Bulan Ramadhan sering kali disebut dengan Syahrul Qur’an karena pada bulan inilah al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk pertama kalinya. Peristiwa turunnya al-Qur’an ini disebut dengan Nuzulul Qur’an yang diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan. Hal ini lantas memunculkan satu pertanyaan bagi beberapa orang yang mencoba mengkaitkan peristiwa turunnya al-Qur’an dengan keterangan yang terdapat di dalam surah al-Qadr: di mana persisnya dinyatakan bahwa al-Qur’an turun pada malam lailatul Qadar, sedangkan menurut salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra bahwa malam lailatul Qadar tejadi ketika sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan?
Adapun redaksi Hadits yang dimaksud adalah berbunyi:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِيْ الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qadar itu pada tanggal ganjil dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya perlu membedakan penggunaan kata anzala dengan nazzala di dalam al-Qur’an dalam kaitannya dengan proses turunnya al-Qur’an. Allah SWT menggunakan redaksi anzala (أنزل) pada surat al-Qadr, yakni : اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ , dan bukan redaksi nazzala (نَزَّلَ) yang dipilih, meskipun kedua-duanya terambil dari akar kata yang sama yakni kata nazala (نزل) yang mempunyai arti “berpindah dari satu tempat yang tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah”, namun secara gramatika bahasa arab kedua kata tersebut memiliki implikasi yang berbeda dalam pemahamannya, yakni ketika diungkapkan dengan redaksi anzala maka di sini memberi pemahaman bahwa al-Qur’an pernah diturunkan secara sekaligus dalam jumlah 30 Juz yakni ketika di Lauhul Mahfuz menuju as-Sama’ ad-dunya (langit dunia) atau Baitul izzah.
Setelah turun secara keseluruhan barulah kemudian malaikat Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw secara berangsur-angsur yaitu selama 23 tahun lamanya. Wahyu pertama kali yang sampai kepada Rasulullah ialah lima ayat di awal surah al-‘Alaq, kala itu Nabi menerimanya di Gua Hira’ ketika beliau sedang berkhalwat. (Keterangan lebih lanjut baca: Muhammad Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah, Vol. 15, hlm. 422)
Setelah mengetahui proses bagaimana al-Qur’an diturunkan, yang perlu diketahui bersama ialah bagaimana memfungsikan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi kita umat manusia agar kehidupan ini berjalan selaras dengan nilai-nilai Qur’aniyyah. Hal inilah yang menjadi harapan seluruh umat Islam terhadap kitab sucinya. Namun permasalahannya ialah bahwa al-Qur’an merupakan kitab suci yang dituturkan dengan redaksi bahasa Arab, sementara kita umat Islam di Indonesia khususnya tidak sepenuhnya mampu memahami firman Allah SWT yang disampaikan melalui bahasa Arab. Lantas bagaimana kemudian kita bisa memahaminya sebagai petunjuk?
Dari pertanyaan tersebut kita semua akan semakin menyadari betapa kemukjizatan al-Qur’an benar-benar nyata dapat dirasakan untuk siapapun, karena setiap orang akan disentuh oleh al-Qur’an sesuai kadar dan kapasitas yang dimilikinya. Bagi mereka yang mempunyai keterbatasan bahasa Arab sehingga mengakibatkan dirinya tak mampu mengambil pesan-pesan Tuhan di balik bahasa al-Qur’an maka mereka akan disentuh oleh al-Qur’an dari sisi performanya yakni dari keindahan bacaan al-Qur’an, misalnya.
Sering kali kita mendengar cerita sebagaian orang yang hatinya gelisah menjadi kembali tentram setelah ia diperdengarkan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, bukan? Nah, demikianlah salah satu bukti bahwa al-Qur’an mampu memberikan petunjuk berupa ketenangan batin kepada orang-orang yang hatinya sedang dirundung kegelisahan.
Sementara itu, bagi mereka yang dianugerahi kemampuan untuk menggali pesan-pesan ilahi yang tersembunyi di balik redaksi al-Qur’an yang berbahasa Arab maka mereka akan asyik-masyuk menyelami kedalaman makna al-Qur’an yang tiada bertepi.
Dengan demikian, al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dapat dipahami sebagai cermin bagi tiap-tiap individu manusia, layaknya sebuah cermin ia akan memantulkan sesuai dengan objek yang berada di depannya sehingga dari sini tidak boleh ada klaim superioritas hanya karena dirinya tergolong orang yang mampu memahami bahasa al-Qur’an, sementara orang selain dirinya dianggapnya tidak berhak memperoleh petunjuk dari al-Qur’an hanya karena keterbatasan intelektual yang dipunyainya.
Di sisi lain, al-Qur’an sebagai cermin diri menuntut kita semua untuk mempergunakannya sebagai media berintropeksi atas sifat-sifat yang kita miliki: apakah kita termasuk ke dalam kategori ayat di mana Allah SWT telah mengecam orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya dan mengancamnya dengan siksa yang pedih kelak di Neraka:
قُلْ أَفَأُنَبِّئُكُم بِشَرٍّ مِّن ذَٰلِكُمُ ۗ ٱلنَّارُ وَعَدَهَا ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ۖ وَبِئْسَ ٱلْمَصِيرُ
Katakanlah (Muhammad): “Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?” Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. (al-Hajj: 72)
Setiap kali Allah SWT menceritakan tentang karakter orang-orang kafir di dalam al-Qur’an maka sepatutnya terlebih dahulu kita perlu bersama-sama bercermin apakah benih-benih kekufuran tersebut juga bersemayam pada diri kita, ataukah justru tanpa disadari kita sudah termasuk pada golongan mereka?
Setiap kali Allah SWT menyebutkan bahwa diri-Nya tidak menyukai orang-orang yang berbuat dzalim (Innallaha Yuhibbu az-Zalimin), maka sebaiknya kita tidak perlu sibuk mencari-cari pelaku dzalim karena boleh jadi diri kita sendirilah sasaran atau objek dari ayat tersebut. Setiap kali Allah SWT menyatakan ketidaksukaanya kepada orang-orang yang berlebihan (Innallaha Yuhibbu al-Musrifin) maka kita tak perlu repot untuk mencari siapa di antara sekian umat manusia yang bertindak-laku Israf atas anugerah yang telah dikaruniakan-Nya, jangan-jangan ayat tersebut teralamatkan kepada kita sendiri? Mari kita sama-sama bercermin!