Saya berusaha untuk membaca Qur’an dengan langgam Jawa selama bulan puasa ini. Harapan saya, tiga puluh juz bisa saya selesaikan selama bulan ini. Saya sengaja menyiarkannya secara publik melalui livestreaming di akun fb saya. Bukan untuk pamer, tetapi ada tujuan lain yang saya kira penting.
Tujuan saya adalah untuk memperkaya khazanah langgam tilawah atau baca Qur’an. Ada ratusan, bahkan ribuan langgam dalam membaca Qur’an. Hampir setiap qari’ besar yang jumlahnya ratusan, bahkan ribuan, di dunia saat ini memiliki langgam yang khas saat membaca Qur’an.
Selama ini, langgam murattal Qur’an didominasi oleh para qari’ dari Timur Tengah, terutama Saudi dan Mesir. Tidak soal jika Anda menyukai langgam dari negeri Arab. Saya sendiri mengagumi langgam qari’ besar Mesir, Syeikh Mahmud Khalil al-Hushari. Sejak kanak-kanak, saya tumbuh dalam langgam yang indah ini. Sementara itu, langgam qari’ Mesir yang lain, Syeikh Abdul Basith Abdussamad, kurang saya sukai karena terlalu tinggi nadanya (high pitch).
Di lain pihak, langgam murattal Qur’an yang berasal dari kawasan Indonesia, sayang sekali belum banyak dikembangkan. Padahal, banyak nada yang berasal dari kawasan Nusantara yang layak diadopsi sebagai langgam murattal.
Salah satunya, nada-nada dari daerah Jawa. Nada-nada yang berdasarkan pada laras pelog dan slendro yang banyak dipakai dalam instrumen gamelan, layak diadopsi untuk memperkaya langgam murattal khas Indonesia. Daerah-daerah lain di Indonesia memiliki kekayaan nada yang luar biasa. Kesemuanya itu bisa memperkaya tradisi baca Qur’an yang khas Indonesia.
Pertanyaannya: Apakah boleh mengembangkan langgam yang beragam seperti ini? Apakah tidak menodai kesucian Qur’an?
Pertama-tama, harus dibedakan antara dua istilah ini, langgam atau “nagham” dan “qiraah”. Nagham adalah nada atau lagu yang dipakai dalam melantunkan Qur’an. Jumlah nagham atau lagu tak terbatas. Sementara qiraah adalah bacaan, bukan lagu, yang berasal dari Kanjeng Nabi.
Beda antara keduanya: qiraah harus berasal dari riwayat yang sanadnya bersambung ke Kanjeng Nabi. Sementara nagham atau langgam tidak harus berdasarkan riwayat, sebab memang tidak ada riwayat tentang nagham atau langgam yang berasal dari Kanjeng Nabi. Kenapa demikian, nanti saya jelaskan di bagian akhir tulisan ini.
Saya akan mulai dengan membahas soal nagham atau langgam terlebjh dahulu.
Setiap pembaca Qur’an mengembangkan lagu dan nagham yang berbeda. Ada ratusan qari’ dari Saudi yang mengembangkan nagham yang berbeda-beda. Para qari’ dari Mesir, Sudan, Libia, Turki, Iran, Pakistan, dll, juga mengembangkan langgam yang lain lagi.
Langgam murattal yang dipakai oleh Syeikh Abdurrahman Sudais, imam besar Masjidil Haram, jelas beda dengan langgam para qari’ Saudi yang lain seperti, misalnya, Faris Abbad, Mahir al-‘Uqaili atau Sa’d al-Ghamidi.
Apakah boleh membaca Qur’an dengan langgam atau nada yang bermacam-macam seperti ini? Jawabanya: Boleh sekali, asal syarat utama ini dipenuhi, yaitu: aturan tajwid, yakni tata-cara membaca huruf-huruf Qur’an, dipenuhi. Asal seluruh aturan tajwid sudah Anda kuasai, Anda boleh membaca Qur’an dengan langgam apapun.
Membaca Qur’an dengan langgam artinya adalah membaca Qur’an dengan nada yang indah. Nabi memerintahkan para sahabat untuk membaca Qur’an dengan suara yang indah. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:
غَنُّوا بِالْقُرْآنِ ، لَيْسَ مِنّا مَنْ لَمْ يُغَنِّ بِالْقُرُآنِ .
