Secara sosiologis, tubuh merupakan modal potensial menggapai kekuasaan; tubuh menjadi alat sakti mengejar kuasa, begitulah yang ditulis Ardhie Raditya, MA, dalam bukunya Sosiologi Tubuh. Menurut definisinya tubuh tidak hanya sekedar fisik, ia melampaui itu, tubuh adalah keseluruhan perangkat yang terinstal pada diri manusia, mulai dari aplikasi jiwa, rasa, perilaku, bahasa, pikiran, tampilan, simbol, dan aktifitas sosial lainnya.
Kita melihat beberapa bulan terakhir ini, kontestasi politik memunculkan banyak “simbol-simbol tubuh”, dari mulai simbol jari, penyampaian visi-misi, model kampanye, dan seterusnya. Bisa dikatakan, aktifitas politik adalah aktifitas tubuh, persaingan politik pun persaingan tubuh.
Dalam tampilan politik, Prabowo cukup mempunyai “nilai tawar”, tubuh Prabowo dicitrakan sebagai sosok tegas, berpengetahuan, dan pemberani, sorotan itu disimpulkan dari cara Prabowo berorasi sekaligus tampilan fashionnya, Prabowo mencitrakan diri sebagai neo-Soekarno (katanya). Tapi, apakah sesuai?
Relasi antara kuasa dan tubuh, erat kaitanya. Ketika berbicara tubuh elite, mempunyai kecenderungan kuasa, berbeda dengan tubuh rakyat, ia adalah objek kuasa. Kedua tubuh itu mempunyai keterikatan dialektis.
Seperti rekayasa para calon legislatif yang dicitrakan pada iklan-iklan di televisi maupun di jalan-jalan, para caleg mencoba mendemonstrasikan tubuh politiknya sebagai manusia sempurna, yang akan membela rakyat, berpihak pada rakyat, dan menyelesaikan permasalahan rakyat, kalau boleh dikatakan, tubuh politik yang ditampilkan hanya sekedar rekayasa sosial, atau bahasa kasarnya (mohon maaf) tampilan manipulatif dan bujuk rayu (bad values). Tidak lain untuk menarik objek kuasa (tubuh rakyat).
Artinya, “tubuh politik” elite (dalam tampilan politik) tidak bisa dijadikan standar untuk menilai politisi secara otentik, karena dibalik itu ada “politik tubuh”. Politik tubuh ini yang banyak dipertontonkan politisi. Kebanyakan politisi perilaku tubuhnya direalisasikan dalam bentuk kuasa—mencapai kepentingan tertentu, pribadi atau kelompok.
Kita bisa lihat bagaimana saat kampanye (obral janji) dan diskusi acara-acara di tv, respon tubuh yang keluar dari mulutnya, adalah baik, tanpa cacat—khususnya ketika berbicara tentang kesejahteraan dan keadilan untuk rakyat. Namun, ketika ada serangan tentang ideologinya, partainya, calon presidennya, dan kepentingannya, respon tubuh berbanding terbalik, meletup-letup dan tanpa kontrol emosi.
Melihat fenomena tersebut, (mohon ijin) saya mengatakannya sekali lagi—realitas politik adalah tampilan “tubuh rekayasa” karena terlahir dari sentuhan manusia yang mempunyai kepentingan. Bayangkan saja pertarungan politik caleg hanya memperebutkan beberapa kursi, mustahil rekayasa tubuh tidak terjadi (buktinya banyak caleg terciduk money politic). Apalagi pertarungan menjadi presiden, segala rupanya sudah dipertaruhkan.
Beranjak dari hal tersebut, salah satu rekayasa politik tubuh yang menguat akhir-akhir ini ialah politik identitas, mencoba membenturkan tubuh pemikiran agama satu dengan tubuh pemikiran agama lain, tujuannya apa? Menggerakkan reaksi tubuh. Tubuh sebagai subjek dan objek politik dirangsang untuk aktif dalam menyuarakan kepentingan, yang disasar adalah selera massa, salah satunya agama.
