Membela Dengan Sastra: Catatan Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari

Membela Dengan Sastra: Catatan Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari

Catatan Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari di PBNU, 28/03/2014.

Membela Dengan Sastra: Catatan Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari

Ruangan di lantai delapan gedung PBNU jalan Kramat Raya no 164 Jakarta, masih terlihat agak sepi. Beberapa kursi tidak lebih dari 200 buah mengelilingi panggung kecil dengan beberapa rebana terletak di atasnya. Lebih terlihat seperti papan dengan tinggi sekian centimer saja dibanding disebut panggung, hanya karena letaknya di depan dan tingginya juga tidak melebihi kursi-kursi yang tertata mengelilingi.

Banner diatasnya bertuliskan:

“Pidato Kebudayaan Ahmad Tohari: Membela Dengan Sastra, Hadiah Asrul Sani – 28 Maret 2014, Gedung PBNU lantai 8”

Dibawah tulisan tadi berderet beberapa logo sponsor acara malam itu yang diprakarsai NU Online dan didukung Radio NU, TV9, Surah, PBNU TV, LESBUMI, dll.

Malam itu adalah hajatan tahun ke tiga NU Online. Pidato kebudayaan ini merupakan yang ketiga kalinya, setelah tahun sebelumnya D. Zawawi Imron (Maret 2012), dan M Jadul Maula (Maret 2013) mengisi kesempatan tersebut.

Saya tertarik mendengarkan pidato penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk  ini yang kemudian karyanya diadaptasi menjadi Film Sang Penari  di tahun 2011. Ahmad Tohari produktif menulis, selain novel Ronggeng Dukuh Paruk yang banyak dikenal tadi,  dia juga menulis novel lain seperti Kubah (1980), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), Senyum Karyamin (Kumpulan Cerpen, 1989), Bekisar Merah (1993), dll.

Saya duduk di kursi yang tidak jauh dari panggung untuk kepentingan supaya leluasa memotret, dan kursi masih belum banyak terisi, jam dinding di ruangan itu menunjukkan  jam 19.15, menurut jadwal acara yang tertulis  akan dibuka beberapa menit lagi, sembari menunggu saya isi dengan membaca beberapa profile yang akan menerima  “Asrul Sani Award”. Panitia dalam buku itu  memilih menggunakan kata “Profil Penerima Hadiah Asrul Sani”.

Dalam asyik membaca buku yang disediakan pantia tersebut, tidak lama saya dikejutkan dengan seorang lelaki berkopiah hitam dengan batik lengan panjang, sekilas biasa saja tidak ada yang istimewa. Saya tersenyum membalas senyum ramahnya yang mengajak salaman, bukan hanya saya beberapa yang duduk pun disalaminya. Dan saya baru sadar yang menyalami tadi adalah seorang Ahmad Tohari. Sekilas saya menjadi lebih bersimpati, dia duduk sebelum acara juga dimulai, yang disalaminya pun bukan tamu undangan khusus, bahkan beberapa ada yang mengulurkan tangannya sembari satu tangannya asyik dengan gadgetnya.

Satu hal lain yang saya dapat dari penulis satu ini adalah keutamaan ahlaq. Saya belum pernah mendatangi acara semacam ini dan disalami sendiri oleh “bintang tamunya” atau  bahkan konon mereka yang disebut sebagai budayawan,  kecuali saya yang duluan mengajak salaman.

Bahwasannya bisa dikatakan dia tamu istimewa, tetapi menyalami mereka yang duduk satu persatu, walaupun dia tidak mengenalnya. Bahkan beberapa “orang penting” yang saya kenal pun duduk di barisan depan setelah banyak peserta yang hadir dan ada pengumuman dari panitia, mereka bersalaman dengan sesama yang dikenal.

