(Memaksa) Menempelkan Kaki Dalam Shalat Jamaah

(Memaksa) Menempelkan Kaki Dalam Shalat Jamaah

Apa hubungannya khusyu’ dengan kaki yang tidak menempel?

(Memaksa) Menempelkan Kaki Dalam Shalat Jamaah

Saya yakin, sebagian besar dari kita yang pernah sholat berjamaah di masjid, akan bertemu dengan mereka yang suka menempelkan sisi kaki sebelah luar dengan jamaah yang ada di sebelahnya, sesaat setelah mendengar instruksi “rapatkan barisan dan luruskan shaf” dari imam sholat.

Sebagian lagi, meski mendengar dengan jelas, tapi tidak mengindahkan perintah yang diberikan sebelum sholat dimulai itu. Ibarat nasehat orang tua untuk mereka yang sudah cukup umur tapi masih suka mencari alasan untuk tidak nikah, “masuk lewat telinga kanan, keluar lewat telinga kiri”.

Dari dua cara jamaah menanggapi instruksi imam yang sering dilakukan sambil memperhatikan menempel tidaknya kaki jamaahnya, saya menemukan dua model sikap orang dalam beragama, berdasarkan hasil ‘pengamatan’ langsung.

Untuk mereka yang sholat berjamaah dengan cara pertama, aksi menempelkan kaki datang dari pemahaman bahwa akan ada setan, jin, atau demit yang menyusup di antara kaki-kaki jamaah yang tidak menempel sehingga membatalkan sholat. Agar hal ini tidak terjadi, tidak jarang jika ada jamaah yang tidak mau menempelkan kaki, kakinya akan dikejar sampai dapat. Pokoknya harus menempel.

Rasa khusyu’ dalam sholat, bagi mereka, sangat ditentukan dengan menempel atau tidaknya kaki mereka dengan jamaah di sebelahnya. Apa hubungannya khusyu’ dengan kaki yang tidak menempel? Baiknya kita tunggu klarifikasi dari pihak setan.

Hal lain yang harus diketahui dari mereka yang suka menempelkan kaki saat berjamaah adalah tidak semua dari mereka yang ngotot. Ada juga yang legowo ketika jamaah di sebelahnya melepaskan tempelan pada rakaat kedua, atau setelah “aamiin” agar terlepasnya kaki dari penempelan tersebut tidak disadari.

Sementara sikap mereka yang berjamaah dengan cara kedua, yang menolak menempelkan kakinya secara sadar, datang dari pemahaman yang menjadi kritik terhadap pemahaman pertama, bahwa akan ada demit yang menyusup dan membatalkan sholat.

Khusyu’ sebagaimana yang umum diketahui adalah keadaan dimana seseorang ketika melakukan ibadah, entah sholat atau apapun, dalam keadaan mengingat Tuhan. Meski banyak ulama yang mengatakan bahwa mencapai khusyu’ bukanlah pekerjaan mudah, hal itu tetap harus diupayakan.

Bagi muslim ‘kelas bawah’ seperti saya, mencapai khusyu’ akan semakin sulit jika harus berjamaah dengan mereka yang paling hobi menempelkan kaki. Mengutip pandangan dosen saya waktu S1, justru merekalah setan alias demit itu. Yang merusak sholat orang lain baik secara sengaja maupun tidak lewat aksi ngotot tempel menempel kaki.

Meski lebih sering untuk tidak menempelkan kaki saat berjamaah, saya juga tidak setuju dengan aksi mereka yang suka menggeser kaki untuk melepaskan tempelan. Sebab bagi saya keduanya sama-sama berlebihan.

Bagi saya perintah agama tidak perlu dijalankan dengan sikap yang berlebihan hingga harus memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang kita pahami.