Membaca Kembali Al-Quran, Membaca Kembali Diri Kita

Membaca Kembali Al-Quran, Membaca Kembali Diri Kita

Kita acapkali lupa bahwa Quran bukan sekadar dibaca belaka, lebih dari itu sebenarnya Quran memiliki nilai yang luar biasa. Tulisan ini mencoba mengulik hal itu.

Membaca Kembali Al-Quran, Membaca Kembali Diri Kita

Membaca kitab suci Qur’an mungkin bisa dibilang mudah. Kita tinggal meluangkan waktu; mau membacanya setiap habis shalat atau kapan pun jika luang. Akan tetapi, mengkaji isi serta menggali maknanya, ayat per ayat, menghubungkan surat satu ke surat berikutnya, itu yang tidak mudah. Tapi, saya terpantik ketika mengikuti kajian al-Qur’an dari kacamata materialisme historis yang diadakan oleh Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta pada Kamis malam (18/02) bersama Ustad Muhammad Fayyadl. Tema malam itu adalah belajar bagaimana menggali sejarah dari isi kitab suci al-Qur’an.

Sebenarnya agak berat mengkaji Qur’an jika ditinjau dari aspek historis atau sejarah. Hal itu juga diungkapkan sendiri oleh Ustadz Fayyadl. Beliau mengatakan, mengkaji kitab suci  itu tidak cukup hanya melihat dari satu kaca mata saja, apalagi menggunakan kaca mata kuda. Akan tetapi, harus melihatnya dari berbagai pendekatan.

Banyak aspek yang dibicarakan, tidak bisa menggunakan satu ilmu, tetapi juga harus melakukan pendekatan dengan banyak ilmu lain. Mulai dari aspek kebahasaannya, metode yang meliputi asbab nuzul (konteks turunnya wahyu al-Qur’an), munasabah (korelasi antar ayat) dan juga mampu menangkap idea moral (semangat dan pesan penting) dari al-Qur’an itu sendiri.

Banyak yang telah dibicarakan oleh Fayyadl, tapi di sini saya ingin mengulas pada aspek sejarah bagaimana kitab suci Qur’an itu hadir di tengah-tengah kita. Ia mampu menjadi kitab yang membebaskan,  bukan membelenggu kita dengan pemahaman yang sempit. Di sisi lain, saya ingin melihat bagaimana Qur’an itu menjadi mukjizat.

Barangkali di antara kita banyak yang beranggapan bahwa Qur’an itu tidak konsisten di dalam melakukan dialog dan memberikan informasi. Tidak teratur dan tema yang dibicarakan acap meloncat-loncat. Misalnya, ketika berbicara tentang tema kesempurnaan agama dan nikmat, setelah itu tiba-tiba meloncat ke masalah makanan.

Justru itu, karena ketidaksistematisannya, Qur’an memiliki nilai i’jaz (kemukjizatan) tersendiri. Maka tidak aneh jika sampai saat ini telah berjilid-jilid kitab dan bermilayaran buku yang tidak habisnya memberikan tafsir atas isi Qur’an.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana saya yang awam ini, atau mungkin pembaca yang mungkin tidak begitu menguasai bahasa Arab atau kosakata dari ayat al-Qur’an itu bisa menangkap pesan Tuhan yang multitafsir itu?

Ada dua aspek yang perlu diperhatikan oleh para pengkaji al-Quran. Pertama, tidak merasa ‘paling’ benar terhadap apa yang sudah ditafsirkan. Tidak merasa bahwa penafsiran yang telah dihasilkan itu adalah obyektif—seakan-akan penafsirannya itu dianggap yang paling menangkap pesan Tuhan. Menurut ustadz yang juga penulis buku Derrida tersebut, jika sudah beranggapan demikian, maka hal itu merupakan ‘keangkuhan’ dari sebuah penafsiran. Sekali lagi, kita mungkin boleh menafsirkan ayat-ayat Qur’an, namun jangan sampai menganggap bahwa penafsiran kita merupakan satu-satunya kebenaran. Absolut.

