
Michel Hart (1978) melihat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia nomor satu yang paling berpengaruh di antara 100 figur manusia lainnya di sepanjang sejarah riwayat hidup manusia. Sosok Nabi berpengaruh dalam segala aspeknya, baik dalam dimensi sosial, keagamaan, ekonomi dan politik.
Lintas kehidupan Nabi Muhammad SAW membuka suryakanta dunia. Budaya patriarkis, rasis, dan otoritarianisme direvolusi dengan terang nan bijak. Jemalin budaya Jahiliyah disingkap menjadi budaya “baru” yang penuh gairah toleransi dan damai. Praktik itu dijalankan dengan kokoh di atas ajaran Islam dan nash-nash suci Al-Qur’an. Maka, lahirlah budaya masyarakat yang menjunjung nilai-nilai kemasyarakatan dan kemansuaiaan, di tengah perbedaan.
Karena itu, kurva keburukan menjadi sesuatu yang wasathiyah. Di tangan Nabi, semua sikap-sikap yang menjadi “belenggu” hidup masyarakat, seperti subordinasi perempuan diubah pelan-pelan dengan sikap cinta kasih yang bersandar pada prinsip ummatan wasathan (Al-Qur’an [2]: 143). Terbukti, hampir semua orang di zamannya, menyayangi, mengikuti ajarannya, dan misi Islamnya. Perilaku wasathiyah Nabi diterima oleh pemeluk agama lain dengan suka cita, tanpa paksaan dan ketakutan.
Tindak-tanduk keramahan Nabi, memberi kobaran kerukunan bagi semua umat-umat beragama. Orang-orang merasa aman di samping Nabi. Kelembutan dan kebaikan Nabi mengantarkan pada penerimaan dan bangunan relasi antarsesama untuk kemajuan semua umat, khususnya umat muslim dan agama Islam.
Interaksi Nabi dengan Non-Islam
Jalinan lembut interaksi Nabi dengan pemeluk agama lain, misalnya, induk dari aktualisasi ajaran Islamnya. Praktik Nabi itu, bukan hanya berpijak pada tingkat tataran doktrin agama Islam. Tetapi, aktualisasi itu Nabi daratkan pada realitas empiris, sosiologis, dan kultural. Sehingga, ajaran agama Islam dan Islam itu sendiri tidak menjadi agama yang (terlihat) jahat dan terkesan menakutkan. Tetapi Islam menjadi agama yang damai dan mendamaikan.
Dalam buku Persahabatan Rasulullah SAW dengan Kelompok Agama Lain (Hengky Ferdiansyah, Islami[dot]co, 2020), terdapat contoh sangat terang akan sikap lembut Nabi. Orang-orang agama lain seperti Yahudi, sangat welcome kepada Nabi dan kelompoknya. Sejarah mencatat, saat-saat Nabi membutuhkan bantuan pertolongan kepada orang-orang Yahudi, dalam peristiwa Perang Uhud, yang terjadi sekitar 3 H atau 626 M, orang-orang Yahudi membantunya dengan suka rela. Padahal, kita tahu, Yahudi dan Islam beda jauh antara visi misi ajarannya.
Di tengah silang perbedaan pendapat dan persetujuan, karena bertepatan dengan Hari Sabat, hari besar Yahudi saat itu (kaum Yahudi tidak boleh melakukan peperangan kalau tidak begitu vital), Yahudi Bani Nadhir yang sebelumnya menandatangi kontrak perjanjian perdamaian di Madinah dengan Nabi, enggan memenuhinya. Tapi tak disangka, salah satu tokoh besar Yahudi, yaitu Mukhairiq dari Bani Tsa’labah yang kaya raya justru membantunya.
Mukhairiq, mengajak kaumnya, orang-orang Yahudi, untuk membantu Nabi dalam medan peperangan melawan orang-orang Quraisy Mekkah yang mencoba mengacaukan Madinah. Mukhairiq tak gentar, dan bahkan mengatakan dengan terang, bahwa menolong kepemimpinan Nabi Muhammad bagi orang-orang Yahudi adalah suatu kewajiban. Tak ada Hari Sabat, yang ada hari kebaikan untuk menolong orang-orang yang bakal menyinari kebaikan.
Mukhairiq bersama rombongan Yahudi menghunus pedang, arti mereka mau bertarung melawan menuju bukit Uhud. Mukhairiq ingin memenuhi janji kesepakatan hidup bersama untuk menjaga berdikarinya “Negara Madinah” dari kahancuran. Janji kesepakatan ini ditulis pada pasal ke-43 pada Piagam Madinah, wa anna bainahum al-nashr ‘ala man dahama yastrib, “sesungguhnya wajib bagi mereka muslim-nonmuslim untuk membela Yastrib (Negara Madinah), manakala diserang musuh”.
