:
“Efektifkah dakwah hingga saat ini? Dan, apakah ukuran yang digunakan? Banyak pengunjung? Bukankah banyak diantara mereka mengantuk? Kalau diukur kehadiran mereka, bagaimanakah diterangkan pola perilaku mereka yang di luar forum dakwah, tidak banyak berubah? Paling banyak hanya beberapa aspek moralitas pribadi: pakai tudung kepala bagi perempuan, rajin ke masjid sementara, gemar mendermakan uang bagi yang kaya … masih harus diteliti Kembali korelasi antara banyaknya orang ke masjid dan kesadaran beragama yang memiliki kedalaman iman serta keterlibatan yang lebih bermakna.”
Bagi Gus Dur, kegagalan itu berasal dari: pertama, keterbatasan juru dakwah dalam membedah hadits ataupun ayat secara detail, yang bukan hanya secara sosiologis, tapi juga secara komunikasi (dari soal epistemologi media hingga dampak kultural yang ditimbulkannya).
“Khatibin nas ‘ala qadri ‘uqulihim, kata Nabi Muhammad. Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kemampuan akal mereka. Sebuah pesan yang kedalaman isinya tidak pernah dicoba-mengerti secara tuntas oleh para juru dakwah. Bukankah diktum nabi itu justru mengharuskan kita meneliti pelapisan masyarakat tempat mereka hidup, untuk memungkinkan penyampaian pesan keagamaan secara tuntas? Bukan dalam bentuk luarnya―seperti gaya pidato yang penuh lelucon, yang mampu menyajikan hiburan bagi pengunjung. Akan tetapi, dalam bentuknya yang hakiki, membicarakan persoalan kongkret yang sedang dihadapi.”
Sementara itu, penyebab kedua berasal dari: kecenderungan juru dakwah untuk menjadikan realita sebagai afirmasi doktrin/ideologi. Bukan menguji doktrin berdasarkan realita:
“sekarang terasa kuat sekali, dakwah masih berwatak penciptaan solidaritas di permukaan. Sekedar melucut manusia agar berakhlak pribadi yang terpuji, mengikuti kerangka ritus yang ditetapkan paham masing-masing, dan menjanjikan hadiah surga atau siksa neraka. Ditambah ‘acara tetap’: ketakutan pada serangan kebudayaan modern dan sejumlah bahaya lain yang dianggap akan menghancurkan keyakinan agama.”
Berkaca dari kritik di atas, kegagalan dakwah dalam menjawab fenomena behavioral yang terjadi di depan matanya menjadikan dakwah sebagai ‘ilmu’ dipertanyakan status keilmuannya. Hal ini ditambah juga oleh kecenderungan arogansi dakwah terhadap realita sehingga menyebabkannya limbung ketika ditanya soal orisinalitas metode, teori dan paradigmanya. Kalau dakwah diintrogasi oleh sosiolog, ahli komunikasi, ahli behavioral ataupun antropolog, masing-masing dari mereka akan mengakui bahwa ada beberapa hal, entah itu metode, paradigma, ataupun teori milik mereka, yang juga dipinjam oleh dakwah.
Tapi, dalam kesempatan yang tidak sedikit, karena kedekatannya dengan agama, dakwah sering terpeleset mengklaim lebih superior dibanding disiplin-disiplin ilmu di atas, khususnya ilmu komunikasi―yang konon dianggap kembaran versi sekulernya. Padahal, di banyak mimbar pengajian, di banyak karya ilmiah di fakultas dakwah, atau di banyak kanal media sosial, yang ditemukan adalah teknik retorik (entah yang aristotelian ataupun post-aristotelian), isu kajian budaya, produk tafsir/hermeneutik, analisa behavioral, dan lain-lain. Hanya saja, semuanya berpayung agama.
Kalau semua disiplin-disiplin ilmu itu menggugat dakwah, maka tidak ada yang tersisa dari dakwah selain doktrin agama. Apa yang membedakan dakwah dengan komunikasi marketing kalau ‘agama’ adalah episentrumnya?
