Di tahun 2019 ini, Indonesia diberikan kuota 231 ribu jamaah haji oleh Pemerintah Arab Saudi. Total jamaah ini terdiri dari 529 kelompok terbang (kloter) dan dibagi ke dalam dua gelombang. Gelombang I sudah diberangkatkan pada 6-19 Juli 2019 menuju Madinah. Disusul gelombang kedua, 20 Juli-5 Agustus 2019 melalui Jeddah. Ratusan ribu jamaah haji Indonesia tersebut akan membaur dengan 2,7 juta jamah haji dari seluruh penjuru dunia. Puncaknya ialah ketika menunaikan wukuf Arafah pada 9 Dzulhijah atau 10 Agustus 2019 nanti. Di hari itu, seluruh jamaah haji berkumpul di titik koordinat yang sama. Memakai atribut baju ihram yang sama. Fokus pada satu ibadah haji yang sama.
Patut menjadi renungan bersama mengapa Islam mewajibkan ibadah haji. Ibadah tahunan yang wajib ditunaikan satu kali dalam seumur hidup bagi yang mampu. Jutaan manusia dari berbagai negara akan berbondong-bondong ke Makkah. Mereka rela berjubel dan berdesak-desakan. Mulai dari awal kedatangan hingga kepulangan. Ditambah lagi pengorbanan harta, kesabaran menunggu jadwal antrian keberangkatan, hingga menahan rasa rindu berpisah dengan keluarga.
Dengan pengorbanan ini, tidak berlebihan jika Rasulullah saw menjanjikan surga bagi haji mabrur. Tidak ada balasan yang pantas bagi haji mabrur kecuali diampuni dosa dan dimasukan ke dalam surga. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H) jamaah haji yang selesai menunaikan ibadah haji terampuni dosanya ibarat ia baru terlahir dari rahim ibunya. Bersih dan suci kesalahan dan dosa.
عن أَبَي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَجَّ لِلهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Dari Abi Hurairah radhiyaallahu’anhu, beliau berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang berhaji karena Allah, dan ia tidak berkata jelek dan tidak melakukan kefasikan, maka orang tersebut akan kembali (terampuni dosanya) seperti ia dilahirkan oleh ibunya.” (H.R. al-Bukhari)
Dari sisi keutamaan balasan ibadah haji ini, Imam al-Ghazali (450-505 H) dalam kitab Ihya Ulum al-Din menyebut haji sebagai ibadah penyempurna agama (kamal al-din). Tetapi penting kiranya, haji juga harus kita maknai sebagai momentum untuk lebih memahami arti moderasi beragama. Yakni cara pandang, sikap, dan perilaku jalan tengah dalam beragama. Tidak ekstrem, adil, dan berimbang.
Dalam menunaikan ibadah haji, kita akan menjumpai praktik ibadah yang beragam. Masing-masing jamaah ada yang shalat dan haji sesuai dengan madzhab yang dianut. Mulai dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, hingga beberapa madzhab lainnya. Bertemunya ragam paham, cara pandang, sikap, dan praktik keagamaan yang berbeda-beda, menjadi tantangan tersendiri. Di titik inilah sikap adil, berimbang dan tidak ekstrem sangat diperlukan.
Laboratorium moderasi
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Haji Laboratorium Moderasi (2019), Oman Fathurahman, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa ibadah haji merupakan laboratorium moderasi beragama (wasathiyah). Laboratorium adalah tempat dilakukannya percobaan dan pengamatan atas sesuatu yang ingin diuji kebenarannya.
Selama ini, moderasi beragama sudah sering digaungkan sebagai wacana. Namun, sejauh mana nilai dan prinsip dasar wasathiyah itu dapat diandalkan untuk memahami dan mempraktikkan esensi ajaran agama, masih perlu pengamatan dan ‘uji coba’. Haji adalah ritual ibadah yang paling tepat untuk menilai penting tidaknya moderasi dalam beragama. Yakni melalui contoh-contoh pelaksanan ibadah di dalamnya.
Dalam ritual haji, banyak kondisi di mana jamaah dituntut mempraktikkan ibadah sembari menimbang aspek kemaslahatan dan kemudharatan. Jamaah haji, harus mengetahui sebanyak mungkin jalan alternatif untuk meraih kemabruran ibadahnya. Maklum, ibadah haji boleh jadi merupakan satu-satunya ajaran dalam Islam yang meniscayakan bertemunya Muslim dari berbagai negara. Jadi, bukan saja mempertemukan keragaman etnis, suku, bangsa, dan bahasanya, melainkan lebih dari itu, seperti keragaman paham, praktik keagamaan, serta berbagai situasi dan kepentingan.
