Al Quran adalah “hidangan dari Allah”. Demikian dinyatakan oleh Prof. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia dalam bukunya Islam yang Saya Anut. Al Quran adalah sumber utama hukum umat Islam, ada banyak sekali keragaman dalam hidangan itu, dan Allah yang Maha Pemurah mempersilakan hamba-Nya memilih “apa yang telah dihidangkan”.
Kaum muslimin bisa memilih hidangan Al Quran yang cocok dengan selera dan kondisi keberislaman mereka sesuai dengan porsi, rasa, atau pilihan menu yang ada, sejalan dengan yang telah “diramu” oleh para ulama. Umat Islam yang belum mampu menyajikan hidangan sendiri, diminta untuk tetap mengikuti apa yang telah dihasilkan ijtihad oleh para ulama, dan mereka bisa memilih sesuai apa yang terbaik dan paling sesuai dengan kondisi mereka.
Berbicara soal hidangan, saya mengajak Anda menonton satu liputan menarik tentang kuliner Nusantara. Liputan ini dirilis oleh VICE Indonesia, dengan tajuk Akarasa. Sebagaimana ditulis VICE, Akarasa adalah rubrik dokumenter yang menyajikan sejarah kuliner Nusantara.
Salah satu episode liputan di atas berbicara tentang roti canai/cane – atau di tempat lain, kita kenal dengan roti maryam. Presenter liputan tersebut menuju kota Medan, Sumatera Utara, guna meninjau bagaimana roti canai bisa begitu akrab dengan masyarakat Indonesia saat ini.
Di berbagai tempat di Indonesia, roti canai kita kenal disajikan dengan berbagai ragam topping atau pelengkap. Umumnya biasa disajikan dengan kuah kare atau krimer kental manis. Dalam perkembangannya, roti canai ini dikreasikan oleh para penjaja makanan dengan topping keju, coklat, kornet dan jenis selai-selai lain yang mudah kita temui dijajakan pedagang kaki lima.
Di Medan, sang presenter bertemu dengan komunitas suku Tamil dari India Selatan yang ada di satu kampung yang disebut kampung Madras. Konon nama Madras ini adalah nama suatu kampung di kota Chennai, India. Dari sini nama daerah itu nama roti canai atau cane kita kenal. Di sana, roti yang berbentuk pipih ini disebut parotta.
Para penduduk Kampung Madras dengan darah India ini melebur dengan masyarakat Medan yang heterogen dari ragam suku, seperti Batak, Cina, Melayu, dan suku-suku lain di Indonesia. Dikisahkan bahwa berdiasporanya mereka di Sumatera Utara dan sekitarnya adalah akibat migrasi besar-besaran warga India ke Sumatera akibat keperluan Hindia Belanda mencari tenaga kerja terampil untuk penanaman tembakau. Nah, migrasi manusia tentu meniscayakan migrasi apa yang melingkupi mereka: agama, kepercayaan, mode, dan tentu juga kuliner.
Tradisi roti canai, turut dibawa oleh orang Tamil ini. Mulanya tradisi kuliner adalah usaha untuk memperkuat komunitas migran yang ada di perantauan, namun pada perkembangannya, keterbukaan dengan masyarakat lain meniscayakan suatu dialog.
Rasa roti canai yang dijual dan disajikan di Medan dikatakan sudah banyak mengalami penyesuaian selera dengan masyarakat lokal. Hal ini mempengaruhi dan juga memperkaya khazanah cita rasa roti canai yang sebelumnya ada. Mengingat budaya kebanyakan orang Indonesia kala itu bukanlah budaya makan roti, melainkan makan nasi atau umbi-umbian, maka penerimaan kuliner roti canai tentu mengesankan.
Dalam dokumenter tersebut, seorang pakar sejarah kuliner menyatakan, “Melihat mudahnya penerimaan masyarakat Indonesia akan ragam kuliner dari luar, menunjukkan bahwa karakter masyarakat kita yang sebenarnya adalah terbuka, toleran, dan mau menerima hal baru.”
