Diskursus tentang al-Quran tak pernah selesai diperbincangkan. Ia bukan hanya dibaca, dihafal, dilantunkan, bahkan dilombakan bacaanya dalam gelaran-gelaran musabaqah tilawatil quran (MTQ). Tafsir atas al-Quran terus menerus dilakukan oleh sarjana-sarjana tafsir. Bahkan, pada titik tertentu, kajian tafsir menjadi meluas seiring munculnya sarjana-sarjana lintas disiplin ikut ambil bagian dalam melakukan penafsiran atas al-Quran sebagaimana yang telah dilakukan oleh ahli-ahli tafsir. Hal ini pada gilirannya menumbuhkan keragaman corak tafsir; tafsir ber-genre fiqh, tafsir isyari-shufi, tafsir ijtima’i-sosial, tafsir sastra, dll.
Nabi Muhammad SAW sendiri, sebagai penerima dan penyampai wahyu, tidak menafsirkan seluruh ayat-ayat dalam al-Quran. Salah satu hikmah terdalam dari fakta bahwa Nabi tidak melakukan penafsiran terhadap semua ayat al-Quran, sebagaimana dikatakan oleh Syeih Abdul Halim Mahmud, adalah bahwa Nabi menafsirkan ayat al-Quran dengan sikap dan perilakunya.
Tafsir nabi atas al-Quran dengan prilaku beliau justru jauh lebih banyak ketimbang melalui penjelasan verbal. Sebab, prilaku dan pekerti beliau adalah pekerti al-Quran (laqad kaana khuluquhu khuluqul qur’an). Di sisi lain, jumlah penafsiran nabi yang sedikit ini memberikan ruang gerak bagi para ulama-ulama untuk melakukan penafsiran-penafsiran atas ayat al-Quran. Pada titik ini, keragaman tafsir menjadi tidak bisa terelakkan.
Sebagaimana dikisahkan dalam hadis-hadis sahih, bahwa ayat pertama yang diturunkan oleh Allah kepada baginda kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah ayat berupa perintah membaca; Iqra’ bismirabbik (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu). Ayat yang menegaskan pentingnya membaca. Sebab membaca adalah gerbang ilmu pengetahuan.
Perintah membaca dalam ayat-ayat pertama yang turun disebut dua kali, sementara kata ilmu (dalam bentuk derivasi lainnya disebut tiga kali) dan kata al-Qalam disebut satu kali. Rangkaian ayat-ayat tersebut kian menegaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang sangat –untuk tidak mengatakan paling- penting bagi umat Islam. Sebab ilmu (pengetahuan) adalah sebuah wasilah (pengantar) menuju keimanan dan menguatkannya. Ulama –pemilik atau ahli ilmu- adalah orang-orang yang paling bertakwa kepada Allah.
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Fathir:28)
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa prilaku dan pekerti kanjeng Nabi Muhammad SAW adalah pekerti al-Quran, maka beliau pun dalam beberapa sabdanya menguatkan atas pentingnya membaca. Beliau bersabda:
Barang siapa mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkannya untuk masuk ke surga-Nya. Para malaikat mengepakkan sayap-sayapnya sebagai pertanda meridai apa yang dilakukan oleh pencari ilmu. Dan sesungguhnya seorang alim disirami doa-doa ampunan oleh semua makhluk di alam semesta tak terkecuali didoakan pula oleh ikan-ikan kecil di dalam air. Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah ibarat (cahaya) rembulan atas kerlip bintang-bintang di langit. Ulama adalah pewaris para nabi. Dan para nabi tidaklah mewariskan dirham dan dinar, melainkan mewariskan ilmu pengetahuan. Bagi siapa saja yang mengambil ilmu maka ia telah berada di jalan yang tepat. (HR Tirmidzi dan Abu Daud)
Tulisan singkat di atas mengingatkan kita semua bahwa perintah membaca (mencari dan terus menambah ilmu pengetahuan) adalah sesuatu yang bukan hanya sangat penting. Bahkan Nabi Muhammad SAW sebagai teladan umatnya memberikan contoh yang harus kita ikuti. Hal ini sebagaimana tergambar dalam doa Nabi Muhammad:
Duhai Tuhanku! Tambahkanlah ilmu pengetahuanku.
Jika Nabi Muhammad SAW -yang merupakan manusia paripurna “insan al-kamil”- saja terus memohon agar diberi tambahan pengetahuan. Lalu bagaimana dengan kita yang “mengaku” sebagai umatnya? Sudahkah kita layak menjadi umatnya yang meneladani sikap, ucapan, dan perbuatan beliau? Jawablah!