Kedua, pemahaman konteks historisitas turunnya Qur’an (asbab nuzul). Satu contoh bagaimana ayat tentang fawatihus suwar (pembuka surat), seperti: alif-lam-mim, ha-mim, ka-ha-ya-‘ain-shad, yaa-sin, nuun, dan lain-lain misalnya. Banyak sekali pendapat para ulama’ yang memperbicangkan status dari ayat tersebut. Ada yang berpendapat bahwa ayat itu hanya Allah saja yang tahu maknanya (yakni dengan menyatakan ‘Wallaahu a’lamu bimuradihi). Namun, sebagian mufassir mengartikan makna dari huruf per huruf. ‘alif’ ‘lam’ dan ‘mim’, ada maknanya tersendiri. Itu hanya baru satu ayat saja, belum lagi ayat yang berjumlah sekitar 6000 an itu jika dibabarkan. Demikian itulah salah satu dari sisi kemukjizatan (i’jaz) al-Qur’an.

Berbicara Qur’an dimensinya memang sangat banyak. Ada kaidah-kaidah tafsir yang harus dilalui dalam melakukan penafsiran. Namun tidak lantas kemudian dijadikan sebagai dalih bermalas-malasan mempelajarinya. Membaca saja tanpa kita tahu maksud dari arti ayatnya sudah dianggap sebagai ibadah, pahala. Bahkan, satu huruf pun menjadi amal jariyah kita untuk bekal di akherat kelak. Dan apa yang sudah dipaparkan oleh Fayyadl dalam memahami al-Qur’an, itu wujud bagaimana kita bisa harus menerapkan sifat ke hati hatian. Ikhtiyyat.

Problematika Quran di Era Kekinian

Di tengah kehidupan dan keberagaman ini banyak orang yang mengaku sebagai nabi. Mulai dari Lia Eden, Ahmad Mushadeq, bahkan yang terakhir ada pria asal Jombang yang mengaku Nabi Isa. Saat ini juga, di mana-mana banyak orang begitu gencar mengampanyekan LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender). Banyak juga perilaku para pejabat yang melakukan korupsi, dan kongkalikong dengan konglomerat asing. Dan tanah di negara kita juga sampai saat ini banyak dikuasai oleh para ‘penjajah’, mulai dari Freeport, dengan emasnya, Aqua dengan airnya, begitu juga bangunan hotel-hotel dan mall yang marak di Jogja adalah sebuah bukti penjajahan kepada masyarakat. Penindasan kepada kaum lemah (mustadh’afin), yang kerapkali dilakukan oleh antara penguasa dan para cukong.

Belum selesai di situ, di tengah kehidupan kita juga masih banyak orang yang mudah menyesatkan dan menyudutkan yang lain. Agama dibuat jualan. Bahkan, jilbab menjadi komoditas pasar dengan label halal. Siapa lagi yang memberikan label itu kalau bukan ulama’ yang tujuannya tidak lain untuk jualan, meraup penghasilan? Tentu saja ini asumsi. Tapi, kata Imam Ghozali. Hal ini bisa dikategorikan sebagai ulama su’ (dunia) dan ulama’ khoir (akherat).

Pertanyaannya kemudian adalah apakah semua itu ada jawabannya di dalam al-Qur’an, dan bagaimana kita menyikapi segala problem di atas?

Mari kita membaca lagi, belajar lebih banyak lagi sebelum ayat kita dijadikan komoditas. Atau, jangan-jangan, dengan seabrek permasalahan yang terjadi saat ini menjadi sebuah penanda jika Tuhan mengingatkan kembali kepada kita bahwa kitab suci bukan sekadar hanya sebagai hiasan, pajangan di rumah dan tidak pernah kita sentuh sama sekali.

Di akhir pengajian malam itu. Fayyadl mengatakan bahwa orang kafir Quraisy Makkah dulunya pernah mengalami masa fatrah (kekosongan) yaitu amnesia sejarah selama 500 tahun, sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Sehingga ia lupa apa yang sudah dikatakan oleh Taurat dan Injil. Di negara kita pun sama. Kita dicekoki dengan masa orde baru selama lebih dari 30 tahun. Banyak sejarah orang-orang penting seperti Soekarno, Syahrir, Tan malaka dan yang lain seolah terlupakan.

Maka dari itu kenapa kitab suci umat islam dinamai dengan Quran (dari akar kata qara yaqra’u qur’anan), agar tidak lain supaya dibaca terus menerus dan berulang-ulang. Maka. Tidak aneh jika wahyu pertama kita disuruh membaca. Iqra’: bacalah! Agar kita tidak mudah kagetan dan bisa bangun dari tidur panjang yang jauh dari pertikaian dan peperangan. Wallahhua’lam.[]

Muhammad Autad An Nasher adalah aktivis di Jaringan Gusdurian. Bisa dijumpai di akun twitter @autad