Membela Negara, Membela Nabi
Demi kepentingan membela keutuhan negara Madinah dan Nabi, Mukhairiq memilih berperang melawan orang-orang musryik Quraisy daripada beritual di Hari Sabat. Bagi Mukhairiq, ritual Hari Sabat, tahun depan mesti ada. Tapi kekalahan negara, menjadi kehancuran yang membinasakan manusia termasuk ritual yang ada.
Patriotisme membela dan menjaga negara dari serangan musuh, yang berpotensi menghancurkan, lebih utama daripada membela ritualisme. Sebab, negara adalah wadah yang bisa menghantar penghuninya kepada hidup damai dan kemakmuran. Bahkan Al-Qur’an mengajarkan bahwa agar kita menciptakan negara yang aman dan damai (baladan amina, Q.S. Ibrahim [14: 35-37). Menjaga negara adalah maqasid syariah (tujuan syariat) untuk merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan (tahqiq al-mashalih wa dar ‘al-mafasid) dalam kehidupan manusia.
Tujuan bernegara untuk mewujudkan kemakmuran bangsanya. Bila negara dibangun untuk merealisasikan kemaslahatan rakyatnya, maka membela negara merupakan keniscayaan bahkan kewajiban. Seperti Mukhairiq dan Nabi menjaga adidaya Madinah, kita pantas juga membela Negara Kesatuan Republik Indonesia dari gempuran hal-hal (seperti terorisme, separatis, intoleransi) yang berpotensi merusak negara dari esksitensinya. Kita hari ini sering melihat gejala teroristik dan bencana dunia, bukan?
Sungguh, kita tak mungkin bisa menjalankan ritual agama dan pendidikan (thalabil ilmi) dalam rangka menjaga akal sehat (hifzh ‘aql) bila negara kita banjir bencana. Kita tak mungkin bisa menyelenggarakan aktivitas bisnis untuk menjaga harta (hifzh al-mal), manakala kondisi negara sedang perang dan kacau dan tidak aman (Mustqim, 2019). Itulah sebabnya, kita wajib merawatnya dan menjaganya.
Meneladani Sikap Nabi
Seperti ajaran Nabi, menjaga negara tidak hanya sekadar mempertahankan eksistensinya (Pancasila), melainkan menjaga penghuninya. Kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia perlu dijaga dengan semestinya, yang kini kian dibabat habis oleh konglomarat oligarki kapitalistik lewat permainan pencabutan atau pembuatan undang-undang yang ada. Potensi keduanya harus ditukangi dengan baik dan adil berbasis keindonesiaan sehingga berbuah kemaslahatan nan kemakmuran pada masyarakat, yang akhirnya menjadi baldatun thayyibah bagi Indonesia, (Q.S. Sabab’ [34]: 15).
Kita bisa saja minta suaka politik kepada semua orang, dan membangun kerjasama antarnegara-antaragama seperti Rasulullah, tanpa tembok pembatas. Tapi sudah siapkah kita memberi keyakinan pada diri sendiri untuk berdikari dan adil pada bangsanya sendiri? Meyakini kebijakan dan agama tentu sebuah keharusan. Tapi meyakini kebijakan dan agama sembari meninggalkan bangsanya adalah kesilapan.
Nabi selalu minta bantuan Yahudi, mendoakan nonmuslim, bahkan menikahi keturunan Yahudi. Tetapi Nabi juga tidak melupakannya. Nabi berbagi pangan dengan orang Yahudi. Nabi juga mencari suaka politik ekonomi dan berhutang kepada non-muslim. Tapi kerjasama bilateral itu, tak dibuat meruwetkan penerus generasinya. Nabi membayar utang-piutangnya tanpa membebani penerusnya, meski untuk kepentingan sebangsanya. Kendati itulah orang-orang simpati kepada Islam. Orang-orang Yahudi seperti Abdul Qoddus masuk Islam dengan ketulusan hati karena sikap Nabi.
Sesungguhnya, Islam dilihat bukan karena ajarannya. Tapi Islam di mata nonmuslim/orang lain, dilihat dari bagaimana perilaku ummatnya. Dari sikap Nabi, mengajarkan pada kita, bahwa menjunjung pilar-pilar persahabatan dan persaudaraan kepada pemeluk agama lain sungguhlah sangat penting, tanpa mengabaikan bangunan pilar-pilar kemanusiaan antar sesama muslim itu sendiri.