Pertanyaannya, mengapa gerakan atas nama agama mudah mendapatkan ekspresinya dan modus pelaksanaannya? Janji tentang penguasa baik dan berkuasanya kebaikan. Apakah Prabowo memenuhi standar tersebut sebagai capres ijtima ulama? Bingung juga saya menjelaskannya, terlalu segregatif. Silakan Anda pikirkan (dengan melihat gejolak yang terjadi akhir-akhir ini).
Kalau kita tarik kebelakang, Prabowo sudah tiga kali sebagai kandidat capres atau cawapres, pertama, ia sebagai cawapres, selanjutnya sebagai capres. Dalam perjalanan politiknya, Prabowo selalu mencoba mendistribusikan tubuh ideologisnya ke dalam kehidupan masyarakat, seperti awal mula kemunculan Prabowo dengan Gerindranya. Melalui media televisi, ia tampil dengan tubuh nasionalismenya.
Disadari atau tidak, politik tubuh tidak terikat pada satu tanda, ia menyesuaikan dengan instrumen politik yang berkembang. Karena itu produksi politik tubuh mempunyai berbagai terapan, seperti: tubuh nasionalis, tubuh agamis, dan sebagainya.
Menurut Yasraf Amir Piliang, “Tubuh dieksploitasi sebagai ‘tanda’ dalam ajang ‘politik tanda’. Tubuh menjadi semacam ‘teks’, yaitu sebuah ‘tanda-tanda’, yang dimuati dengan berbagai makna semantik (meaning), yang kemudian digunakan untuk berbagai kepentingan, politik, ekonomi, dan budaya.”
Nah, dalam permainan tanda, tubuh akan dikaitkan dengan makna-makna tertentu. Status tubuh terikat oleh tanda, tubuh harus menutup diri dari serangan atau pendapat yang tidak sesuai dengan tanda, ukurannya hanya tanda. Tanda itu tergantung arus apa yang dimainkan, jika arusnya adalah politik identitas, maka tanda yang mengikat, bisa berupa agama, budaya, dan sebagainya. Meminjam istilah Yasraf, dalam politik tanda, tubuh menjadi semacam “alat tukur”.
Kita ketahui bersama, dalam ajang Pilpres kemaren, Politik tubuh Prabowo dicitrakan sebagai perwakilan umat Islam. Di awali dari kontestasi politik DKI sampai penandatanganan pakta integritas pada Ijtima Ulama jilid II. Pertanyaannya, apakah ini yang dinamakan tubuh politik sebagai “alat tukar” untuk memunculkan tanda pada politik tubuh dan mendapat dukungan dari pemberi tanda? Wajar, dalam politik ada kontrak politik.
Baru-baru ini Prabowo melakukan citra politik tubuh replay, yaitu klaim kemenangan, dengan mengatakan, “akan dan sudah menjadi presiden”. Klaim ini seperti tahun 2014. Prabowo dan timnya membantah hasil hitung cepat, mereka punya ukurannya sendiri. Apakah klaim itu akan benar-benar terbukti? Kita nantikan saja.
Klaim kemenangan Prabowo kalau kita baca melalui teorinya Erving Goffman, Prabowo sedang melakukan “pengaturan kesan-kesan/manajemen kesan” (impression manajement) dihadapan para pendukungnya. Di satu sisi Prabowo seperti sedang menyatukan kelompok sosial yang bermain bersamanya—meyakinkan bahwa dirinya menang (supaya tidak tersulut amarah), tapi di sisi lain, seakan-akan ada penggiringan opini, kalau nanti Prabowo kalah, berarti dicurangi.
Namun, perlu diingat, pengaturan kesan itu memiliki dua panggung, yaitu: panggung depan dan panggung belakang. Dalam wacana ini, bisa jadi panggung depan hanya sebuah drama politik, tampil dengan citra tubuh yang percaya diri (overconfident). Sedangkan panggung belakang, adalah panggung pribadi (tertutup), kemungkinan tubuh Prabowo bertolak belakang dengan panggung depan.
Akhirnya, saya katakan, ini hanya sudut pandang receh, tidak usah disikapi dengan muka merah. Saya hanya mengikuti amanat Descrates, skeptisisme, meragukan untuk belajar menemui kebenaran. Karena saya ragu, yang saya tonton di tv dan youtube itu politik tubuh Prabowo yang sesungguhnya atau bukan.