‘Borjuis kecil’ adalah istilah untuk menggambarkan pengusaha skala kecil hingga menengah. Dibandingkan dengan ‘borjuis besar’, borjuis kecil memiliki jumlah kekayaan dan kekuasaan yang lebih sedikit, baik itu aset atau jaringan. Di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kelompok borjuis besar telah menjadi aktor penting dalam membentuk postur politik nasional, pembagian kekuasaan, orientasi, dan tentu saja skema pewarisan yang terjamin bagi keturunannya.
Sebagai sebuah teks, membaca fenomena Gus & Ning di pesantren melalui lensa ini jelas keliru, kecuali jika mereka menampilkan kualitas kewirausahaan yang mencolok, yang sebenarnya juga tidak terlalu sulit ditemukan di tahun 2023. Namun, istilah tersebut dapat digunakan sebagai metafora konseptual untuk memahami bagaimana Gus & Ning saat ini mengarungi transformasi sosial abad kedua puluh satu dengan menggunakan kompetensi pribadi dan modal institusional mereka, dan bagaimana stratifikasi sosial mereka berkembang selama beberapa dekade.
Tersebar di pesisir hingga lereng gunung, pesantren merupakan salah satu lembaga tertua yang pernah dimiliki Indonesia. Sebagian pesantren yang berada di sekitar wilayah kesultanan kuno umumnya tumbuh menjadi lembaga tujuan bagi santri dari antero Nusantara.
Setelah beberapa dekade berlalu, reputasi pesantren pun mengkristal, dan membuat Gus & Ning menanggung beban tanggungan institusi keluarga dan pengetahuan tradisional. “Pangeran/Putri Cilik” adalah sebutan yang biasanya melekat pada pewaris sejati kyai dari santrinya dan dari penduduk lokal terdekat.
Itu bermula dari kepercayaan sosial yang menggunung, bahwa mereka seharusnya memelihara dan disiapkan untuk melanjutkan institusi keluarga. Di sana, ada semacam keistimewaan tidak langsung yang berasal dari pemahaman pararel teks suci tentang bagaimana para wali, ahli warisnya, dan keluarganya seharusnya diperlakukan. Namun, ini bukan satu-satunya elemen yang menentukan status “Gus & Ning” dalam kisah pesantren di Indonesia.
Karena luasnya area pertanian, dan struktur sosialnya yang khas, beberapa kyai yang tidak memiliki pesantren juga memegang kepemimpinan sosial, dan bahkan terlibat dalam mengelola aksi protes petani terhadap tirani birokrasi kolonial. Sejarah lokal mungkin sering menyebutkan kisah tentang orang terkenal dengan kekuatan magis-religius yang mengalahkan agresor atau musuh, atau membuka area layak huni yang sama sekali baru.
Hari ini, makam kramat setempat menghubungkan kita dengan kisah masa lalu mereka. Namun, alih-alih dikenal sebagai Gus/Ning, penduduk setempat mengasosiasikan keturunan mereka sebagai kuncen (ahli situs), yang memiliki penglihatan supra-dimensi dan memoderasi komunikasi astral-ke-jasmani.
Nasib generasi tersebut, bagaimanapun, adalah hasil dari kondisi sosial yang bergolak selama era pra hingga awal kolonial, di mana pengetahuan ulayat dari padepokan kuno masih memiliki pengaruh signifikan terhadap kapasitas individu. Ketika waktu berpindah ke akhir kolonialisme di abad ke-19 hingga awal abad ke-20, kepemimpinan kyai tanpa pesantren tetap bertahan, meski kapitalisme pertanian kini telah mencengkeram tanah dan masyarakat mereka. Namun, peran mereka kini sangat berbeda dibandingkan pendahulunya seabad lalu.
Segera setelah cultuurstelsel Belanda dan stratifikasi etnis pecah di Indonesia awal abad ke-20, kyai jenis ini termasuk salah satu aktor kunci dari transformasi ekonomi yang akan datang. Kepemimpinan lokalnya melalui surau atau masjid, dan tidak ada kepemilikan pesantren, membuatnya cocok untuk menjadi tuan tanah, menguasai sejumlah hektar sawah dan tanah, sementara komunitas Tionghoa memasuki urusan industri dan komersial. Namun, ini berbeda dengan kecenderungan di negara-negara Asia Tenggara pada umumnya, di mana penduduk asli, Muslim, dan tuan tanah juga terlibat dalam transisi agraria ke industri. Singkatnya, penduduk asli dan Muslim di Indonesia tersisih dari proses awal ekonomi industri.
Kelak, perbedaan tersebut menentukan postur hubungan ekonomi dan etnisitas di Indonesia hari ini. Namun, tidak lama setelah masa-masa itu, muncul juga kegelisahan atas reforma agraria soal batas penguasaan tanah yang diwacanakan kelompok komunis.
Terlepas dari keberatan kolektif mereka terhadap agenda reforma tersebut―yang mungkin dapat menyusutkan ukuran sawah dan tanah mereka―kyai tanpa pesantren yang sekaligus juga tuan tanah tetap menerima dampak sosio-ekonomi yang tidak nyaman, saat gelombang industrialisasi dan modernisasi mengayun penuh pada awal kepresidenan Suharto di tahun 1966 turut menguntungkan kelompok Tionghoa. Yang paling terdampak tidak lain adalah Gus/Ning mereka, karena pemilik pabrik dan perencana kota berangsur-angsur merambah aset agraria mereka, dan di samping itu, juga karena tidak ada pesantren yang diwariskan oleh ayah mereka.
