
Belakangan ini, ada salah satu yang viral di media sosial adalah isu urgensi menghafal Al-Qur’an di tengah tersedianya data atau mushaf al-Quran di berbagai kanal/platform. Ini tampak dari video yang beredar yang memperlihatkan dialog antara dua orang, yaitu seorang perempuan muda yang mengklaim hafal al-Qur’an, dan seorang jurnalis laki-laki yang sering mengkritisi keyakinan-keyakinan Islam yang tampaknya sedang mengalami “kegenitan intelektual”.
Si perempuan mengatakan bahwa menghafal Al-Qur’an tak ada manfaatnya. Bahkan, dirinya pernah merasa sebagai part of circus, karena sejak kecil sering menjadi objek tontonan masyarakat dalam berbagai acara, karena hafal Al-Qur’an. Sementara sang jurnalis secara meyakinkan memandang bahwa menghafal al-Qur’an bukanlah hal prioritas dan tampak kurang sopan dengan menyebut beberapa surat dari al-Qur’an dengan menyebut “si al-Baqarah”, dan seterusnya.
Untuk memperingati hari Nuzulul Qur’an yang jatuh pada tanggal 17 Maret 2025, agaknya isu itu penting diulas.
Urgensi Menghafal Al-Qur’an
Sebagaimana yang tampak secara kasat mata, di antara kegiatan kaum Muslim di bulan Ramdhan, selain berpuasa dan salat Tarawih, melakukan tadarus/membaca bersama Al-Qur’an. Juga membaca Al-Qur’an sendiri siang atau malam hari di rumah, menghafal dan mengkajinya bagi kalangan tertentu, lebih banyak dari 11 bulan biasa. Setiap tanggal 17 Ramadhan atau tak lama setelahnya mereka memperingati hari Nuzulul Qur’an sesuai teori tanzil. Juga beribadah dengan beri’tikaf dan membaca/menghafal/mengkaji al-Qur’an selama malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan untuk memperoleh malam Lailatul Qadar sesuai teori inzal (dua teori ini akan diuraikan di bawah).
Ramadhan karenanya adalah bulan al-Qur’an, yang tidak saja diisi kaum Muslimin dengan membacanya, melainkan juga menghafal dan mengkajinya. Oleh karena itu, para imam untuk salat Isya, Tarawih, Witir, dan Salat Idul Fitri yang dihadirkan masjid-masjid besar pun, terutama di Jabodetabek, adalah para qari yang hafal Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Tujuannya untuk menambah kekhusyukan salat dan keagungan/syiar Islam. Para Imam pendiri mazhab seperti Imam Maliki dan imam as-Syafii yang hafal al-Qur’an dalam sehari bahkan khatam sekali.
Kegiatan menghafal dan mengkaji al-Qur’an, terutama di bulan Ramdhan, adalah anjuran bahkan menjadi wajib kifayah yang harus dilakukan sebagian Muslim, para ulama dan calon ulama/para da’i. Jadi, jika ditanya apa manfaat menghafal al-Qur’an, yang pertama adalah karena itu anjuran, bahkan wajib kifayah (wajib bagi sebagian orang), dan juga sebagai bentuk ibadah yang menentramkan hati. Argumen adalah ayat-ayat inzal (al-Qur’an turun secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke langit pertama pada bulan Ramadhan). Tepatnya, pada malam Lailatul Qadar, sesuai QS. al-Baqarah/2: 185 dan al-Qadar/97: 1. Juga ayat-ayat tanzil, turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur selam 23 tahun dan itu dimulai dari sejak Nabi Muhammad mendapat wahyu pertama, 17 Ramadhan 611 M (lihat QS. al-Hijr/15: 9, as-as-Syu’ara/26: 192-195, QS. al-‘Alaq/96: 1-5). Juga hadis riwayat Bukhari, “sebaik-baiknya kalian adalah yang mengkaji dan yang mengajarkan Al-Qur’an” dan hadis sahih riwayat Imam Ahmad, Al-Qur’an sebagaimana puasa Ramadhan, akan memberi syafaat untuk para pembaca dan penghafalnya di akhirat kelak, terutama saat di alam kubur. Menghafal Al-Qur’an karenanya terkait dengan persoalan eskatologis (keakhiratan).