Tapi saya pun enggan melebih-lebihkan, beberapa karya yang dia tulis adalah keberpihakan kepada jelata, tak berhenti disitu dalam persoalan ekonomi, Ahmad Tohari  konon juga mewujudkaan pembelaannya pada kaum papa dengan menegakkan lembaga keuangan, dengan harapan mampu memutus mata rantai lintah darat dengan kaum lemah. Malam itu sebenarnya saya ingin berbincang tentang hal ini dan tahu secara rinci tentang hal tadi selain hanya karya tulisannya saja. Sayang kondisi malam itu tidak begitu mendukung.

Ahmad Tohari, sekilas mengingatkan saya kepada almarhum Gus Dur, saat dia duduk sendiri  di Kedai Tempo Utan Kayu tahun 2009 ketika ada bincang-bincang mingguan, walaupun beberapa peserta belum tampak hadir. Dia duduk dengan tenang walaupun acara belum dimulai, dan tidak terkesan menjadi temu penting.

Pidato kebudayaan Ahmad Tohari bukanlah acara tunggal di malam itu, Hadiah Asrul Sani yang disematkan kepada beberapa orang malam itu diinisiasi oleh NU Online yang berupaya menggerakkan gagasan Asrul Sani dalam bidang-bidang yang ia geluti melalui Hadiah Asrul Sani. Malam itu “Hadiah Asrul Sani 2014” diberikan kepada:

1.       H. Usep Romli HM dari Garut-Jawa Barat, untuk kategori kesetiaan berkarya.

2.       H. Agus Sunyoto dari Malang-Jawa Timur untuk kategori penulis serba bisa

3.       Tatiek Maliyati dari DKI Jakarta untuk kategori sineas berbakti

4.       KH. Chizni Umar Burhan dari Gresik-Jawa Timur untuk kategori pelindung karya

5.       H. Muammar ZA dari DKI Jakarta untuk kategori tokoh Legendaris

Sementara dewan juri yang menetapkan penerima Hadiah Asrul Sani 2014 tersebut adalah:

Alex Komang (sineas), Acep Zamzam Noor (penyair), Sauki Asrul Sani (keluarga Asrul Sani), Savic Alielha (Pemimpin redaksi NU Online), dll.

Salah satu pemandangan menarik dalam acara malam itu adalah saat Hadiah Asrul Sani diberikan kepada H. Agus Sunyoto diwakili oleh salah satu keponakan Asrul Sani yaitu Bona Sigalingging. Saya lebih mengenal Bona Sigalingging sebagai aktivis mahasiswa 98 yang masih konsisten hingga kini, bahkan dia adalah salah satu jemaat GKI Yasmin-Bogor yang gerejanya disegel dan beberapa kali harus beribadah di depan Istana Merdeka Jakarta  sampai sekarang. Saya dan beberapa yang lain baru mengetahuinya malam itu bahwa Bona adalah keponakan Asrul Sani, bahkan kawan dekat Bona, Savic Ali bercanda  Bona adalah “Krisnu” alias “Kristen-NU”.

 

(Bona Sigalingging wakil dari keluarga Asrul Sani setelah memberikan piagam penghargaan kepada H. Agus Sunyoto)

Acara puncak malam itu adalah pidato dari Ahmad  Tohari. Sebelum membacakan teks naskah pidatonya, Ahmad Tohari berkelakar bahwa panitia meminta dirinya memberikan pidato kebudayaan adalah sebuah kekeliruan, menurutnya karena  banyak yang lebih pantas dan mencerdaskan selain dirinya untuk  memberikan pidato. Hal rendah hati kembali terlihat dari dirinya.

Dia memulai pidato dengan menjelaskan sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 telah muncul tiga dokumen yang berisi konsep kebudayaan Indonesia. Ketiga dokumen tadi adalah “Surat Kepercayaan Gelanggang” (1951), “Mukaddimah Lembaga Kesenian Rakyat” (Lekra 1956), dan “Manifest Kebudayaan” (1963). Dia menjelaskan kaitan ketiga hal tadi dengan situasi politik saat itu dan puncaknya saat tahun 1965, ketika PKI dibubarkan dan Lekra gulung tikar.

Kemudian Ahmad Tohari menjelaskan awal dia berkarya adalah tahun 1971, sebuah pertanyaan mendasar menurutnya saat itu adalah tentang mengapa dirinya harus menulis sastra, dan yang kedua apa niatnya melakukan hal itu.