Ditambah lagi, jawaban “untuk menyebarkan rahmatan lil ‘alamin” juga tidak cukup menjawab pertanyaan “apa itu dakwah” karena banyak disiplin ilmu lain atau bahkan orang/komunitas yang berhasil―atau bahkan lebih berhasil―dalam menyebarkan rahmatan lil alamin tanpa atribut Islam namun dengan substansi yang tidak kalah Islam.
Agaknya pun terbayang: kenapa kampus-kampus di negara Skandinavia tak memiliki fakultas dakwah? Padahal kesejahteraan masyarakat dan rendahnya angka kriminalnya sangat diakui. Sedangkan, dalam konteks masyarakat yang berkebalikan, ada fakultas dakwah. Apakah dakwah sebagai disiplin ilmu dilahirkan sebagai upaya umat Islam untuk memahami banalitas masa kini melalui romantisme banalitas zaman nabi?
Bagaimana dakwah bisa cukup legitimate dalam mengklaim perubahan perilaku yang ada, kalau fenomena behavioral yang disaksikannya gagal dijelaskannya? Limbungnya dakwah ketika digugat status keilmuannya oleh disiplin-disiplin ilmu konvensional berpeluang menjadi collapse, kalau: dalam jangka waktu dekat, dakwah ditodong oleh perubahan landsekap disiplin-disiplin keilmuan non-konvensional―seperti data science dan computational social science misalnya―yang saat ini tengah berlangsung.
Kasus Brexit di UK dan kasus pemilu di kepulauan Trinidad & Tobago di tahun 2016 silam telah membuktikan bahwa perubahan perilaku, sikap, psikologi dan persepsi tiap individu dapat dilakukan otomasi dan disesuaikan oleh perusahaan analis data dan perusahaan teknologi. Dua jenis perusahaan itu mempraktikkan micro-profiling dan behavioral-tunning pada skala nasional, di mana setiap orang lewat gawainya disediakan realitas yang terpersonifikasi. Psikologis, persepsi dan sikap tiap individu akhirnya terpengaruh, dan dua perusahaan tersebut berhasil menciptakan hasil pemilu yang seakan organik, padahal hasil ‘pesanan.’
Artinya, penggunaan Big Data untuk tujuan tertentu dapat menciptakan fenomena sosial yang tak bisa lagi dipotret lewat kacamata konvensional―seperti empirisme atau positivisme misalnya―dan di saat yang sama, memunculkan perdebatan baru soal status ilmu sosial itu sendiri―yang belakang makin membaur dengan ilmu dari rumpun STEM.
Andai bila Cambridge Analytica atau Facebook mengalami ‘islamisasi’, dan setiap individu didekatkan pada ‘Islam’ dan ‘kesalehan’ melalui realitas yang terpersonifikasi, maka mungkinkah dakwah (sebagai ilmu) cukup bertenaga untuk membedakan mana iman yang organik dan mana iman yang artifisial?
Di samping itu, kalau beriman, berakhlaq dan bertaqwanya seseorang dapat diotomasi lewat teknologi, maka ada beberapa hal yang mungkin timbul: pertama, dakwah akan menjadi industri ideologi yang mengihidupi orang yang terlibat didalamnya lewat monetisasi kapitalisme digital.
Kedua, status pendakwah dapat turun dari ‘ustadz’ menjadi ‘karyawan’, karena sukses atau tidaknya proses dakwah justru ditentukan oleh analis data―orang yang mengkurasi, mendistribusi, dan mengolah ceramah agama si ustadz bersangkutan.
Dengan kata lain, berubahnya lansekap keilmuan karena kehadiran disiplin-disiplin non-konvensional dapat menarik dakwah tidak hanya pada tanggungan untuk mempertanyakan ulang status keilmuannya, tapi juga mempertanyakan otonomi individu yang terlibat di dalamnya (baik ketulusan audiensnya ataupun sakralitas ustadznya). Kalau tanggungan ini tidak tuntas, maka apa yang tersisa dari sebuah ilmu? Tentu tidaklah dapat disebut ‘ilmu’ kalau anatomi dan sistem kerja di dalamnya hanya didesain untuk sekedar mengafirmasi doktrin dan limbung dalam menjelaskan perubahan realita disekitarnya.