Kedua, urgensi menghafal Al-Quran terutama di bulan Ramdhan juga untuk menjaga otentisitas al-Qur’an secara mutawatir (kesepakatan banyak orang, minimal 11 orang, dari sejak Nabi hingga sekarang). Wajar, jika sekarang ini, ada sekitar 10.000 penghafal Al-Qur’an di dunia. Menghafal Al-Qur’an dalam hal ini dimaksudkan agar Al-Qur’an terjaga akurasi dan orisinalitasnya, tidak ada penyelewengan, baik secara bahasa maupun isinya, sesuai QS. al-Hijr/15: 9, tidak seperti kitab-kitab suci sebelumnya. Dalam ayat ini, tampak bahwa otentisitas Al-Qur’an bukan hanya dilakukan Allah semata tetapi juga –karena dalam ayat itu menggunakan kata ganti “Kami”– melibatkan manusia (kaum Muslimin) sebagai khalifah-Nya. Penghafalan dan pelestarian Al-Qur’an adalah sesuatu yang urgen bahkan wajib dilakukan. Selain QS. al-Hijr/15: 9, keharusan menjaga otentisitas Al-Qur’an juga berdasar QS. al-Qiyamah/75: 16-19. Menurut para ahli tafsir, caranya ada dua: dihafal oleh Nabi Muhamad, para sahabat dan kaum Muslimin hingga kini, dan juga ditulis. Nabi Muhammad sebagai role model selalu dicek hafalan Al-Qur’annya oleh Malaikat Jibril setiap Ramadhan tiba dalam setiap tahunnya. Juga dihafal oleh minimal 7 orang qurrâ (pembaca dan penghafal Al-Qur’an) sahabat Nabi bahkan 70 orang.
Jika saat ini Al-Qur’an sudah ada secara tertulis di berbagai kanal daring, dulu pada masa Nabi juga ada para penulis Al-Qur’an. Hanya medianya berbeda, yaitu pelapah kurma, batu, daun lontar, kulit, dan tulang. Di antaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Saat Al-Qur’an dikoodifikasi menjadi mushaf oleh panitia di bawah Zaid bin Tsabit pada masa Abu Bakar dan Utsman menjadi khalifah, tidak ada suatu naskah yang ditulis panitia tersebut dalam himpunan ayat-ayat Al-Qur’an, kecuali didukung minimal dua orang saksi dari penghafal dan penulis Al-Qur’an, meski ia sendiri hafal Al-Qur’an. Dengan begitu, terjadi konfirmasi-konfirmasi antar para penghafal dan penulis al-Qur’an, demi otentisitas Al-Qur’an.
Ketiga, dalam memahami Al-Qur’an tak bisa berbasis metode parsial. Hal ini sebagaimana pandangan para ahli tafsir di tingkat sahabat seperti Ibn ‘Abbas, imam para mufasir. Yang dirujuknya adalah QS. an-Nisa/4: 82, al-Qur’an sebagian ayatnya membenarkan (menafsirkan) atas sebagian ayat lainnya. Jika tidak begitu, maka bisa saja tampak antara satu ayat dengan ayat lainnya saling bertentangan/problematis. Dan itu tak bisa dilakukan, paling tidak dengan mudah dan cepat, jika Al-Qur’an tidak dihafal, atau tak sering dibaca. Secara metodologis, metode tafsir yang koherens itu sebanding dengan teori strukturalisme modern (teori kajian teks yang menekankan kepaduan/satu kesatuan teks yang tak terpisahkan, dimana teks tak boleh dipisah-pisah/bersifat parsial). Maka tafsir al-ayat bi al-ayat (menafsirkan ayat dengan ayat) adalah metode tafsir standar Islam sejak masa sahabat.
Pada masa para sahabat, cara menafsirkan ayat secara parsial pernah dilakukan kaum Khawarij sebagai kaum fundamentalis radikal Islam pertama yang dinilai sesat. Mereka memahami secara parsial dan skriptural yang absolut atas doktrin la hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah). Doktrin ini bersumber dari QS. Yusuf/12: 40 yang kini dirujuk juga oleh kaum fundamentalis politis dan teroris dengan menolak hukum buatan manusia seperti Pancasila, UU, dan lainnya. Menurut Ibnu ‘Abbas, meminta hukum (tahkîm) kepada manusia dalam Islam dibolehkan, apalagi dalam soal yang tak diatur harfiah dalam al-Qur’an dan hadis seperti lewat UU. Misalnya dalam soal denda hewan ternak yang sepadan dengan binatang buruan yang diburu saat ihram haji, sebagaimana disebut QS. al-Maidah/5: 95 sebagai tafsir QS. Yusuf/12: 40 itu.