Berilmu, berbudi, dan berhati-hati
Memang tidak mudah untuk bisa lulus dalam uji coba di laboratorium moderasi itu. Ada setidaknya tiga prasyarat yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan sikap moderat (wasathiyah) dalam praktik ibadah haji. Pertama, moderasi beragama mengandung nilai agar praktik berhaji diiringi dengan pengetahuan fikih manasik haji yang memadai. Sekaligus kaidah-kaidah ushul fikih yang siap menjadi solusi.
Prinsip daf’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, yakni mengutamakan menolak risiko bahaya ketimbang mengambil manfaat, selayaknya lebih dikedepankan. Terkait ritual melempar Jumrah Aqabah pada 10 Dzulhijah misalnya, fikih konvensional menempatkan waktu pagi hingga menjelang naiknya matahari (zawal) sebagai waktu utama. Namun, untuk menghindarkan kondisi zahmah (sesak), Pemerintah Arab Saudi mengambil kebijakan rekayasa jalur lalu lintas. Di antaranya ialah melarang jamaah haji Indonesia melempar jumrah pada waktu utama tersebut.
Kini, rekayasa tersebut juga mencakup ruangnya, di mana jamaah haji kita dan Asia Tenggara, diharuskan melempar melalui jalur jamarat di lantai 3. Meski berbeda dengan fikih manasik yang kita pahami, tetapi peraturan kebijakan Pemerintah Arab Saudi itu harus kita patuhi. Manfaatnya, dengan rekayasa ini, desak-desakan di tahun-tahun sebelumnya yang sampai memakan korban jiwa dapat dihindari.
Kedua, moderasi beragama juga mengandung nilai untuk lebih berempati kepada setiap perbedaan. Lebih dapat mengendalikan emosi, bersabar, dan mengedepankan akhlak mulia. Dalam menjalani keseluruhan prosesi haji, jamaah tidak bisa mengedepankan egonya sembari mengusik kenyamanan jamaah lain.
Sebagai misal ialah saat mencium Hajar Aswad. Melakukannya memang sebuah keutamaan yang dicontohkan Rasul. Namun, jika untuk mendapatkannya saja harus sikut kiri, senggol kanan mencelakakan diri dan jamaah lain, jelas bukan cara yang dianjurkan untuk mendapatkan kemabruran.
Ketiga, moderasi beragama juga mengandung pesan untuk selalu berhati-hati dalam bertindak, tidak gegabah, dan selalu mempertimbangkan baik buruknya setiap pilihan. Konsisten berada di tengah bukan berarti diam saja, melainkan dinamis bergerak merespons situasi dengan cermat. Sebagai misal, meyakini bahwa Masjidil Haram adalah tempat suci, itu adalah bagian dari ajaran agama. Namun, keyakinan itu bukan berarti harus menanggalkan sikap waspada dan hati-hati. Karena nyatanya tidak sedikit jamaah haji kita yang kehilangan dompet dan uang yang dibawanya.
Dari titik inilah, dapat kita pahami betapa moderasi beragama sangatlah penting. Beberapa contoh di atas menunjukkah bahwa nilai-nilai moderasi beragama mutlak diperlukan. Bahkan tidak hanya dalam beribadah haji semata. Lebih dari itu, moderasi beragama juga menjadi prasyarat untuk mengelola ketentraman dan persatuan Indonesia. Keragaman masyarakat Indonesia harus dikelola dengan cara pandang yang tidak ekstrem. Perlu mengedepankan ilmu, sikap adil, dan berimbang.
Dari praktik ritual haji di atas, kita berharap, masyarakat Muslim di Indonesia semakin dapat memahami dan mempraktikkan moderasi beragama dalam kehidupan sehari-hari. Yakni memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku jalan tengah dalam beragama. Tidak ekstrem, adil, dan berimbang. Selalu mengedepankan ilmu, budi, dan kehati-hatian.
Dengan sikap ini, masyarakat Muslim Indonesia akan dapat berperan penting dalam merawat keragamaan Indonesia. Bahkan mendorongnya untuk menjadi bangsa yang cerdas dan unggul.
*Tulisan ini juga dimuat dalam: Buletin Muslim Muda Indonesia, Edisi 54/Jum’at, 2 Agustus 2019