Sejak Osama bin Laden mengebom menara Wolrd Trade Center (WTC) di Amerika Serikat pada 11 September 2001 lalu, dunia Islam telah menjadi sorotan global secara negatif. Islam dinilai sebagai sarang pelaku teror dan agama yang berbalut kekerasan. Di negara-negara Barat, citra Islam menjadi buruk sehingga membangkitkan Islamophobia.
Meski prasangka yang demikian terlalu generalis, namun tak bisa dipungkiri bahwa belakangan ini ekstremisme tumbuh subur di dunia Islam. Di Indonesia sendiri, fakta ini memang nyata. Sejak Bom Bali tahun 2002 hingga Bom Makassar beberapa waktu yang lalu telah terjadi puluhan bahkan ratusan aksi terorisme yang dilakukan kaum ekstremis.
Situasi dunia Islam yang telah banyak dinodai kaum ekstremis ini menimbulkan keprihatinan banyak pemikir muslim dunia. Salah satunya adalah seorang intelektual muslim asal Turki bernama Mustafa Akyol. Ia menumpahkan keprihatinannya melalui sebuah buku yang berjudul Islam Tanpa Ekstremisme (2014). Melalui buku ini, alih-alih sebuah ratapan atas gelapnya dunia Islam, ia malah menawarkan sebuah Islam yang lebih terbuka untuk masa depan Islam.
Islam Tanpa Kekerasan
Kegelisahan Akyol dimulai ketika ia mendapati sebuah ajaran Islam yang mewajibkan orang tua untuk mencambuk anaknya ketika memberikan pembiasaan untuk beribadah. Baginya, perintah seperti itu sangatlah mengerikan bagi seorang anak. Ia berfikir bahwa tak ada anak yang akan sukarela beribadah jika dipaksa dengan kekerasan.
Berlatar dari rasa khawatir terhadap nuansa kekerasan yang terlihat sepele tersebut, Akyol menelusuri berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh para ekstremis. Misalnya ketika Taliban berkuasa di Afghanistan sejak tiga dekade yang lalu, semua perempaun dipaksa memakai burqa dan dilarang keluar rumah dan setiap laki-laki dipaksa untuk memanjangkan jenggot. Jika mereka menolak, akan dicambuk dan dianiaya. Situasi Afghanistan menjadi mencekam dan penuh dengan kekerasan.
Aksi-aksi kekerasan yang tak manusiawi tersebut sebenarnya tak memiliki rujukan dalam Islam. Nabi Muhammad Saw sendiri merupakan pribadi yang penuh keramahan dan kasih sayang. Dalam sejarah Islam, nabi digambarkan sebagai sosok pengayom dan pemberi keteduhan bagi umatnya. Bahkan Nabi tak pernah melakukan pemaksaan dalam proses dakwahnya.
Dalam Islam sendiri ada dalil yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang “rahmatan lil alamin.” Yaitu sebuah agama yang ditujukan untuk memberikan rahmat atau kasih sayang kepada seluruh alam. Kasih sayang Islam seharusnya tak mengenal sekat-sekat etnis maupun keimanan. Islam memberikan keselamatan kepada siapa pun.
Kaum Ekstremis Keliru Memahami Islam
Berbagai aksi kekerasan yang dilakukan oleh kaum ekstremis di atas berakar dari pemahaman yang keliru terhadap ajaran Islam. Misalnya tampak pada pemahaman mereka terhadap urgensi pendirian negara Islam. Mereka biasanya merujuk kepada berbagai kekhalifahan Islam mulai dari era Khalifa’ur Rasyidin, Bani Umayah, Abasiyah, hingga Utsmani.
Padahal, di dalam Al-Qur’an maupun Hadist tidak pernah disebutkan anjuran atau konsep tentang negara dalam Islam. Bahkan Nabi Muhammad ketika hendak wafat, tidak pernah mengatakan untuk mendirikan sebuah negara. Bahkan, Nabi sendiri sama sekali tidak menunjuk secara langsung siapa sahabatnya yang akan menjadi pemimpin Islam pasca-wafatnya.
Kekeliruan itu juga tampak pada rujukan kaum ekstremis kepada Turki Utsmani. Padahal, dalam sejarah Islam sendiri, Turki Utsmani adalah sebuah anomali politik. Turki Utsmani itu adalah kekuasaan dengan model kerajaan. Di sana, rajanya adalah turun temurun. Tidak ada prosedur musyawarah dan demokrasi dalam proses pemilihan pemimpinnya.
Dalam Islam sendiri yang dianjurkan adalah bermusyawarah. Nabi sendiri, tidak pernah menunjuk pemimpin hanya kerena alasan keturunan atau saudara. Nabi tidak pernah menunjuk keponakan sekaligus menantunya, Ali bin Abi Thalib sebagai penerus politiknya. Dari sini, menandakan bahwa model kerajaan seperti Turki Utsmani tidak ada rujukan yang sah dalam ajaran Islam.
Gus Dur pernah menegaskan bahwa Islam tidak memiliki konsep dasar tentang sistem kenegaraan. Adapun kunci kelayakan sebuah model kenegaraan dalam Islam adalah kebebasan untuk beribadah. Ketika umat Islam dapat secara bebas melakukan aktivitas peribadahan dan dakwah, maka sistem itu patut untuk ditaati.
Namun, sayangnya kaum ekstremis sangatlah bebal dan sulit untuk berpikir terbuka. Cara berfikir serba hitam-putih semakin mengukuhkan utopia mereka terhadap berdirinya negara Islam. Bahkan kerap kali mereka memperjuangkan agenda mereka penuh dengan kekerasan dan nir kemanusiaan. Mulai dari Taliban hingga ISIS beberapa waktu yang lalu, kekerasan telah menjadi bagian dari perilakunya.
Jika kita membayangkan masa depan Islam, sejujurnya kita harus berkata tidak atau menolak kepada ekstremisme. Sudah terlalu banyak substansi ajaran Islam yang mereka khianati. Role model Islam masa depan kita adalah Islam yang terbuka, ramah, toleran, dan terpelajar. Dan barangkali, role model demikian itu salah satunya muncul dari Islam di Indonesia.