Tahun 2019 akan menjadi bukti sejarah pertama kali dalam demokrasi Indonesia. Pasalnya, pada saat itu akan diselenggarakan pemilihan serentak untuk memilih pemimpin eksekutif dan legislatif. Dalam sejarah perpolitikan nasional ini merupakan hal baru bagi demokratisasi di Indonesia. Tidak hanya itu saja, dalam pemilu tahun depan, peraturan-peraturan baru pun juga dibentuk.
Siapapun yang bakal menjadi pemimpin tahun depan harus bisa menjadikan Indonesia lebih baik lagi. Masih banyak pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Terutama terkait masalah keagamaan di Indonesia yang hingga hari masih banyak terjadi kekerasan atas nama agama. Hal ini penting untuk diperhatikan sebab Indonesia merupakan negara yang plural. Di dalamnya terdapat banyak suku, agama, ras, dan etnis. Oleh karenanya, keragaman ini seharusnya dikelola dengan baik sehingga kerukunan antar golongan bisa berjalan.
Sejak era reformasi hingga detik ini, kekerasan agama tidak kunjung surut. Dalam laporan Wahid Foundation (WF) sejak tahun 2009 terdapat 121 kasus pelanggaran kebebasan beragama. Jumlah ini meningkat jadi 184 kasus tahun 2010, 267 kasus 2011, dan 278 kasus 2012. Tahun 2013 jumlahnya sedikit menurun menjadi 245 kasus, akan tetapi kasusnya semakin menyebar.
Belum lagi kasus yang terkait dengan diskriminasi minoritas di Indonesia. Hingga hari ini persoalan tersebut masih menuai jalan buntu, baik secara kultural maupun struktural. Masih banyak kasus-kasus yang bisa kita jumpai, misalnya pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Lombok pada beberapa bulan kemarin. Ini menunjukkan bahwa persoalan kerukuran antar/inter umat beragama seharusnya juga menjadi isu serius dalam agenda pemerintah tahun depan. Bukan hanya memikirkan keadaan perekonomian saja, akan tetapi juga persoalan kerukunan seharusnya menjadi prioritas yang harus diselesaikan.
Oleh karenanya isu terkait politik toleransi seharusnya digaungkan lagi. Politik toleransi mengindikasikan bahwa kita sebagai warga negara tidak hanya menghormati perbedaan pandangan politik semata, akan tetapi lebih jauh lagi, bahwa politik toleransi seharusnya bisa dilaksanakan oleh semua pihak, terutama pemerintah, untuk mengelola keberagaman bangsa Indonesia.
Politik toleransi dimaksudkan sebagai kesediaan mengakui dan memperluas hak-hak dasar dan kebebasan sipil terhadap orang-orang dan kelompok yang berbeda dari sudut pandang kita sendiri (Alamsyah M. Ja’far, 2018). Siapapun penguasa yang terpilih atau siapapun mayoritas yang menguasai negeri ini sudah sepatutnya memberikan penghormatan lebih kepada minoritas.
Pentingnya membumikan politik toleransi di tahun depan setidaknya karena tiga hal. Pertama, toleransi dapat membantu menjaga masyarakat bersama-sama, bahkan dalam menghadapi konflik yang intens. Toleransi harus diikat menjadi kekuatan utama demokrasi Indonesia karena masyarakat kita beraneka ragam.
Kedua, toleransi merupakan bagian dari hak-hak sipil di mana individu-individu mendapat pengakuan di alam demokrasi. Ketiga, tindakan intoleransi melanggar kebebasan individu atau warga negara kerena kebebasan dan toleransi hal yang saling terkait. Tindakan intoleransi ini seharusnya dipahami oleh semua kalangan karena hal ini menyangkut kepentingan kita bersama.
Untuk mengaktualisasikan politik toleran di atas, dibutuhkan dua strategi utama yakni melalui jalur kultural dan struktural. Jalur struktural dalam hal ini jelas akan diwakili oleh negara. Siapapun pemerintah yang terpilih harus mampu mengelola konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. Kehadirannya sangat dibutuhkan oleh kelompok-kelompok yang terdiskriminasi. Jika dalam hal ini pemerintah justru tidak bisa bersikap akomodatif, maka konflik horizontal itu tidak akan pernah terselesaikan.
Sedangkan dalam jalur kultural ini menghendaki adanya dialog antar kelompok. Dalam hal ini, keterlibatan para pemimpin antara kelompok memiliki peran penting untuk menjadi inisiator terbentuknya dialog. Dengan dialog antar kelompok tersebut akan saling mengenal. Karena selama ini konflik horizontal yang terjadi di masyarakat dikarenakan adanya kurangnya saling mengenal satu sama lain. Untuk itu, diadakannya dialog akan menyelesaikan persoalan kedua belah pihak.
Akan tetapi apabila dibutuhkan mediator untuk diadakan dialog, maka dalam hal ini akan melibatkan pemerintah atau komunitas yang berkonsentrasi dalam bidang ini. Salah satu komunitas yang berkomitmen menjaga kehidupan kerukunan beragama adalah Komunitas Gusdurian. Komunitas ini sudah menyebar luas di saentoro kota/kabupaten di Indonesia. Gusdurian siap menjadi mediator untuk terselesaikannya konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, dan siap menjaga kerukunan beragama di Indonesia.
Mewujudkan masyarakat yang toleran di Indonesia di atas sesuai dengan UUD 1045 Pasal 28 terkait dengan kebebasan beragama. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa “setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Ayat kedua dalam pasal tersebut juga menjelaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaannya masing-masing.
Dan, sepertinya para elit politik di negeri ini wajib memberikan nuansa harmoni dan kesejukan di tahun poltik. Dengan agama menjadikan negeri ini semakin sejuk, bukan malah sebaliknya. Begitu bukan?
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.