Dia kemudian menjawab sendiri, karena dia punya kegelisahan jiwa dan ingin melahirkan kegelisahan itu. Setelah kegelisahan itu lahir sebagai karya sastra, maka terserah kepada masyarakat mau membaca, lalu menangkap kandungan nilai yang terkandung dalam karya sastra itu. Atau membiarkan karya tersebut tersimpan di rak-rak buku.

Menurutnya, sebagai  penulis dia  dalam hal itu sudah menyelesaikan bagiannya.

Lantas alasan kedua, niat menulis karya sastra  jawabannya banyak. Bisa karena orientasi mencari uang, popularitas, atau menulis sastra untuk sastra itu sendiri. Penjelasan itu menurutnya membawa ke arah jalan buntu, “..adakah sesuatu yang lebih mendasar..?”  Dia seperti sedang bertanya sendiri.

Lantas dia kembali menjelaskan bahwa dirinya adalah termasuk orang yang percaya bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggung-jawaban. Maka niat harus ditata dan dibangun dengan baik agar setiap karya sastra yang dia tulis bisa dipertanggung-jawabkan.

“..jadi apa niat saya bersastra..?”

Kembali dia menegaskan,  bahwa seluruh karya sastra yang ditulisnya adalah niat menjalankan perintah dari sebuah ayat:

“..Hai orang-orang yang beriman jadilah kalian pembela-pembela Tuhan..”

Penyataan itu dia kembali lontarkan dengan membubuhi pertanyaan:

“..Apakah Tuhan butuh pembelaan..??”

Tidak lama dia meneruskan dengan penjelasan bahwa Tuhan mahakuasa, jadi Tuhan sama sekali tidak butuh pembelaan. Meyakini  pribadi Tuhan  butuh pembelaan adalah kekonyolan yang nyata. Maka kewajiban menjadi pembela Tuhan sesungguhnya adalah kewajiban membela amanat dan “alamat”-Nya.

Amanat Tuhan kepada manusia tidak lain adalah keadaban kehidupan, yang dibangun melalui penegakan nilai-nilai keadaban seperti keadilan, kebenaran, kasih sayang, martabat kemanusiaan, pranata sosial yang baik, dan seterusnya. Jelasnya, amanat Tuhan kepada manusia adalah penyebaran kasih sayang kepada seluruh isi alam. Melalui karya sastra yang semuanya menyangkut kehidupan orang-orang terpinggirkan, Ahmad Tohari seperti  bermaksud memberikan kasih sayang kepada mereka. Tentu, pembelaan secara sastrawi melalui persaksian dan pewartaan tidak akan serta merta mengubah keadaan orang-orang teraniaya itu. Sastra hanya punya tugas mengetuk nurani masyarakat bila terjadi gejala yang menandai adanya pelanggaran terhadap nilai keadaban.

Lagi-lagi dia bertanya yang tidak beberapa lama dia pun jawab sendiri:

“..Maka apakah pembelaan terhadap nilai-nilai keadaban melalui karya sastra bisa berhasil..? Sastra hanya menyampaikan nilai-niai yang terkandung dalam suatu narasi cerita kepada pembaca. Sastra hanya menyapa jiwa. Maka pembaca sendiri yang, kalau mau, mengolah penghayatan nilai-nilai itu menjadi kesadaran dalam jiwanya. Dan bila perkembangannya berlanjut maka kesadaran itu akan bergerak menjadi perilaku nyata..”

Selanjutnya dia seperti sedang kilas balik menceritakan pengalaman pribadi yang dirasakannya berat, yakni ketika menulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”. Novel yang ditulisnya tahun 1980 itu menceritakan kehidupan seorang ronggeng yang dituduh terlibat dalam pemberontakan PKI tahun 1965.

