Membaca Lagi Jalan Dakwah Buletin Jumat

Membaca Lagi Jalan Dakwah Buletin Jumat

Membaca Lagi Jalan Dakwah Buletin Jumat

Setiap hari Jumat, kita kerap berjumpa dengan selebaran yang dibagikan cuma-cuma di serambi masjid. Seberapa sering Anda temui buletin Jumat di masjid-masjid sekitar Anda?

Ketika pulang kampung, saya biasa mengikuti shalat Jumat di masjid salah satu pesantren kenamaan di Kota Malang. Biasanya tiap pekan rutin disediakan sekian eksemplar buletin Jumat. Dulu semasa kecil, saya dan teman-teman kerap iseng mengambilnya untuk bermain pesawat-pesawatan sepulang Jumatan. Tentu seiring bertambah usia hal itu tak berlanjut lagi.

Buletin Jumat ini bernama Al Huda, yang konon usianya kini sudah nyaris dua dekade. Setahu saya, distribusinya meluas utamanya di daerah Malang Raya. Beberapa masjid di Kota Malang turut melanggan buletin ini. Beberapa teman saya di pesantren mengoleksi tiap edisinya, malah ada yang menjadikannya bundel tahunan untuk aset pribadi.

Saya tidak cukup mengikuti perkembangan buletin Jumat untuk lingkup Malang Raya, alih-alih Indonesia saat ini. Buletin Jumat Al Huda yang saya deskripsikan di atas, serta buletin Wadda’wah yang dikelola jamaah majelis Habib Sholeh Alaydrus Malang, kiranya yang dulu jamak saya temui di Kota Malang. Serta tentu saja buletin Jumat Al Islam, yang dikelola Hizbut Tahrir Indonesia. Barangkali nama terakhir sering Anda temui.

Selain maraknya Al Islam, buletin-buletin Jumat indie juga beredar dalam oplah yang lebih kecil. Untuk saya yang tinggal di Ciputat, Kota Tangerang Selatan misalnya, dapat ditemukan buletin Jumat terbitan beberapa organisasi mahasiswa, lembaga-lembaga kajian, atau terbitan masjid setempat. Itu pun kadang dapat, kadang tidak – barangkali karena saya agak terlambat ke masjid, bisa jadi juga ada pengurangan oplah, atau malah mungkin sedang tidak terbit.

Buletin Jumat agaknya hingga hari ini masih menjadi satu medan tarung wacana tersendiri. Ia berada di ruang publik yang terbatas dalam lingkup Jumatan, dengan keragaman jamaahnya. Buletin Al Islam terbitan Hizbut Tahrir Indonesia misalnya (sebelum kini dilarang oleh pemerintah) dan berlanjut buletin Kaffah yang kontennya ‘sebelas dua belas’ dengan Al Islam, yang hemat saya, kontennya cukup provokatif – berselimut gagasan khilafah.

Membikin buletin Jumat, yang tampak sederhana, rupanya memang tantangan jalan dakwah tersendiri. Barangkali ada beberapa hal yang kiranya bisa dicatat terkait perkembangan buletin Jumat di era digital ini.

Pertama, soal bentuk fisik. Buletin Jumat adalah model dakwah lawas yang menurut saya masih keren dan relevan. Formatnya yang sederhana, simpel, lagi pas di kantong, adalah kelebihan media dakwah rutinan ini. Saking simpelnya, sampai-sampai buletin Jumat itu berkesan ‘habis manis sepah dibuang’.

Meskipun era digital telah menyajikan banyak artikel rutin dari media massa atau media sosial, tapi bagi sebagian orang, utamanya yang tidak akrab dengan gawai, membaca buletin Jumat cetak adalah kenyamanan tersendiri.

Kenyamanan membaca adalah keniscayaan. Saya kira model buklet lebih trendi dari sekedar selebaran kertas biasa. Begitu juga jika buletin Jumat diharapkan menjadi media layak koleksi, bentuk fisik dan tata letak buletin Jumat ini perlu dipertimbangkan dengan baik.