Adaptasi rasa dengan selera lokal adalah hal yang lumrah di Indonesia. Saat berada di suatu daerah, kita kerap nggumun saat merasakan masakan asli di daerahnya langsung berbeda dengan jenis masakan serupa di tempat lain.
Mari kita ambil contoh gudeg, atau masakan Padang. Gudeg yang populer dan disebutkan sebagai kuliner asli Jogja, cenderung lebih terasa manis di warung-warung di Jogja dibanding yang pernah saya beli di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan, yang lebih asin.
Begitupun soal masakan Padang, suatu waktu ketika bertandang bersama seorang kawan asli Minang ke Rumah Makan masakan Padang, ia menyatakan rasanya berbeda: masakan serupa di kampungnya cenderung lebih berani memperkaya rempah dibanding di tempat kami membeli.
Mungkin contoh di atas adalah suatu hal yang subjektif dan masih bisa diperdebatkan, yaitu soal kecocokan selera dan keaslian rasa. Tapi, jika direnungkan, bukankah cara kita beragama, menyesuaikan dengan selera dan kondisi lokal yang ada?
Semisal masakan Padang atau gudeg tadi bertahan mempertahankan rasa, tentu bukan hal yang salah. Namun, di tengah heterogenitas masyarakat dan penerimaan pasar, makanan perlu disesuaikan dengan selera masyarakat yang ada. Kalau tidak disesuaikan, kemungkinan bisa kurang diminati, atau jika dijual bisa tidak laku.
Jika dikatakan orang-orang daerah tertentu menyukai menu yang cenderung asin atau gurih, menu yang resep asalnya cenderung manis akan disesuaikan dengan selera masyarakat, tanpa mengabaikan pakem-pakem resep masakan yang sudah mapan. Namanya sama, tapi rasanya bisa berbeda.
Mungkin demikianlah realitanya Islam kita. Kita bisa bilang Islam kita sama, tapi realitanya, soal situasi, kondisi, dan selera yang cocok tak sama bagi tiap orang.
Salah satu sejarah yang populer adalah Islam sampai di Indonesia dibawa oleh para perantau dari Arab. Jika orang-orang yang memperkenalkan agama Islam – begitu pula agama lain – tidak menyesuaikan agama dengan “selera lokal”, jelas minat orang-orang akan agama itu bisa sangat minim karena melawan selera yang sudah mapan.
Namun akhirnya kita lihat, agama Islam – juga sebagaimana agama lain masuk ke Indonesia –bisa diterima oleh masyarakat Nusantara secara luas, tanpa konflik berarti yang penuh pertumpahan darah. Di Jawa, Wali Songo adalah contoh dalam sejarah kita bagaimana model dakwah yang dialogis dan tidak melawan selera lokal dilakukan sehingga Islam bisa diamalkan secara luas di Jawa dengan beragam coraknya.
Dari uraian di atas, indah sekali jika cara kita beragama seperti cara kita menerima kuliner. Pakem resep dan hidangan sudah tersedia, dan penyesuaian dengan selera yang telah eksis terus berjalan. Jika ingin menyantap kuliner itu bersama, para ulama mengajak dialog mencari titik temu dari resep kuliner dengan hal yang sama-sama disukai. Kamu suka asin, saya suka manis, rasa apa yang bisa mempertemukan kita?
Namun seperti laiknya menyikapi suatu kuliner, kalau memang soal rasa tak bisa sepakat, selera cara beragama orang lain tak elok kita recoki apalagi kita hujat – selama itu baik bagi sesama dan sesuai pakem yang diajarkan para “koki”, yaitu para ulama. Seperti kuliner, dengan penyesuaian dan interaksi dengan masyarakat yang dinamis dan tak henti-henti, mestinya agama akan terus hidup dan diamalkan dengan damai dan menyenangkan. Wallahu a’lam.