Saya gembira sekali melihat begitu banyak inisiatif untuk mengunggah pengajian di dunia maya selama bulan puasa kali ini. Sejumlah kiai dan asatidz mulai mem-broadcast secara “live” pengajian-pengajian yang selama ini “off-line” menjadi “on-line”. Dengan demikian, manfaatnya bisa menjangkau publik yang lebih luas.
Ada Gus Mus (kadang ndak enak juga memanggil mertua sendiri dengan panggilan “gus”, hehehe) yang sudah sejak beberapa tahun memulai inisiatif ini. Gus Mus mungkin adalah salah satu kiai sepuh NU saat ini yang bisa disebut paling “on-line”.
Ada kiai dari Yogyakarta (saya lupa namanya; mohon maaf) yang bahkan merintis inisiatif yang dahsyat: ngaji karya Ibn ‘Arabi dan Jalaluddin Rumi. Baru pertama kali ini saya mendengar ada kiai yang “mbalah” (mengajarkan) karya Rumi pada bulan puasa. Luar biasa.
Teman saya Savic Ali membuat terobosan yang patut diacungi jempol: yaitu membuat aplikasi Nutizen yang menyediakan “lapak” bagi sejumlah kiai dari pelbagai pesantren di Jawa untuk bisa menyiarkan pengajian mereka secara “live streaming”. Saya senang sekali dengan terobosan-digital-ukhrawiah ini. Ada banyak kiai dan gus yang membuka pengajian selama bulan puasa ini melalui aplikasi Netizen. Ada Gus Ghofur dari Sarang, ada Gus Yusuf Chudlori dari Tegalrejo, Magelang, dan sejumlah “gawagis” dan “kuyuh” (jamak taksirnya “kiai”, hahaha…) yang lain.
Anda harus mengunduh aplikasi ini. Wajib hukumnya. (Bukan wajib syar’i, tapi wajib digitali, hahaha…)
Publik sekarang disodori semacam “pasar raya pengajian” yang warna-warni. Mungkin dampaknya bisa mengejutkan: publik bingung memilih “menu” pengajian mana yang hendak disantap. Tetapi, buat saya, lebih baik bingung karena kesulitan menentukan pilihan di antara hal-hal yang baik, ketimbang bingung karena konten-konten “berdosa” yang mencelakakan yang sekarang ini banyak bertebaran di internet.
Saya sendiri mencoba-coba untuk membuka pengajian virtual dengan membaca kitab “sepuh” Ihya’ Ulumiddin (kapan lagi ngaji kitab “sepuh” kalau ndak pas bulan puasa begini, hehehe…). Tujuan saya ngaji ini bukan apa-apa, selain untuk memaksa saya sendiri untuk membaca kitab Ihya’ secara rutin, setiap malam, selama bulan puasa, seraya “tabarrukan” (“seeking blessing”) pada kitab agung karya Imam Ghazali ini.
Sementara itu, ada hal yang patut digembirai (apakah ada kata ini dalam KBBI?) dengan banyaknya pengajian virtual selama bulan puasa ini. Yakni: fakta bahwa sekarang ada upaya membanjiri dunia maya dengan koten-konten Islam yang rahmah, yang membawa keteduhan dan ketenangan, bukan pemahaman yang menuding-nuding kiri-kanan, yang menyebarkan kecurigaan, yang membawa aura kebencian.
Dunia maya adalah pisau bermata dua (kalau pisau bermata satu namanya pisau bajak-laut, hehehe…). Dunia ini bisa menjadi sarana penyebaran konten yang positif, bisa juga menjadi kanal bagi konten-konten yang bikin perut mules dan kepala “ngelu”.
Selama ini, banyak keluhan dari sejumlah pihak tentang dunia medsos yang menjadi ajang penyebaran hoax, fitnah, wa-akhawatiha. Atau keluhan tentang mesin pencari Google yang begitu kita mintai tolong mencarikan konten-konten keislaman dengan kata-kata kunci tertentu, yang muncul, “mak-byar”, adalah konten-konten keislaman yang diproduksi oleh kelompok garas (garis keras) atau garus (garis “lurus”). (Mohon maaf, terpaksa saya memakai dua istilah ini).
Sekarang, keluhan ini tampaknya sudah mulai dijawab oleh inisiatif-inisiatif pengajian digital yang saat ini membuncah di dunia maya”h”. Alhamdulillah…
Sodara-sodara setanah air, Anda bisa menolong Indonesia dengan tindakan yang amat sederhana: sebarkan seluas mungkin info tentang dan konten pengajian-pengajian virtual yang membawa pesan damai selama bulan puasa ini. Dengan demikian, Anda telah ikut mencicil langkah penting: membanjiri dunia maya dengan pesan-pesan keislaman yang ramah.
Sekian. Sampai ketemu nanti malam dalam pengajian Ihya seri ke-3.