Adalah dua kata kunci yaitu  “Ronggeng” yang bermakna penari bahkan diartikan tariannya membawa imajinasi erotis kaum laki-laki bahwa  setelah menari sang ronggeng pun syah “dijamah” jika si laki-laki tadi adalah orang yang mempunyai cukup uang. Dan satu kata lain lagi adalah  “PKI”  yang begitu sensitif disebutkan di era Orde Baru tersebut.  Dari dua kata tadi Ahmad Tohari menjelaskan  dia seperti digugat  oleh “komunitas santri”-nya.

Ulasannya kemudian merunut saat awal dia tidak bersimpati kepada PKI, tetapi paska tahun 1965 dimana para kadernya, simpatisan, dan yang dituduh terlibat dengan PKI dihukum tanpa pengadilan, bahkan banyak yang dibunuh dengan semena-mena.

Lebih lengkap dalam teks pidatonya Ahmad Tohari menjelaskan:

“..Maka saya senang ketika PKI ternyata kalah dalam kudeta tahun 1965. Tetapi kemudian saya melihat gejala yang luar biasa. Rumah mereka dibakar massa. Bahkan mereka ditembak mati di depan umum, di depan mata saya. Di seluruh Indonesia ratusan ribu dibunuh. Keluarga mereka dilucuti hak-hak sipilnya hingga tiga atau empat generasi. Ini gejala kemanusiaan yang dahsyat, dan muncul pertanyaan dalam jiwa saya; apakah kekejaman massif ini tidak melanggar keadaban? Dan, bagaimana saya harus memahami sabda Tuhan bahwa Dirinya adalah Zat Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang? Demikian, maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk,  terasa ada empati saya terhadap mereka, terutama terhadap orang-orang biasa yang dibunuh karena dituduh terlibat PKI. Dalam keyakinan saya, empati ini adalah pembelaan terhadap keadaban yang menjadi amanat Tuhan..”

Tetapi sikapnya sebagai sastrawan yang menyuarakan mereka yang tertindas tersebut tidak berbanding lurus dengan selera penguasa.  Pihak aparat keamanan memandang sikap Ahmad Tohari ini sebagai bukti kedekatannya dengan kaum komunis sehingga dirinya  diinterograsi selama lima hari di Jakarta. Lima hari yang berat menurutnya. Untung pada hari kelima ada interogrator yang bertanya kepadanya, adakah orang yang bisa menjamin bahwa dirinya bukan simpatisan komunis.

Tidak lama kemudian  Ahmad Tohari  menulis sebuah nama lengkap dengan nomor telponnya. Dirinya mempersilahkan  para interogrator  tadi menghubungi  nama dan nomor yang dimaksud. Nama yang Ahmad Tohari  tulis sebagai jaminan adalah :

“Abdurrahman Wahid (Gus Dur)”.

Tidak lama dari situ Ahmad Tohari selesai membacakan pidato kebudayaannya, tepuk tangan riuh mengiringi dirinya kembali ke tempat semula ia duduk dengan beberapa orang mengerumuninya untuk bersalaman.

Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan salah satu cerpen pendek miliknya yang berjudul “Pengemis dan Shalawat Badar” dibacakan dengan nuansa musikal diiringi suara tiupan seruling dan petikan gitar, sayang suara merdu instrumen musik tadi tidak cukup menjadi penawar getir isi cerita dalam kisah yang dibacakan.

Tidak berselang lama  riuh kesenian “Genjring Losari” menutup rangkaian acara, Hamzah Sahal sebagai MC sedikit berkelakar saat beberapa bapak-bapak yang akan memainkan rebana tadi bertelanjang kaki tidak memakai sandal atau sepatu:

“..memang di beberapa Masjid (khususnya Masjid NU) sering terjadi jamaah yang kehilangan sandal, tetapi jika Wahabi yang masuk Masjid tadi bukan hanya sandal saja yang hilang, bahkan bedug dan kentongan-pun niscaya juga akan hilang..”

Tawa riuh peserta yang hadir kemudian berbarengan dengan irama  tabuhan rebana bapak-bapak dari Losari tanpa sendal tadi,  memainkan kesenian tradisional “Genjring Losari” menembangkan lantunan Shalawat Badar.

@Husni_Efendi