Ada banyak hal yang membuat orang menjadi ekstrim. Tidak selalu penyebabnya karena fanatik terhadap ajaran agama tertentu. Tapi sayangnya, agama kerapkali dijadikan kambing hitam dan dianggap akar masalah ekstrimisme. Di antara agama yang paling sering menjadi korban adalah Islam. Sangat banyak pemberitaan, khususnya di Barat, yang selalu mengaitkan ekstremisme, terorisme, radikalisme, dengan Islam pasca serangan 9/11. Narasi seperti ini, disadari atau tidak, mempengaruhi cara pandangan orang tentang Islam, terutama orang-orang yang tidak mengerti Islam.
Islam seringkali distigmasisasi sebagai kekerasan, agama teroris, dan seterusnya. Informasi terkait Islam pun tidak disampaikan secara berimbang. Media terkadang lebih senang menampilkan wajah muslim ekstrimis, ketimbang muslim moderat. John L. Esposito menemukan pemberitaan tentang muslim militan/ekstrimis meningkat setiap tahun. Tahun 2001 misalnya, berita tentang muslim militant di media barat 2%, beritama muslim biasa sekitar 0.5 %, sementara tahun 2011, berita terkait muslim militant menjadi 25%, dan berita muslim persentasenya tidak naik.
Faktanya, tidak banyak sebetulnya muslim yang setuju dengan aksi kekerasan. Mayoritas muslim menolak propaganda yang disebarluaskan kaum ekstrimism. Sekalipun kelompok itu mengatasnamakan, mayoritas ulama dan sarjana muslim menolak keras ajaran mereka. Pew Research Center pernah melakukan riset tentang respons umat Islam terhadap kelompok kekerasan. Riset ini dilakukan di 11 negara mayoritas muslim, seperti Lebanon, Yordania, Israel, Palestina, Indonesia, Turki, Nigeria, Malaysia, Senegal, Pakistan, dan lain-lain. Mayoritas muslim di negara ini menolak Islam garis keras, dan sebagian besar penduduk dari masing-masing negara tersebut menolak ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria).
Fakta berikutnya, yang tidak banyak diketahui orang, ialah mayoritas ulama dunia menolak tegas ajaran Islam garis keras semisal ISIS, mereka menasehati pimpinannya, dan mengkritik doktrin ISIS yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tahun 2014, ulama seluruh dunia berkumpul dan mengeluarkan surat terbuka untuk Abu Bakar al-Baghdadi, pimpinan tertinggi ISIS. Surat itu diberi judul Open Letter To Dr. Ibrahim Awwad al-Badri (abu Bakr al-Baghdadi)/Risalah al-Maftuhah ila al-Duktur Ibrahim Awwad al-Badri al-Mulaqqab bi Abu Bakar al-Baghdadi. Surat terbuka ini diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia.
Open Letter ini secara umum berisi nasihat dan kritikan terhadap doktrin ISIS: jihad, khilafah, perbudakan, hak anak, hak perempuan, dan lain-lain. ISIS salah dalam memahami konsep itu. Hukum Islam di tangan mereka menjadi sangar dan kasar. Padahal tujuan hukum Islam itu adalah untuk memberi perlindungan dan kemaslahatan manusia, bukan untuk menzalimi dan menimbulkan kerusakan. Karenanya, surat terbuka ini dibuka dengan surat al-Anbiya ayat 107, yang menjadi sprit diutusnya Nabi Muhammad.
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Kami tidak akan mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta”
Melawan Narasi Ekstrimis
Kita tidak boleh diam dengan propaganda ekstrimis yang mengatasnamakan agama. Apa yang mereka lakukan tidak bisa didiamkan, sebab merusak tujuan dari agama itu sendiri. Kalau dibiarkan, dikahwatirkan orang akan semakin jauh dan takut dengan agama. Hari ini, kita sudah mulai melihat beberapa orang yang menyalahkan agama, karena agama tidak lagi membawa kebaikan di tangan sebagian pemeluknya.
Sampai saat ini, kelompok moderat masih mayoritas di berbagai dunia, apalagi di Indonesia. Tapi kelompok moderat tidak bisa diam. Walapun kelompok ekstrimis ini minoritas, tetapi daya rusak dari aksi yang mereka lakukan sangatlah besar. Karena itu, almarhum Buya Ahmad Syafi’i Maarif mengatakan, “Jika Islam dipimpin Muslim moderat, orang-orang yang tercerahkan, menurut saya, Islam bisa bersaing dengan bangsa mana pun. Namun, mayoritas moderat lebih memilih diam daripada melawan radikal”.
Kaum moderat memiliki posisi penting dalam meluruskan kesalahpaham terhadap agama. Dalam konteks Islam Indonesia, narasi moderat harus terus digaungkan dan diarusutamakan agar wajah Islam damai tidak dirusak kaum ekstrimis. Memperjuangkan narasi moderat ini, menurut penulis, adalah bagian dari Jihad. Sebaliknya, mendiamkan dan tidak melakukan apa-apa, padahal kelompok ekstrimis sudah merusak nama baik Islam, itu sama saja dengan pengkhiatan terhadap iman. Seperti apa yang dikatakan Khaled Abou el-Fadl mengatakan, “Saya percaya bahwa jika seorang Muslim mencintai agamanya dan setia padanya, kewajiban pertama dan terpenting adalah menyelamatkan dan merebut kembali keyakinannya. Membiarkan pencemaran agama, sehingga menjadi tidak terbantahkan, karena takut dengan orang yang fanatik, menurut saya adalah pengkhianatan terhadap iman.”
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT