Pada bagian sebelumnya, Memahami Radikalisme Islam (2), kita telah mengerti bahwa ada perkara yang kelewat serius di pelupuk mata semua kita (ya, semua kita!), dari ahli ilmu sampai kaum awam, yakni hawa nafsu. Pertanyaannya kini bagaimana cara mengelola hawa nafsu agar mendapatkan berkah dan rahmat dari Allah Swt?
Saya telah membahasnya panjang lebar dalam buku lain, Masak Hijrah Begitu? (2020). Saya akan singgung sekilas saja di sini.
Surat Yusuf 53 berbicara tentang hawa nafsu sebagai bagian integral diri setiap kita (karenanya ungkapan “membuang hawa nafsu kurang tepat”), dengan karakter asali mendorong kita untuk berbuat keburukan (inna an-nafsa la-ammaratun bis su’), kecuali hawa nafsu yang dirahmati oleh Allah Swt (illa ma rahima rabbi).
Ciri dari orang yang telah diberi rahmat oleh Allah Swt hingga hawa nafsunya terkendalikan untuk tak menyeretnya kepada keburukan-keburukan ialah wala yazaluna mukhtalifin illa man rahima rabbi, cenderung kepada perpecahan, pertikaian, permusuhan, konfik, kecuali orang yang telah dirahmati oleh Tuhan.
Catat baik-baik: ((((terhindarkan dari cenderung kepada pertikaian dan permusuhan)))). Begitu esensinya. Oke, Anda bisa gali lebih jauh lagi hal ini dari surat Ali Imran ayat 105. Cek, ya.
Dikarenakan ranah hawa nafsu ini ada di dalam hati, yang gamblangnya adalah gegar kesombongan, keangkuhan cum merasa paling benar dan sesuai dengan maksud Allah Swt dan RasulNya Saw, sehingga yang tak sama dengannya adalah kaum salah, luput, sesat, dilaknat Allah Swt, bahkan kafir, ahli neraka, maka dapat dikatakan bahwa bagian yang bolong dari rohani kita akibat dibor hawa nafsu ialah ketawadhuan. Ya, tawadhu’.
Saya pun telah menuliskan hal ini dalam tulisan lain. Baik, di sini, saya akan nukil satu riwayat nasihat dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahullah dalam kitabnya, Futūh al-Ghaib. Semoga bisa kita renungkan.
Orang tawadhu’ bila bertemu dengan orang yang lebih muda darinya, ia akan berkata kepada dirinya sendiri: ia lebih baik dariku karena pastilah ia lebih sedikit berbuat dosa dibanding aku yang hidup lebih dahulu.
Orang tawadhu’ bila bertemu dengan orang yang lebih tua darinya, ia akan berkata kepada dirinya sendiri: ia lebih baik dariku karena pastilah ia lebih banyak berbuat kebaikan dibanding aku yang hidup lebih belakangan darinya.
Orang tawadhu’ bila bertemu dengan orang yang bodoh, ia akan berkata kepada dirinya sendiri: ia lebih baik dariku karena segala kesalahan yang ia lakukan adalah semata keawamannya sehingga diampuni-Nya.
Orang tawadhu’ bila bertemu dengan orang yang alim, ia akan berkata kepada dirinya sendiri: ia lebih baik dariku karena pastilah ia banyak mengamalkan kebaikan dengan kedalaman ilmunya.
Orang tawadhu’ bila bertemu dengan orang yang saleh, ia akan berkata kepada dirinya sendiri: ia lebih baik dariku karena ia banyak mengamalkan kebaikan dengan berdasar pada kedalaman iman dan kecemerlangan rohaninya.
Orang tawadhu’ bila bertemu dengan orang yang bermaksiat, ia akan berkata kepada dirinya sendiri: ia niscaya lebih baik dariku karena boleh jadi ia akan bertaubat dan saleh sementara aku bisa saja malah su-ul khatimah.
Beliau qaddasahullah melanjutkan dalam kitab yang sama: ada tiga sikap shiddiqin (orang mukmin yang benar) yang mesti selalu dijaganya sebagai bagian dari ketawadhu’an.
Pertama, tidak mengutuk atau melaknat makhluk Allah Swt. Kepada binatang pun kiranya terlarang, apalagi kepada sesama manusia yang telah diciptakan oleh Allah Swt dalam keadaaan ahsanu taqwim.
