Sebagaimana ramai diberitakan di media massa dan media sosial beberapa hari terakhir, disebabkan kemajuan digital, seorang pemuda daerah mampu merakit pesawat. Sebaliknya, gara-gara digital pula, siswi SMP lompat dari lantai empat sebuah gedung, bunuh diri. Haerul, pemuda asal Pallameang, Kecamatan Mattiro Sompe, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan adalah salah satu contoh dampak positif kemajuan digital. Dengan belajar ototidak dari saluran media sosial, Youtube, dia berhasil mewujudkan obsesinya. Merakit pesawat model Ultralight dari barang-barang bekas.
Di tempat lain, siswi SMP Negeri 147 Ciracas Jakarta Timus berinisial SN, menjadi kisah sedih. Perundungan (bully) yang diterimanya di media sosial diduga menjadi pemicunya melakukan bunuh diri. Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa perkembangan dunia digital yang begitu cepat dan masif memang bisa dilihat dari dua sisi. Bisa positif, bisa juga negatif. Ibarat senjata, digital sesungguhnya hanya alat. Kemanfaatannya tergantung pada kepiawaian masing-masing penggunanya.
Kasus bunuh diri yang dilakukan SN, tentu hanya ibarat gunung es. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Steyer, 2012, menemukan bahwa generasi Z adalah generasi yang seling berhadapan dengan perilaku menekan, mempermalukan, mengancam, dan melecehkan seseorang melalui pesan di internet dan media sosial. Baik sebagai korban maupun sebagai pelaku.
Persoalan lain yang tidak kalah besarnya bagi bangsa ini adalah perilaku kecanduan penggunaan digital yang sudah pada taraf mengganggu kesehatan, persoalan pencurian data pribadi, penyebaran konten pornografi, terorisme, hingga berita kebohongan (hoax) bernuansa SARA yang merobek-robek persatuan anak bangsa.
Sebagaimana temuan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dirilis pada awal November 2017 menunjukkan bahwa intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi muda cukup mengkhawatirkan. Dari sejumlah responden yang terdiri dari 1522 siswa dan 337 mahasiswa, terdapat opini radikal 58,5 persen, opini intoleransi internal 51,1 persen, dan opini intoleran eksternal 34,3 persen.
Survei yang dilakukan secara nasional di 34 provinsi tersebut juga menemukan bahwa anak-anak muda gemar mencari sumber pengetahuan agama melalui internet, mulai dari blog, website, dan media sosial lainnya. Hal ini terlihat dari angka 54,87 persen rujukan generasi muda mencari pengetahuan agama adalah internet. 48,57 persen melalui buku atau kitab, dan 33,73 persen dari channel televisi.
Data ini mengisyaratkan bahwa sudah seharusnya kita tergerak menggencarkan literasi digital. Sebagaimana di negara maju, literasi digital telah serius diajarkan sejak dini kepada masyarakat. Sebagai misal adalah di Finlandia, Swedia, dan Belanda. Literasi digital secara sederhana dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari beragam sumber digital.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat muslim Indonesia harus terus peduli dan bergerak bersama. Bersinergi untuk meningkatkan literasi digital serta menebar pesan damai dan toleran yang yang menjadi ruh agama Islam. Baik melalui jejaring media sosial, institusi pendikan, maupun pengajian di mimbar-mimbar masjid. Jangan sampai masyarakat lengah, sehingga sisi-sisi negatif digital sebagaimana kasus di atas tidak dapat kita antisipasi. Selain itu, sebaran ujaran kebencian yang sengaja disebar di media sosial jangan sampai membuat budaya moderat dan toleran terkikis dari jiwa generasi penerus bangsa. Dari titik inilah, penting kiranya, kita kembali menengok ulang ajaran-ajaran agama terkait dengan etika bersosialisasi dan berdakwah. Terlebih dalam jagat media sosial.