Beberapa masjid di pedesaan, juga membikin buletin Jumat dengan menyalin artikel dari media online tertentu. Fisiknya sederhana saja: fotokopian di lembar folio polos. Ada pula model buletin yang hanya ditempel di papan pengumuman masjid, dan sepulang Jumatan, jamaah menengoknya sambil mengecek laporan keuangan mingguan. Tren buletin Jumat di ‘mading masjid’ ini masih dilakukan di tengah gempuran zaman digital ini menyesuiakan kondisi masyarakat yang ada.

Kemudian yang kedua, adalah perkara konten. Saya mencontohkan buletin Al Huda terbitan Pesantren Miftahul Huda, daerah Gading Kasri, Kota Malang, yang saya kisahkan di awal. Buletin ini biasa memuat keutamaan-keutamaan ibadah, kisah hikmah, atau cara berakhlak kepada sesama. Mengingat pesantren yang tak jauh dari tempat tinggal saya itu kental dengan corak tasawuf dan thariqah, konten terkait hikmah dan akhlak begitu dominan.

Buletin Jumat Al Huda ini juga memuat tulisan narasumber dari para ulama kredibel di Malang Raya, bahkan Indonesia. Tak hanya ahli agama, tak jarang juga akademisi setempat, seperti dosen UIN Malang, Universitas Brawijaya, atau Universitas Negeri Malang, turut ‘turun gunung’ menyampaikan pesan Islam dalam buletin Jumat. Tulisan santri-santri pesantren Miftahul Huda itu juga kerap dimuat.

Melihat nama penulis yang tertera di bawah judul, pembacanya bisa takzim dengan otoritas dawuh dan petuah penulis tersebut. Untuk penulis pemula, namanya bisa dikenal luas. Tulisan yang dibutuhkan pun ringan saja, dan hal yang bisa diamalkan sehari-hari dan inspiratif akan lebih disukai.

Karena segmentasi dari buletin Jumat agaknya cukup jelas: jamaah shalat Jumat dari berbagai lapisan, sesuai profil kebanyakan jamaah, tulisannya tentu perlu disesuaikan. Untuk kalangan publik lebih luas, membicarakan tata krama, keutamaan ibadah, atau tips sehari-hari dari kitab dan ulama akan lebih bermanfaat. Tulisan semacam ini tidak lekang oleh waktu dan bisa dibaca kembali di lain hari, serta menarik untuk dikoleksi.

Selanjutnya yang ketiga adalah soal pendanaan. Konon media cetak memang menemui kesulitan tersendiri di masa sekarang. Dengan berbagai faktor yang ada, kiranya menyokong media cetak memang menjadi tantangan tersendiri, lebih-lebih yang bersifat lokal dan indie seperti buletin Jumat.

Biasanya buletin Jumat dikelola dengan pendanaan dari infak, donatur, atau lembaga yang membawahinya. Karena berbasis dakwah yang ‘ukhrowi’, sponsor mungkin sesuatu yang agak dijauhi untuk kasus buletin Jumat. Tapi iklan seputar kegiatan atau produk-produk yang relevan juga tidak salah dicantumkan, tentu saja selama tidak menghilangkan substansinya.

Selanjutnya soal distribusi. Beberapa masjid kerap menyediakan banyak buletin Jumat tapi tidak habis dibagi. Padahal isinya juga bisa begitu menarik. Buletin tersebut nampaknya tidak terdistribusi – malah kadang yang diambil jamaah adalah brosur toko atau jasa. Padahal banyak masjid penyelenggara ibadah Jumat yang bisa lebih memanfaatkan buletin tersebut. Perkara distribusi ini memang makan waktu, tenaga dan pikiran, yang menjadi tantangan tersendiri.

Ala kulli hal, lewat kancah buletin Jumat di masjid-masjid inilah, arus pertarungan wacana masih berlangsung. Di tengah arus dunia maya yang kadang tidak cukup kondusif, membaca buletin Jumat diharapkan menjadi oase dan inspirasi.

Buletin Jumat sebagai jalan dakwah, menjadi tantangan untuk para pemerhati literasi, khususnya literasi agama, agar buletin Jumat menjadi salah satu sarana dakwah beragama kita yang damai, santun dan senantiasa lebih baik.