Memotret Tanah Haram: Antara Komersialisasi, Memori, Hingga Persoalan Ibadah Haji

Memotret Tanah Haram: Antara Komersialisasi, Memori, Hingga Persoalan Ibadah Haji

Mekah dan Madinah merupakan tanah impian bagi umat Islam. Jika dulu, kisah-kisah para jemaah Haji adalah pemuas dahaga kerinduan akan tanah suci, sekarang kamera telah mengubah banyak hal dari kerinduan tersebut.

Memotret Tanah Haram: Antara Komersialisasi, Memori, Hingga Persoalan Ibadah Haji
Muslim pilgrims take a selfie as they walk out following the last prayer of the day, leaving the the Grand Mosque in the Saudi holy city of Mecca, on September 7, 2016. The annual Hajj pilgrimage begins on September 10, and more than a million Muslims have already flocked to Saudi Arabia in preparation for what will for many be the highlight of their spiritual lives. / AFP PHOTO / AHMAD GHARABLI

Linimasa Instagram dan Tiktok saya dijejali video para jemaah umrah. Eh, saya pun baru teringat bulan ini adalah Rabiul Awal, yang biasanya menjadi masa puncak keberangkatan umrah, terlebih pasca Pandemi.

Salah satu konten yang unik, menurut saya,adalah konten “a day in my life” versi Mekah. Sebab, aneka video dan foto terkait kota suci ini semakin dekat dengan model konten traveling, mulai soal rekomendasi tempat membeli oleh-oleh, jalan-jalan pintas di berbagai sudut di Madinah dan Mekah, hingga acara makan-makan di sana.

Sebelum model kota suci Mekah dan Madinah versi metaverse bisa diakses publik, konten-konten tersebut banyak merekam berbagai sudut hingga dinamika di kedua kota tersebut. Terlepas soal hukum dan etika, konten foto dan video tersebut semakin populer di kalangan jemaah Umrah dan Haji.

Bahkan, salah satu pasangan artis, yang sempat viral soal mie instan, mengabadikan berbagai aktivitas mereka di sana. Salah satu video yang saya cukup terheran-heran adalah rekaman kala sang istri, yang juga artis, membawa anak mereka yang masih batita mendekat ke dinding Ka’bah, sembari memeluk dinding tersebut bersama. Saya heran bagaimana proses perekaman itu bisa terjadi di tengah kerumunan orang di depan Ka’bah, pasti perlu usaha luar biasa yang mereka lakukan untuk satu konten tersebut.

Memang, fenomena hasil visual di tanah suci sudah lama terjadi. Bahkan, jauh sebelum kamera ponsel semarak seperti sekarang. Dulu, banyak rumah di Banjarmasin dan sekitarnya, visualisasi tanah suci sudah direkam lewat rajutan benang berupa karpet yang dipasang di dinding rumah masyarakat.

Lalu, sejak foto mulai bisa merekam visual tanah suci bergeser ke gambar dengan berbagai ukuran, bahkan hingga satu dinding dipasangi wallpaper bergambar Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Bahkan, saya melihat banyak ulama yang mulai menduplikasi model mihrab Nabi Muhammad Saw. di majelis taklim mereka, bahkan ada yang membangun secara fisik bukan hasil cetak spanduk besar.

Pasca kamera pocket  semakin murah dan mudah, para jemaah Haji mulai merekam visual tempat-tempat suci dengan lebih bernilai pribadi, seperti foto di halaman Masjidil Haram walau harus mencuri-curi kesempatan di tengah ancaman dirusak oleh “Askar”, penjaga atau polisi yang berjaga di sekitar masjid. Maka, tidak mengherankan jika kamera ponsel mengubah pengalaman visual tersebut menjadi semakin dekat dengan objek-objek sakral di tanah suci.

Dulu, foto yang dihasilkan lewat teknologi kamera pra-digital seperti sekarang harus menunggu beberapa hari terlebih dahulu karena harus melalui proses “cuci film”. Saya sering sekali menikmati sekali foto-foto yang dihasilkan dan dibawa para Haji dulu, karena terasa sekali foto tersebut terasa sangat personal dan ingin menjembatani “ruang antara” di tengah jemaah dan kota suci tersebut. Walaupun, tidak jarang sebagian jemaah juga menggunakan foto tersebut sebagai kebanggan mereka telah menjejakkan kaki ke tanah suci.