Kedua, tidak mendoakan keburukan kepada orang lain bahkan sekalipun ia berbuat zalim kepadanya. Perbuatan ini akan menjadi jalan baginya untuk ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt.
Ketiga, tidak memutuskan syahadat seorang ahli kiblat dengan tuduhan syirik, kufur, dan munafik. Sikap ini lebih dekat dengan kasih sayang, lebih tinggi derajatnya, merupakan kesempurnaan sunnah, jauh dari murka-Nya, serta dekat dengan ridhaNya dan rahmat-Nya.
Kita pungkasi lokus hawa nafsu dan terapinya ini dengan merenungkan surat al-Furqān 63 saja: “Dan hamba-hamba Sang Rahman (Tuhan Yang Maha Penyayang) ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka (dengan buruk), mereka mengucapkan (ucapan-ucapan) keselamatan.”
Kini kita sampai pada satu kesimpulan besar bahwa berislam dengan radikal adalah keniscayaan yang haq, yang meliputi ketaatan syariat secara lahiriah dan sekaligus kecemerlangan rohani secara batiniah. Keduanya harus saling sengkuyung, menguatkan, teramalkan. Karenanya, kita mengenal ungkapan ibadah dan riyadhah (jika mesti dipisahkan demi kepentingan keterangan, meski secara hakiki keduanya adalah satu kesatuan syariat Allah Swt, yakni syariat dhahiran wa bathinan).
Semakin tegak amaliah syariat kita, mestilah semakin bercahaya pula akhlak dan adab kita. Bukan hanya lintas iman, tapi lintas makhluk bahkan. Jika ternyata kita mengalami anomali di titik ini, yakinilah bahwa kita masih punya PR besar pada diri sendiri, utamanya pada gelora hawa nafsu.
Yang lalu jadi soal berikutnya ialah bagaimana ungkapan “Islam radikal” itu tak lagi tersalah-pahami sebagai ekstremitas?
Secara epistemologis, kita telah memahami bahwa radikal berbeda jauh dengan ekstrem. Radikal adalah kedalaman hingga ke akar-akarnya; ekstrem adalah perbuatan yang melampaui batas. Radikalitas berkonotasi positif, ekstremitas berkonotasi negatif.
Islam seyogianya adalah radikal; Islam mustahil ekstrem. Menjadi muslim radikal adalah keniscayaan yang haq; tanpa sikap batin dan ekspresi yang radikal, keislaman kita hanya akan centang-peranang bagai air di atas daun talas ala sekularis-sekularis. Sedangkan menjadi muslim ekstrem adalah jalan yang melampaui batas, tentu ia buruk. Menjadi muslim radikal buahnya adalah kerahmatan, kasih-sayang, dan etika kemanusiaan; menjadi muslim ekstrem buahnya adalah arogansi, intimidasi, negasi, dan bahkan bisa menjadi bibit bagi terorisme.
Islam radikal yang benar mustahil menjelmakan orang sebagai teroris; itu sepenuhnya adalah buah buruk dari berislam ekstrem. Maka dikenal-lah ungkapan Islam wasathiyah, moderasi: satu sisi berisi kepatuhan kepada syariat Allah Swt dan sisi lain menjunjung tinggi kemanusiaan, kemajemukan, keragaman, dinamika zaman dan hukum, dengan asas pokok rahmatan lil ‘alamin.
Islam radikal adalah sikap hidup hanifan musliman bagaikan Nabi Ibrahim As yang diabadikan dalam al-Qur’an, yang terus diwariskan kepada para nabi sesudahnya, hingga sampai dengan sempurna di tangan Rasulullah Muhammad Saw dan diajarkan kepada para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan terus tersampaikan ke generasi kita kini.
Inilah penjelasan yang lurus perihal epistemologi radikalisme Islam atau Islam radikal; mari jangan lagi dicanpur-adukkan dengan ekstremis, ekstremitas, cum para bughat. Para ekstremis dapat dipastikan bukanlah bagian dari Islam. Mereka, dalam ungkapan Buya Syafii Maarif, sejatinya hanyalah manusia-manusia brutal yang membangun puncak-puncak kebiadaban dengan mengatasnamakan Islam. Wallahu a’lam bish shawab.