Ada dua premis yang secara fundamental menjadi landasan manusia dalam menjalani kehidupan. Pertama, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan; dan kedua, manusia sebagai individu yang memiliki identitas berbeda satu dengan lainnya.
Meski begitu, keniscayaan manusia yang harus bersosial untuk menjalani kehidupan, biasanya mengakibatkan bentrokan antar karakter individu yang berbeda satu sama lain. Lalu, bagaimana mestinya kita bersikap?
Sebagai titik pijak, ada baiknya jika kita melihat lebih dalam bagaimana rahmah bisa menjadi kata kunci untuk mencintai sesama manusia dengan lebih objektif tanpa memandang keberbedaan orang lain sebagai ancaman.
Kata rahmah dalam Al-Qur’an hampir semuanya merujuk kepada Allah Swt sebagai subyek utama pemberi rahmah. Dengan kata lain, rahmah di dalam al-Qur’an berbicara mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan kasih sayang, kebaikan, anugerah dan rizki Allah terhadap segenap makhluk.
Haidar Bagir menjelaskan bahwa mahabbah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) memiliki perbedaan. Mahabbah adalah perasaan kecenderungan yang lahir dari kesempurnaan sesuatu. Artinya manusia mencintai sesuatu karena ia sempurna. Sedangkan rahmah adalah perasaan cinta kepada sesuatu yang tidak sempurna.
Term rahmah sendiri menurut penafsiran Prof. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah secara garis besar bermakna berarti ra’fah (santun, lemah lembut), riqqah (lembut, lunak dan kasihan) dan wujud dari pengasih-Nya yang sangat bisa dirasakan oleh makhluk ciptaan-Nya, dan cakupannya begitu luas. Quraish Shihab menambahkan bahwa rahmah tidak sekedar kebahagiaaan di akhirat (surga) saja, tapi juga kebaikan di dunia yakni berupa anugerah, hidayah, rezeki, perindungan dan sebagainya.
Itulah mengapa Allah memberi rezeki kepada siapa yang Ia kehendaki, bahkan kepada orang kafir sekalipun, karena Allah memiliki sifat rahmah yang mencintai makhluknya meskipun ia tidak berada di jalan-Nya.
Tentu, umat Islam juga meyakini bahwa Nabi Muhammad diutus bukan untuk umat Islam saja, melainkan sebagai rahmat untuk alam semesta. Mengingat al-Qur’an adalah kitab yang membawa petunjuk, maka bukankah itu artinya Allah Swt dan rasul-Nya sedang memberikan kode kepada manusia bahwa rahmah merupakan aspek yang penting yang harus ada dalam kehidupan manusia.
Maka, bisa disimpulkan bahwa rahmah adalah kebaikan universal yang ditujukan untuk semua orang, bukan orang tertentu saja, dan bukan orang-orang yang memiliki kesamaan paham saja.
Dalam al-Qur’an, Allah memberi kasih sayang-Nya kepada semua makhluk tanpa kecuali. Meminjam istilah Haidar Bagir, Allah tetap menjamin rezeki ciptaan-Nya meskipun ia tidak sempurna, dalam arti tidak sempurna dalam perihal keimanan. Sama dengan Nabi Muhammad, dalam kitab-kitab Sirah Nabawiyyah, bentuk kasih sayang Nabi kepada manusia sangatlah melimpah ruah, tentu yang paling diingat adalah sikap Nabi kepada seorang Yahudi yang sering meludahinya di lorong yang sering dilewati Nabi Saw menuju Ka’bah. Ketika Yahudi tersebut sakit sehingga tidak lagi meludahi Nabi, Nabi dengan kasih sayangnya menjenguknya sembari membawakannya buah-buahan.
Barangkali ada yang membantah bahwa tidak mungkin manusia bisa meniru sifat rahmah Tuhan yang Maha Sempurna dan Nabi Muhammad yang dilindungi Allah dari dosa. Memang benar jika ada yang berkata demikian, namun Allah juga memiliki sifat indah dan mencintai keindahan, begitupun juga Nabi.
Lalu, apakah kemudian manusia juga akan membantah bahwa sukar untuk meniru sifat Tuhan sehingga manusia tidak berusaha untuk membuat dirinya indah? Saya rasa tidak, karena zaman sekarang justru manusia sedang berlomba untuk memperindah dan mempercantik diri.
Jika demikian, mengapa manusia juga tidak berlomba untuk menyebarkan rahmah di muka bumi dengan tetap berbuat baik terhadap orang yang memiliki keberbedaan pandangan dengannya. Mungkin, dalam konteks manusia dan kehidupan sosial, rahmah bisa diterjemahkan dengan kasih sayang. Kasih sayang yang universal, kasih sayang untuk semua makhluk.
Ada diktum populer di tengah masyarakat bahwa agama, khususnya Islam, mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, tapi mengapa kekerasan dan kebencian justru banyak muncul dalam umat beragama.
Saya bisa mengatakan bahwa hal itu karena umatnya melakukan hal sebaliknya. Alih-alih berusaha menebarkan rahmah, mereka justru hanya sibuk menyalah-nyalahkan orang lain, menyesatkan, bahkan mengkafirkan sesama saudaranya sendiri.
Salah satu cara untuk mengubah stigma Islam yang sarat intoleransi dan kekerasan adalah menjadi muslim yang rahmah, menjadi muslim yang berkasih sayang. Mudah saja, seseorang belum dikatakan sebagai muslim yang berkasih sayang selama ia masih fanatik dengan kebenaran yang diyakininya sembari memvonis salah terhadap kebenaran yang diyakini oleh orang lain.
Dengan rahmah, Allah memberikan kedamaian pada alam semesta, dengan rahmah pula manusia memberi kedamaian terhadap sesama.