Saya heran, kenapa bisa ada bendera Partai Komunis Indonesia (PKI) di demo tolak RUU-HIP hari rabu (24/6) kemarin? Bendera itu tidak mungkin dibeli, karena sudah 50 tahun lebih Indonesia dipaksa tidak akrab dengan lambang ini. Pasti bendera itu dibuat dan dipesan sendiri oleh orang yang demo. Atau minimal, para pendemo itu pasti tahu tempat pesannya di mana.
Nah, lalu begini, ketika bendera lambang PKI yang mereka miliki itu diada-adakan sendiri, apakah bayangan mereka atas kebangkitan PKI yang mau menguasai sendi-sendi kehidupan kita juga mereka reka-reka sendiri? Lalu kemudian mereka menghajar hasil rekaan mereka persis seperti mereka membakar bendera PKI yang entah dari mana mereka dapat.
Hal seperti ini kan sama saja dengan seorang petarung yang berkelahi dengan orang-orangan sawah dengan ornamen stiker wajah musuh tertempel di bagian kepala orang-orangan sawah itu. Petarung itu memukul orang-orangan sawah sampai koyak lantas ia berbangga karena merasa sudah memusnahkan musuhnya.
Konyol? Halu? Silahkan hukumi sendiri.
Hal semacam ini sejatinya pernah diwanti-wanti oleh Al-Ghazali. Dalam kitabnya yang berjudul Al-Munqidz Min ad-Dalal, Beliau menjelaskan sebuah etika-etika dalam berdebat, yang ketika kita kontekstualisasikan akan persis kejadiannya dengan perilaku pendemo yang barusan kita lihat. Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz jelas mengatakan bahwa saat kita hendak berdebat, jangan sampai kita memukul orang-orangan sawah.
Apa artinya? Kita dalam berdebat, jangan sampai hanya memukul pikiran kita sendiri yang coba mereka-reka tindakan lawan debat.
Karena, saat kita hanya memukul pikiran kita sendiri atas musuh debat, kita hanya menghasilkan capek untuk diri sendiri tanpa memberikan efek apa-apa pada musuh debat kita.
Ide Al-Ghazali tentang konsep berdebat ini tidak datang dari ruang kosong. Saat itu beliau memang tengah berdebat dengan kelompok Syiah Ismailiyah. Atas debat ini, Al-Ghazali melakukan usaha, yang menurut takaran saya, sangat luar biasa keras. Pertama-tama beliau membaca dan mempelajari seluruh kitab dari kaum Syiah Ismailiyah, bahkan beliau juga memilah-milah beragam pendapat yang didapat dari kitab yang dipelajari.
Beliau kelompokkan pendapat sesuai kategori, sesuatu yang barang kali tidak pernah dilakukan oleh Syiah Ismailiyah sendiri. Kemudian beliau mendaftar ajaran-ajaran yang perlu didebat dan yang tidak perlu. Barulah Al-Ghazali menyusun daftar jawaban untuk hal-hal yang perlu didebat saja.
Hal ini kontras dengan kita yang sering menghujat musuh dengan membabi buta. Apapun perbuatannya.
Dalam menghimpun data, Al-Ghazali tidak hanya membaca. Beliau juga mengutus kawannya untuk menyamar jadi pengikut baru Syiah Ismailiyah. Tujuannya tak lain tak bukan untuk memberikan gambaran seakurat dan seobjektif mungkin pada lawan debatnya ini.
Data yang didapat dari “intelijen” ini akan semakin mempertebal argumen yang hendak diajukan dan mengoreksi, kalau-kalau ada yang luput dari bacaannya. Jadi Beliau bukan hanya sekadar mereka-reka “Ah, Syiah Ismailiyah itu pasti begini” atau “Halah, Syiah Ismailiyah itu pasti berperilaku begitu”. Beliau telah melakukan observasi yang amat sangat mendalam.
Apakah konsep ini masih relevan untuk kehidupan kita saat ini?
Tidak hanya relevan menurut saya. Tetapi memang, ini sebenarnya ironi, kita sedang hidup dalam situasi yang sering kali orang-orang bangga telah memukul pikirannya sendiri. Hal ini terjadi lebih-lebih di sosial media.
Iklim sosial media memang sangat mendukung atas terjadinya perbuatan lucu ini, karena sosial media memang menyuguhkan sesuatu yang kelihatannya nyata, tapi sebenarnya semu. Sosial media juga membuat orang mudah sok tahu, padahal aslinya belum cukup tahu. Bahkan tidak tahu sama sekali.
Taruhlah satu contoh seorang bernama Anu sedang mengamati si Bobo. Anu sebal dengan Bobo karena berseberangan referensi politik, lebih-lebih Bobo suka menjelek-jelekkan calon dukungan Anu. Anu melihat dan mengintai semua akun Bobo saban hari lewat unggahannya di IG, Anu juga membaca hampir semua celetukan Bobo di Twitter.
Sampai Anu juga membaca curhatan Bobo di lini masa Facebook, barangkali ada masa lalu Bobo yang blunder dan bisa digoreng. Namun Anu tidak pernah bertemu dengan Bobo, karena sebenarnya Anu hanya sebal pada Bobo karena dia berisik di sosial media.
Apakah data-data itu dapat merepresentasikan Bobo? Anda pun sudah tahu jawabannya, sama sekali tidak, bahkan bisa sangat jauh bertolak-belakang.
Akhirnya, Anu hanya bisa berasumsi kalau si Bobo itu begini dan begitu. Yang Anu punya hanyalah rekaan pikirannya sendiri tentang seseorang yang tak pernah ditemuinya. Anu tidak pernah benar-benar kenal dengan Bobo. Naasnya Anu sudah kepalang pede dan merasa sudah mengantongi semua data si Bobo. Berdebatlah mereka di sosial media.
Mereka berdebat, seolah-olah sudah saling bertanding, tapi sejatinya mereka hanya saling memukul orang-orangan sawahnya sendiri. Tapi ini lebih mending karena si Anu dan si Bobo nyata. Lha kalau yang diajak berdebat ini fiktif?
Jangankan pikirannya, bahkan orangnya pun direka-reka. Hmm, kembali, silahkan hukumi sendiri.
Anda mau benci PKI? Boleh. Anda mau setuju dengan ide-ide PKI? Silakan saja. Anda mau abai dengan PKI? Boleh. Asal anda telah mempelajari itu dengan tekun. Anda membaca bukunya, anda pahami maksud-maksud di dalamnya, anda uraikan hal-hal yang baik dan yang buruk dari ajarannya, anda pilah-pilah, lalu anda kritisi hal-hal buruknya saja. Anda juga perlu mencari gerak-gerik yang menunjukan bahwa memang ada kebangkitan PKI. Dengan begitu, anda akan jelas tentang apa yang harus dibenci dari PKI. Biar tidak asal pokoknya benci, mengada-adakan bendera PKI, bakar sendiri, tanpa tahu ujung pangkalnya.
Rumit? Bertele-tele? Ribet? Makan banyak waktu? Memang! Untuk menjadi pembenci yang elegan memang rumit, bertele-tele, ribet dan makan banyak waktu. Tapi kalau maunya emang jadi pembenci yang katrok dan cupu, ya sudah, cukup bilang pokoknya “PKI bangsat!” dan setelahnya segera kuburkan nalar pikir, toh sudah tidak diperlukan lagi, kan?
Wallahu A’lam Bisshawab.