Jauh sebelum lebaran tiba, sekumpulan politisi berinisial TKN dan sekumpulan politisi berinisial BPN sama-sama sepakat untuk berpakaian serba putih di TPS masing-masing daerah pada 17 April 2019. Menurut mereka, hal itu diharapkan akan membawa spirit kebaikan di sela-sela pesta demokrasi serentak.
Sementara, bagi saya tidak. Selama putih diasosiasikan sebagai simbol kebaikan dan sebaliknya, katakanlah hitam sebagai simbol keburukan, selama itu pula rasisme akan tetap bernapas. Tapi lain waktu saja kita diskusi tentang itu.
Yang jelas, seperti diberitakan media-media nasional, salah satu Capres Prabowo Subianto sempat menyeru kepada para pengikutnya untuk “lebaran di TPS”.
Lebaran itu Idul Fitri. Idul Fitri adalah momentum umat Islam merayakan kemenangan. Dan, di sini kita tidak perlu berdebat “lebaran di TPS” itu untuk merayakan apa atau kemenangan atas siapa.
Sebab, lazimnya lebaran, ia merupakan bentuk paripurna dari segenap upaya dan usaha umat Islam dalam mengontrol hawa nafsu pada saat pelaksanakan ibadah puasa selama satu bulan penuh.
Dengan begitu, sebagai pamungkas, mereka lalu dianjurkan agar menunaikan ibadah Salat Idul Fitri untuk merayakan “kemenangan” atas hawa nafsu itu tadi.
Di Indonesia Idul Fitri memiliki nilai budaya. Tidak hanya sebagai perayaan kemenangan, Idul Fitri, Lebaran, Riyoyo, Bodhlo, Bodo, Bakdo, atau apapun itu juga dirayakan sebagai momentum untuk saling meminta dan memberi maaf.
Itulah mengapa ada tradisi mudik, sungkem, syawalan, badan, ujung, halbi, open house, dan sebagainya untuk merekatkan “balung pisah”, mempererat hubungan sosial, atau mencipta harmoni.
Ternyata, Idul fitri juga untuk politisi. Medio 1948 Indonesia pernah terjangkit gejala disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar. Mereka enggan untuk duduk satu forum. Sedang pada saat yang sama, terjadi pemberontakan di mana-mana, salah duanya DI/TII dan PKI.
Ir. Soekarno, selaku pimpinan tertinggi Republik Indonesia gundah gulana. Sekiranya pertengahan bulan Ramadan, Bung Karno konsul kepada seorang ulama kawakan, KH Wahab Chasbullah untuk meminta pendapat tentang solusi atas situasi politik pada saat itu yang sedang berada di ujung tanduk.
Soal yang begini-begini ini, Kiai Wahab memang pakarnya. Sebagai ulama sekaligus ujung tombak politik Nahdlatul Ulama, Kiai Wahab menyarankan agar Bung Karno menggelar silaturahim, mengingat pada saat itu lebaran hampir tiba.
Sialan—ada “hehe”-nya—, Bung Karno masih kurang puas. Menurutnya, silaturahim itu biasa, sedang ia ingin istilah yang lain, yang mungkin kalau dalam bahasa hari ini: beken. Bukan Kiai Wahab namanya kalau tidak tangkas.
“Itu gampang”, tegas Kiai Wahab.
“Begini, para elit politik tidak mau bersatu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu dosa. Dosa itu haram. Nah, supaya mereka tidak punya dosa yang haram itu, maka harus dihalalkan. Artinya, mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Dengan demikian, pada silaturahim nanti kita pakai istilah ‘halal bi halal’ saja,” begitu kira-kira terang Kiai Wahab.
Benar saja, berbekal saran tersebut, tanpa ba-bi-bu Bung Karno lalu mengundang semua tokoh politik. Mereka diminta datang ke Istana Negara pada Hari Raya Idul Fitri saat itu.
Kepentingannya sederhana: silaturahim yang diberi tajuk “Halal bi Halal”. Sebab, mencari penyelesaian masalah harus diawali dengan cara mengampuni kesalahan, atau seperti keterangan yang disampaikan Kiai Wahab disebut sebagai “thalabu halal bi thariqin halal”.
Lalu, jadilah “Halal bi Halal” sebagai agenda rutin instansi-instansi milik Pemerintah sejak saat itu dan bahkan berlanjut hingga hari ini setiap Hari Raya Idul Fitri. Belakangan kegiatan itu melebar ke ranah swasta, keluarga, bahkan para alumni sekolah masing-masing.
Maka, membayangkan betapa gentingnya situasi Indonesia saat itu, kemudian melihat kenyataan hari ini, perseteruan TKN dengan BPN justru terlihat cupu. Mengapa?
Jelas, karena para elit politik masa lalu, kendati berseberangan pola pikir, senyatanya mereka masih sudi berkumpul, menanggalkan gengsi, dan menurunkan ego kedirian sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Memang, “maaf” tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi, dengan “maaf” kita bisa memperbaiki masa depan, bukan?