Lantunkanlah Qur’an dengan langgam/lagu. Tidak termasuk umatku sesorang yang membaca Qur’an tanpa langgam/lagu (yang indah).
Dalam sebuah hadis yang cukup terkenal dikisahkan bahwa Nabi memuji langgam yang dipakai oleh seorang sahabat Nabi bernama Abu Musa al-Asy’ari. Nabi menggambarkan bahwa keindahan suara dan langgam Abu Musa al-Asy’ari mirip dengan keindahan mazmur, yakni kumpulan kidung dalam Perjanjian Lama. Nabi berkomentar seperti ini:
لَقَدْ أُوْتِىَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيْرِ آلِ دَاوُدَ .
Dia (maksudnya Abu Musa al-Asy’ari) sungguh telah diberikan mazmur dari mazmur-mazmurnya keluarga Nabi Dawud. Maksudnya adalah: Abu Musa al-Asy’ari ini dianugerahi keindahan suara yang tak kalah indah dengan nyanyian dan kidung mazmur.
Istilah “mizmar” dalam hadis ini mungkin merujuk kepada kumpulan doa, kidung, dan nyanyian dalam Perjanjian Lamayang disebut dengan Mazmur. Kenapa Nabi menggunakan bentuk jamak untuk menyebut mazmur Nabi Dawud: مزامير آل داود (mazamir ali Dawud)? Sebab, jumlah mazmur atau nyanyian dalam Kitab Mazmur di Perjanjian Lama, memang banyak; ada 150 mazmur atau nyanyian ibadah yang digubah oleh Nabi Dawud.
Catatan: Sebagian ulama menafsirkan istilah “mizmar” dalam hadis ini sebagai “seruling”. Pengertian ini memang lazim diikuti oleh para penafsir hadis ini. Tetapi tidak mustahil bahwa istilah ini merujuk kepada mazmur dalam Perjanjian Lama. Sebab, Nabi Dawud, dalam tradisi Yahudi, dikenal sebagai penggubah nyanyian mazmur itu. Seruling adalah alat untuk menyertai nyanyian mazmur.
Menarik sekali bahwa Kanjeng Nabi menyamakan keindahan suara dan langgam Abu Musa al-Asy’ ari dengan mazmur dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Bagaimana langgam bacaan sahabat Nabi ini, tak ada yang tahu. Tak ada satupun hadis yang mengambarkan seperti apa persisnya langgam bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Sebab langgam tak bisa dikisahkan dan diriwayatkan. Sebagaimana Anda tak bisa menceritakan langgam nyanyian Umi Kalthum, misalnya. Untuk mengetahui langgam, Anda harus mendengarkan rekaman langgam itu, tak bisa diceritakan secara lisan. Atau Anda menirukan langgam itu.
Sayang sekali, belum ada alat untuk merekam suara di zaman Nabi, sehingga kita tak pernah bisa tahu gaya bacaan para sahabat Nabi yang memiliki suara indah.
Sepeeti saya katakan, istilah langgam atau “nagham” harus dibedakan dari istilah “qira’ah”. Secara teknis, istilah qira’ah merujuk kepada riwayat tentang bagaimana Qur’an dibaca, bukan dilagukan dan dilanggamkan. Nabi pernah bersabda, “Qur’an diturunkan dalam tujuh “huruf”,” (أنزل القرآن على سبعة أحرف). Istilah “huruf” disini, oleh para ulama ahli bacaan Qur’an, dimaknai sebagai “qiraah” atau bacaan.
Ada tujuh riwayat yang dianggap bisa diandalkan untuk bacaan Qur’an yang seluruhnya memiliki sanad atau rantai penyampaian yang bersambung sampai ke Kanjeng Nabi. Itulah yang dikenal sebagai “qiraah sab’ah”, tujuh bacaan Qur’an. Sebagian ulama menambahkan tiga bacaan lagi, sehingga menjadi sepuluh, “al-qiraat al-‘asyr”.