Bahkan, Imam Ibnu Abbas juga menafsirkan QS. Yusuf/12: 40 itu dengan hadis tentang Perjanjian Hudaibiyah dan Tabuk, ketika Nabi bertahkim dengan orang kafir/non Muslim. Hadis juga karenanya, harus dihafal sebagaimana yang dilakukan Abu Hurairah yang menghafal dan meriwayatkan 3370 hadis. Hal ini karena hadis berfungsi sebagai penafsir, penguat (mengkonfirmasi) ayat-ayat Al-Qur’an, dan sumber ajaran Islam mandiri bagi persoalan yang tak dibahas Al-Qur’an (QS. an-Nisa/4: 105 dan QS. an-Nahl/16: 44).
Di Indonesia kontemporer cara menafsir ayat yang parsial yang keliru tampak dari kalangan 212, yang memandang non Muslim tak berhak menjadi pemimpin publik hanya berdasarkan QS. al-Maidah/5: 51, tanpa ditafsirkan oleh QS. al-Mumtahanah/60: 8. Dan hal itu tampak bersumber dari keterbatasan hafalan/penguasaan Al-Qur’an. Tafsirnya pun tak standar Islam secara isi dan metodologi. Sama seperti dua orang yang disebut di awal tulisan di atas, yang dalam dialog videonya yang viral mengutip ayat, tanpa ditafsirkan ayat lain, hanya mengutip QS. al-Baqarah/2: 191 saja. Mereka pun menolak Islam sebagai rahmat. Tafsirnya sama persis dengan tafsir Imam Samudra pelaku bom Bali yang dikecam mereka terhadap QS: At-Taubah/9: 5, 29, tanpa ditafsirkan QS. at-Taubah/9: 4, QS an-Nisa/4: 90, dan QS. al-Anfal/8: 61. Penafsiran mereka semua pun menjadi salah dan mencoreng Islam.
Keempat, mengingat/menghafal (remembering/memorizing) adalah basis untuk bisa berpikir kritis, sebagaimana seorang ilmuan fisika harus hafal hukum fisika sebagai prinsip pengetahuan dalam risetnya untuk menemukan pengetahuan baru. Ini diakui dalam teori Benjamin Bloom, Lorin Anderson, dan David R. Kathwoll. Bagi mereka, ada keterampilan berpikir tingkat rendah, yaitu: C (Cognitive) 1: mengingat/menghafal, C2: memahami, dan C3: menerapkan. Namun, ada 3 keterampilan berpikir tingkat tinggi di atasnya yang basisnya adalah 3 keterampilan berpikir tingkat rendah itu, yaitu C4: menganalisis, C5: mengevaluasi, dan C6: mencipta/mengkreasi.
Dalam Islam, hal ini dilakukan Ibnu ‘Abbas, yang setelah hafal Al-Qur’an dan hadis yang dipahami secara koherens, juga mengembangkan metode qiyas/analogi sesuai QS. al-Hasyar/59: 2. Belakangan, metodenya diikuti Imam as-Syafi’i, salah satu pendiri mazhab Fikih. Bagi Ibn Abbas, ber-tahkim kepada non Muslim saja boleh, apalagi kepada orang/elite yang Muslim. Ia juga mengembangkan kritisisme dengan banyak bertanya dan mengintrogasi berbagai data ayat dan hadis sesuai QS. Al-Nahl/16: 43. Juga terdapat QS. Al-’Alaq: 1-5 yang memerintahkan membaca dalam arti luas: bacalah, telitilah sesuai fakta, dalamilah, kritisilah apa saja, selama atas nama Tuhanmu (memberi kemaslahatan/manfaat untuk manusia sesuai metode berpikir istishlah yang digagas Imam Malik). Dan hal itu harus dilakukan secara berulang, minimal dua kali, karena penemuan baru hanya bisa diperoleh, jika pembacaan terhadap objek yang menjadi bahan bacaan/riset dilakukan secara berulang dan seksama, sesuai QS. Yunus/10:101 juga.
Wallah a’lam bis-shawab.
(AN)