Nyawa Intan Marbun, seorang gadis kecil tak berdosa, tak bisa diselamatkan dari maut akibat bom yang meledak di gereja bulan lalu. Ini bukti, kekerasan yang mengatasnamakan agama belakangan kian marak terjadi. Kasus terbaru adalah tertangkapnya seorang wanita ‘calon pengantin’ bom bunuh diri di Bekasi beberapa waktu yang lalu. Hal ini tentu menyedihkan, sebab agama yang seharusnya menjadi sumber spirit penghayatan terhadap keragaman, justru seringkali hadir dengan wajah anti-keragaman lewat penganutnya.
Sebelumnya, pembakaran Masjid di Tolikara, Gereja di Singkil, serta Klenteng dan Vihara di Tanjung Balai Sumatera Utara, kian menambah deretan kasus retaknya wajah toleran dari keberagamaan kita di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Persoalan sepele yang kerap melatari kasus penyerangan rumah ibadah, hanyalah api pemantik. Sedang sumbunya adalah karena krisis visi keragaman yang terjadi di tengah-tengah ummat beragama, juga akibat lemahnya peran pemerintah dalam mengelola keragaman yang ada.
Spirit Kebangsaan
Di negara majemuk seperti Indonesia, pemerintah dan berbagai pihak terkait seperti tokoh agama, bertanggungjawab untuk berada di garda terdepan merawat kerukunan, itu hanya bisa terwujud jika negara hadir menjadi pengayom semua golongan. Mengingat konflik komunal berlatar agama kerapkali terjadi, akibat adanya pembiaran dari pemegang otoritas setempat, terhadap tindakan kelompok-kelompok intoleran.
Ada satu fakta menyangkut relasi keberagamaan yang masih memperihatinkan, ketika di suatu wilayah terdapat agama tertentu yang menjadi mayoritas, pembangunan rumah ibadah agama lain menjadi begitu sulit, hal itu seakan menjadi sebuah ancaman, sehingga upaya tersebut harus digagalkan, walau harus dengan mengorbankan jiwa manusia. Api provokasi kemudian disulut, ketakutan disebar ke segala penjuru, kebencian dibenarkan atas nama perjuangan membela agama. Terjadilah proses dehumanisasi secara sistemik, rumah ibadah menjadi sasaran amuk, orang-orang menjadi terusir dari kampung halaman. Tidak hanya sampai disitu, isu non-agamapun turut membuntuti memperkeruh situasi, wacana pribumi dan non pribumi bergulir dari mulut ke mulut, telinga ke telinga, mata ke mata di alam nyata hingga jagad maya, orang-orang menjadi mudah marah dan gampang tersulut emosi. Kondisi psikologis massa semacam ini, menjadi sasaran empuk sejumlah pihak untuk menghembuskan provokasi, dengan ragam kepentingan dalam menjalankan operasinya.
Mengapa rumah ibadah selalu menjadi objek pengrusakan dikala ada yang bertikai? Sebab keberagamaan masih terbatas pada penghambaan terhadap simbol, dimana simbolisme sebuah agama selalu saja memiliki tendensi psikologis bagi penganut agama lain. Simbolisme agama yang berlebihan kerapkali melahirkan sentimen antar penganut agama, itu terjadi karena masih kuatnya rivalitas antar penganut agama untuk menunjukkan eksistensi agamanya di ruang publik. Walaupun simbolisme agama adalah sesuatu yang juga sangat penting, namun ia akan menjadi kontra-produktif jika tidak berkelindan dengan esensi dari ajaran agama tentang penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan dan nilai-nilai kemanusiaan, dimana hal tersebut menjadi perekat rasa kebangsaan di republik ini.
Kukuhnya masyarakat kita dalam menganut sebuah agama dibuktikan dengan mudahnya ketersinggungan mencuat, kala agamanya dihina atau dilecehkan, bahkan mereka akan segera marah ketika simbol-simbol agamanya digugat. Satu kasus terbaru yang masih bergulir bagai bara api, adalah dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang mengundang reaksi ummat Islam di seantero negeri.
Dalam konteks kebangsaan kita, ghirah keagamaan yang kuat, harusnya juga seiring dengan kuatnya visi keragaman dan rasa solidaritas kemanusiaan, dimana kenyataan hidup ditengah-tengah pluralitas agama, dimaknai sebagai anugerah dan potensi sosial, bukan sebagai ancaman bagi keberlangsungan eksistensi agama yang dianutnya. Adapun sikap keberagamaan yang hendak diwujudkan, adalah keberagamaan yang semakin memperkuat semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air sebagai rumah bersama, dengan keinsyafan akan Bhineka Tunggal Ika.
Kerja Kebudayaan
Keberagamaan seseorang kerapkali menjadi bencana bagi kemanusiaan, ketika kuatnya keyakinan kepada Tuhan, tidak setali dengan dalamnya perikemanusiaan. Hal itu dikarenakan perbedaan keyakinan masih ditempatkan pada perdebatan dan perebutan klaim atas kebenaran, tidak diletakkan pada prinsip kemanusiaan universal. Sehingga relasi antar umat beragama hanya berlangsung dalam toleransi setengah hati dan cenderung pasif. Toleransi pasif ditambah kurangnya dialog antar ummat beragama memupuk tumbuhnya prasangka dan kecurigaan satu dengan yang lain, pada kondisi ini, masyarakat akar rumput yang tergolong penganut agama yang taat, akan mudah termakan isu yang provokatif.
Di banyak wilayah di Indonesia, ikhtiar menciptakan kerukunan ditempuh dengan menjadikan kebudayaan sebagai pijakan bersama dalam membangun pondasi toleransi di antara ummat beragama. Kerja-kerja kebudayaan untuk menampilkan wajah keberagamaan yang penuh rahmat, menjadi jalan terang membangun perdamaian di bangsa ini. Mengingat kebudayaan memiliki mekanisme yang efektif dalam mengurai sekat sosial atas nama perbedaan agama.
Pendekatan melalui jalur kebijakan politik (negara) tentu juga penting, namun hal itu kerapkali hanya sampai di permukaan, tidak mampu menjangkau kedalaman situasi psikologis masyarakat. Apalagi, eskalasi konflik atas nama agama justru seringkali dikendarai oleh kepentingan politik pihak tertentu. Memperkuat visi keragaman melalui upaya-upaya kultural dan struktural menjadi sangat penting di tengah mewabahnya sikap intoleransi antar penganut agama dan keyakinan. Senafas dengan keperihatinan Gus Dur, bahwa fakta yang menyedihkan bila penyebab konflik di antara orang-orang adalah perbedaan keyakinan. []
Fadlan L Nasurung, Koordinator Jaringan GUSDURian Makassar
NB: Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan INFID