Kitab “al-Nasyr fi al-Qiraat al-‘ Asyr” karangan ulama asal Damaskus, Abul Khair Muhammad al-Jazari, yang dikenal sebagai Ibnul Jazari (hidup pada abad ke-8 Hijriyah, atau ke-14 Masehi), merupakan rujukan utama bagi para penghafal Qur’an yang ingin mempelajari variasi bacaan Qur’an yang berjumlah tujuh itu.
Bacaan yang populer di dunia Islam saat ini, termasuk di Indonesia, adalah bacaan ‘Ashim yang diriwayatkan melalui Hafs. Dalam tradisi bacaan Qur’an, qiraah atau bacaan ini dikenal dengan istilah: قراءة عاصم برواية حفص, yakni bacaan ‘Ashim melalui riwayat Hafs. Kenapa ada kualifikasi “melalui riwayat Hafs”?
Sebab, qiraah ‘Ashim ada dua versi. Versi pertama adalah bacaan yang diriwayatkan oleh Hafs, dan bacaan inilah yang populer di Indonesia saat ini. Versi kedua adalah bacaan ‘Ashim yang diriwayatkan melalui Syu’bah.
Jika Anda berada di kawasan Maghrib atau Afrika Utara, maka Anda akan berjumpa dengan qiraah atau bacaan (sekali lagi bacaan, bukan langgam) yang berbeda. Di sana, yang populer adalah bacaan Nafi’ melalui riwayat Warys: قراءة ورش عن نافع (ada versi bacaan lain selain versi yang diriwayatkan oleh Warsy, yaitu versi Qalun yang biasa disebut: قراءة قالون عن نافع).
Apa kesimpulan dari tulisan yang panjang, “modot moler” ini? Qiraah atau bacaan Qur’an jumlahnya sangat terbatas, yaitu tujuh, atau sepuluh. Sementara langgam atau cara melagukan bacaan Qur’an, jumlahnya tak terbatas. Setiap qari’ atau pembaca Qur’an bisa mengembangkan langgam yang bermacam-macam.
Tak ada riwayat tentang bagaimana langgam yang dipakai Nabi saat membaca Qur’an. Sebab, seperti saya katakan, langgam tak bisa diriwayatkan. Hanya alat perekam yang bisa “meriwayatkan” langgam baca. Pada zaman Kanjeng Nabi belum berkembang alat perekam, sehingga kita tak akan pernah bisa tahu bagaimana langgam bacaan Nabi dan para sahabat.
Yang ada adalah riwayat qira’ah, yaitu tujuh bacaan dalam membaca Qur’an. Dalam hal langgam, Nabi tak memberikan kaidah yang khusus. Sebab langgam bisa berkembang secara dinamis. Yang beliau sabdakan sebatas anjuran membaca Qur’an dengan indah, seperti diperagakan oleh sahabat terkenal, Abu Musa al-Asy’ari.
Mesti tak ada kaidah khusus soal langgam dalam murattal, tetapi sebaiknya dalam membaca Qur’an kita memakai langgam yang sesuai dengan kesucian Qur’an. Langgam dalam lagu-lagu pop sebaiknya tak kita pakai untuk melanggamkan Qur’an.
Meskipun, sekedar info, tilawah yang diperagakan oleh qari’ besar Indonesia, yaitu Muammar ZA, konon banyak diilhami oleh nada-nada dalam lagu-lagunya Umi Kalthum, penyanyi legendaris Mesir itu. Jika ini benar, jelas tak mengherankan. Sebab, Umi Kalthum, selain seorang penyanyi, juga seorang qari’ah atau pembaca Qur’an yang hebat.
Sekian dan selamat menjalankan puasa.
Keterangan gambar:
1. Syeikh Mahmud al-Husari, qari’ besar Mesir yang suaranya berkumandang di seluruh dunia Islam hingga saat ini. Ia meninggal pada 1980.
2. Ali Keeler, seorang pebiola musik klasik Inggris. Konon, suara Syeikh al-Husari lah yang antara lain menyebabkan Ali Keeler masuk Islam. Belakangan, Keeler mendirikan grup musik di Spanyol bernama Firdaus Ensemble. Video klip lagu-lagunya Ali Keeler bertebaran di Youtube. Sangat indah dan sufistik.