Prinsip berkomunikasi
Salah satu ajaran dasar Islam adalah membimbing pemeluknya untuk tidak berbuat buruk bagi sesama. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW, seorang Muslim adalah mereka yang tidak merugikan orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatannya. Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) ditegaskan bahwa ukuran kualitas keislaman seseorang dapat dilihat dari sikap dan perilakunya, yakni apakah ia mudah menyakiti sesama muslim dengan lisan dan tangannya atau tidak.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam riwayat:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya: Dari Shahabat Jabir ra, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Seorang Muslim adalah seseorang yang orang Muslim lain merasa aman (tidak terganggu) dari lisan dan tangannya.” (HR. al-Bukhari)
Lebih lanjut, Imam Badr al-Din al-‘Aini (885 H) dalam kitab ‘Umdah al-Qari, syarah dari kitab Shahih al-Bukhari menjelaskan bahwa hadis di atas memberi penegasan bahwa perilaku tidak menyakiti kepada sesama muslim merupakan bagian integral dari keimanan seseorang. Dalam artian, kuat lemahnya iman di lubuk hati seseorang dapat dilihat dari apakah ia terbiasa menyakiti orang lain, atau tidak. Baik melalui perkataannya maupun melalui perbuatannya.
Dalam konteks kekinian, ajaran ini sangat relevan sekali untuk diteguhkan kembali, terlebih untuk meminimalisasi sebaran ujian kebencian dan tidak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Masyarakat muslim harus sadar dan dapat menahan diri untuk tidak terseret dalam arus sebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih yang bermuatan unsur kebencian dan radikalisme. Lebih dari itu, masyarakat muslim diharapkan juga mampu berperan aktif untuk memerangi maraknya radikalisme dan ekstrimisme.
Prinsip dakwah berkeadaban
Mendakwahkan ajaran agama kepada orang lain adalah tindakan mulia. Namun perlu dipahami bahwa agama juga telah mengajarkan bagaimana etika berdakwah. Jangan sampai tujuan dan keinginan mulia menyebarkan pesan-pesan luhur agama berubah menjadi mala petaka bagi masyarakat. Oleh karenanya, tidak dapat dibenarkan jika dakwah dilakukan dengan cara menebar ujaran kebencian dan teror kekerasan. Ujaran saling membid’ahkan ataupun saling mengafirkan adalah salah satu hal yang secara tegas dilarang oleh Rasulullah saw.
Hal ini sebagaimana termaktub dalam hadis shahih yang diriwatkan oleh Imam al-Bukhari (194-256 H) dalam kitab Shahih al-Bukhari:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَفَّرَ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَاَ
Artinya:
Dari shahabat Ibni Umar ra. dari Nabi Muhammad saw. bersabda: “Barang siapa mengafirkan saudaranya, maka sungguh telah kafir salah satu di antara keduanya.” (HR. Al-Bukhari)
Dalam penjabarannya, imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani (852 H) dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa hadis di atas oleh sebagian ulama dipahami sebagai bentuk larangan keras terhadap ujaran saling mengkafirkan antar sesama muslim. Sebaliknya, Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya untuk berdakwah dengan menggunakan cara yang beradab dan bermartabat. Ajakan kepada jalan kebenaran harus dilakukan dengan hikmah dan nasihat.
Etika berdakwah ini, salah satunya dapat ditemukan dalam surat al-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS: Surat al-Nahl ayat 125)
Sekali lagi, dari uraian ini, dapat kita pahami bahwa sebaran ujian kebencian dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian kalangan yang mengatasnamakan agama adalah tindakan yang akan merusak citra kemuliaan agama itu sendiri. Oleh karenanya, masyarakat dan generasi muda harus diajak untuk memahami hal ini. Hal ini dapat kita upayakan dengan terus-menerus meningkatkan literasi digital.
Di era sekarang dan mendatang, kemajuan digital tentu akan terus berlipat-lipat. Selain membawa dampak positif, kemajuan digital juga membawa dampak negatif. Hanya saja, dengan kebersamaan semua elemen anak bangsa serta senantiasa berpegang pada petunjuk luhur agama, kita dapat meminimalisasi dampak negatif kemajuan digital. Maraknya perundungan, sebaran berita kebohongan, dan ujaran kebencian akan bisa kita lampaui bersama. Semoga.
*Tulisan ini pernah dimuat di buletin Muslim Muda Indonesia