Setelah kamera telpon genggam mulai populer, visualisasi pada ranah ibadah di tanah suci mulai semakin “Berani” cum “Kreatif”. Apalagi ditambah kemampuan dalam fotografi yang semakin ahli atau mumpuni, visualisasi semakin meriah dan beragam, mulai dari masuk unsur komersialisasi, dinamika kontroversi mazhab atau aliran, hingga narsisme.

Diantaranya, beberapa waktu lalu, seorang Content Creator atau saya lebih suka menyebut mereka Influencer Pendakwah “mensnitch” video jemaah dari kelompok yang berbeda aliran dengannya, untuk keperluan konten yang ia buat. Sang Content Creator dengan sesuka hati mengkritik model ibadah ritual yang dijalankan oleh jemaah tersebut.

Memang, foto dan video yang diunggah di media sosial tentu menjadi “milik” atau bisa diakses oleh publik. Sehingga, wajar jika sembarang orang bisa saja kemudian menggunakannya untuk keperluan pribadi mereka.

Mungkin sebagian kita masih ingat soal video atau foto perjumpaan dua orang ustaz berbeda aliran di antara tenda di Mina. Ketika visual yang dihasilkan menjadi milik publik, maka berbagai konten lain dan aneka komentar terkait foto tersebut mulai dari saling serang hingga ungkapan kegembiraan karena dianggap bersatu, padahal kesamaan yang tidak disebutkan dalam perbincangan tersebut adalah mereka berdua berada di sana sebagai pembimbing ibadah dari berbagai travel Haji Plus yang berbiaya mahal itu.

Keuntungan visualisasi ini juga dimanfaatkan penuh oleh para pengurus travel Umrah dan Haji untuk mendongkrak keterlibatan dan perhatian publik pada tanah suci, sebagai modal awal komersial dari ibadah Umrah atau Haji. Bahkan, rekaman tersebut dijanjikan dibagikan kepada jemaah yang mengikuti program ibadah mereka.

Selain itu, video yang dihasilkan juga bisa ditambahkan kesyahduan atau keceriaan lewat fasilitas yang diberikan oleh Instagram dan Tiktok, berupa pilihan musik yang bisa dimasukkan dalam video yang telah diunggah tanpa harus melalui proses editing yang sulit. Bangunan kesyahduan dan intimitas dalam video yang direkam oleh jemaah umrah tersebut tidak hanya bermodal visual tempat-tempat sakral, namun juga dibentuk lewat teknologi audio yang semakin mudah.

Bahkan, foto perempuan berjalan dengan slow-motion ditambah dengan lagu-lagu yang khas, seperti Maher Zain dan lain-lain, semakin lazim dijumpai. Sekilas video ini mungkin terlihat “narsis” namun fenomena ini seakan mengatakan pada kita bahwa antara ritual dan kamera saat ini seakan semakin sulit dipisahkan

Tanah suci, baik Mekah dan Madinah, memang tanah impian bagi umat Islam. Jika dulu, kisah-kisah para jemaah Haji adalah pemuas dahaga kerinduan akan tanah suci, sekarang kamera telah mengubah banyak hal dari kerinduan tersebut. Berbagai diksi pun mulai bertebaran mengiringi visualisasi tanah suci tersebut, mulai dari koleksi pribadi, keperluan dokumentasi, hingga komersialisasi.

Satu hal yang pasti, ceramah seorang imam terkait kamera, spiritualitas, dan tanah suci seakan mengambang begitu saja. Sebab, kamera sudah banyak mengubah wajah keberagamaan kita, termasuk soal ritual di tanah suci yang tidak lagi hanya dinarasikan bersifat sangat privat, namun di saat bersamaan juga menjadi bisa diakses publik.

Satu ungkapan yang selalu saja bikin saya tersenyum jika melintas di linimasa atau FYP saya, “Biarlah kita berlelah-lelah terlebih dahulu, istirahatnya nanti saja di depan Ka’bah dan Makam Nabi Muhammad Saw.” Bagaimana dengan anda???

Fatahallahu alaina futuh al-arifin