Refleksi sejarah ini, minimal, menunjukkan tiga jenis Gus/Ning. Pertama, mereka yang mewarisi kelembagaan pesantren. Kedua, Gus/Ning sebagai keturunan tokoh babad alas. Dan ketiga, Gus/Ning sebagai ahli waris dari tuan tanah tanpa pesantren.
Ketika digitalisasi dan kapitalisme akhir telah sepenuhnya mengubah dunia di abad ke-21, kreativitas dan naluri bertahan hidup pasti melekat di ujung tombak semua orang. Orang mungkin berpendapat bahwa modal sosial dan budaya mereka mungkin bermanfaat untuk bertahan hidup, namun, seberapa jauh ini bisa membantu? Dan, konvergensi apa yang mungkin terjadi?
Karena basis institusional dan simbolik pesantren dapat dikapitalisasi, Gus/Ning pada kategori pertama tampaknya memiliki kemungkinan bertahan hidup yang lebih besar. Meskipun demikian, hanya beberapa pesantren dengan citra bereputasi yang mewarisi potensi sumberdaya simbolik dan institusional bagi Gus/Ning mereka. Ketika lowongan pekerjaan modern datang dan gelombang budaya pop melonjak, tidak ada jaminan Gus/Ning akan mempertahankan lembaga milik keluarga. Saat ini, beberapa dari mereka bahkan terlibat dalam lab kimia, birokrasi, politik, sementara yang lain cukup bersahabat dengan dengan K-Pop, gym, EDM dan Netflix.
Di sisi lain, sesama Gus/Ning dari pesantren yang kurang ternama menghadapi nasib yang lebih rentan karena terbatasnya modal institusional dan simbolik yang bisa mereka peroleh. Secara ekonomi, pasar kerja modern dan disrupsi digital mengintai di bawah kaki mereka, sebuah kondisi yang dapat dengan mudah menggelincirkan kehidupan ke posisi rentan ketika tidak ada warisan kekayaan dan kompetensi di tangan mereka.
Kerentanan serupa juga menghantui Gus/Ning dari kategori kedua, pewaris tokoh babad alas. Dikelilingi oleh mata pencaharian pedesaan, kesempatan karir lokal dengan upah memadai juga sulit diperoleh kecuali urbanisasi dan industrialisasi hadir di sekitar desanya. Selain itu, beberapa keterampilan turun-temurun mereka, seperti meta-komunikasi, penyembuhan supranatural, dan terawangan gaib, secara sosiologis juga mengikat mereka pada peran sosial khusus, yang kadang dikomersialisasi, meskipun keterampilan ini mungkin tidak terlalu membantu untuk mobilitas ke atas―membuat mereka lebih rentan jatuh pada keadaan genting.
Tak terkecuali Gus/Ning dari kategori ketiga (ahli waris dari tuan tanah tanpa pesantren). Sebagai generasi penerus agraris, kehidupan mereka berada di ambang ekspansi perkotaan dan industri, menekan berhektar-hektar sawah, ladang dan tanah warisan mereka. Dengan dikelilingi oleh pabrik-pabrik dan kawasan komersial baru, tren pekerjaan yang tersedia di sekitarnya cenderung membutuhkan keterampilan non-agraris. Sebagian dari Gus/Ning ada yang lebih memilih merantau ke kota metropolitan, mengejar kebutuhan pendidikan atau mengadu nasib pada profesi modern untuk bergabung dengan kelas menengah, sementara sebagian lainnya memilih bertahan.
Ketika yang pertama menghadapi ketidakberuntungan pendidikan atau profesional, hal ini meningkatkan risiko mereka pada kerentanan kehidupan kota. Ketika yang terakhir tetap tinggal di tanah air mereka, ini membuat mereka terus berada dalam kemiskinan dan monopoli agraria yang berkepanjangan, sebab tanah semakin berkurang dan pabrik-pabrik bertambah. Karena orang tua mereka tidak mewarisi pesantren, tidak ada alternatif jalan pintas yang dapat ditempuh Gus/Ning dalam mengatasi ketidakpastian zaman modern ini, kecuali kompetensi atau jaringan sosial yang mungkin cocok untuk kehidupan meritokratis saat ini. Dalam skenario terburuk, nama mereka mungkin ada di daftar bank data platform pinjaman online, sesuatu yang mungkin tidak terbayangkan oleh nenek moyang mereka seabad yang lalu.
Inilah tantangan transformasi sosial yang dihadapi anak-cucu. Dalam kasus sejarah-sosial Gus/Ning, sesuatu yang awalnya muncul dari posisi mulia dan aman, mungkin bisa berujung pada takdir yang tidak pasti dan rentan. Sepintas, Gus/Ning tampak sebagai status sosial yang ketat yang diperoleh dari garis keturunan ‘bangsawan.’
Namun, ketika menghadapi industrialisasi, modernisasi, dan urbanisasi bertahap, status mereka berubah menjadi kategori bertingkat yang menandai kepemilikan modal pribadi dan kekuatan bertahan hidup berdasarkan standar kemudahan masa kini―sesuatu yang sekilas mirip dengan stratifikasi konsep metaforis yang disebutkan di awal tadi.