Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan diprokalamirkan oleh Sukarno dan Hatta tanggal 17 Agustus 1945, muncul banyak tokoh yang melatarbelakangi pergerakan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu di antara beberapa tokoh tersebut adalah KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari. Sengaja dalam tulisan ini penulis mengangkat kedua tokoh tersebut, mengingat peran keduanya dalam membentuk karakter umat dan bangsa begitu memukau dan hampir membuat semua orang terkagum-kagum. Adanya organisasi besar semisal Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, yang menjadi benteng Islam Nusantara dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran keduanya.
Meminjam istilah Buya Syafi’ Maarif, bahwa keberhasilan kedua tokoh tersebut dalam membebaskan umat dan bangsa Indonesia dari jurang kehancuran baik karena penjajahan atau karena faktor lain karena ditopang oleh semangat jihad individual. Maksudnya adalah semangat untuk menjadi uswah dan panutan menjadi ruh keberhasilah dalam dakwah beliau berdua. Dalam hal ini ilmu agama yang menjadi modal dasar dari perjungan mereka terpatri dengan kuat di dalam hati dan selanjutnya diaplikasikan dalam amal nyata yang bermanfaat untuk bangsa dan Negara.
Antara KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari sama-sama bersepakat, bahwa untuk mengangkis umat dan bangsa ini dari kehancuran dan kebinasaan harus dengan mengadakan revolusi dari berbagai sektor, namun yang paling dititikberatkan oleh beliau berdua adalah revolusi intelektual dan mental. Penulis rasa, gerakan yang dicetuskan oleh sang pencerah dan sang kyai ini telah jauh menembus dimensi waktu. Kalau Bapak Ir. H. Joko Widodo dalam kampanyenya dulu mengangkat revolusi mental, itu hanyalah kelanjutan dari konsep yang telah dicetuskan oleh kedua tokoh besar tersebut.
Bagi KH. Ahmad Dahlan sendiri misalnya, gerakan Ijtihad dan Tajdid yang dikemas dalam Amar Ma’ruf Nahi Munkar adalah gerakan yang paling jitu untuk membersihkan pola pikir umat dari kejumudan yang terkesan konservatif. Menurut beliau dalam memahami agama, seseorang haruslah menggali pemahaman tersebutdari sumber aslinya dengan tidak meniggalkan metode pemahaman yang komprehensif dan kontekstual, sehingga agama Islam yang memang ajarannya menembus ruang dan waktu tidak menjadi kaku, yang pada akhirnya bisa melahirkan pemahaman-pemahaman radikal.
Masih menurut KH. Ahmad Dahlan, modernisme dalam kehidupan beragama mau tidak mau harus digalakkan, mengingat ke depan tantangan umat Islam semakin kompleks. Dalam hal ini, KH. Ahmad Dahlan juga mempergunakan metode pengambilan hukum dari (1) al-Qur’an, (2) al-Sunnah, (3) al-Ijma’, dan (4) al-Qiyas. Karena menurutnya keempat dasar tersebut telah mampu membangkitkan alam pikiran umat Islam untuk membangun dan mengkreasi pemahaman baru (tajdid) terhdap ajaran-ajarannya yang universal.
Jikalau membaca alam pikiran intelektual KH. Ahmad Dahlan, maka hal itu tidak bisa dipisahkan dari peran Muhammad Abduh, karena sejauh yang dipahami penulis, keterkaitan antara Muhammad Abduh dan KH. Ahmad Dahlan bisa dilihat dari antusias beliau dalam membaca dan memahami pola pikir Abduh dalam karya-karyanya terutama majalah al-Manar. Dari al-Manar inilah pola pikir Ahmad Dahlan dalam hal pembaharuan dibentuk, mengingat persamaaan cita-cita keduanya ibarat sisi mata uang, sehingga walaupun dalam kajian historiografi, kedua tokoh ini belum pernah bertemu, namun dapat disimpulkan bahwa Ahmad Dahlan adalah representasi dari Muhammad Abduh ala Indonesia.
Lain halnya dengan KH. Hasyim Asy’ari, sebagai tokoh sentral dalam hal pendidikan ala pesantren, beliau mempunyai komitmen kuat dalam mencerdaskan umat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya murid KH. Hasyim Asy’ari yang menjadi tokoh bangsa, dan intelektual pada masanya. Di samping itu, ada beberapa sikap dan komitmen KH. Hasyim Asy’ari dalam menyikapi fenomena umat Islam yang saat itu berada dalam kubangan kebodohan, di antaranya adalah petikan kata-kata beliau yang penulis kutip: “Suatu bangsa tidak akan maju jika warganya bodoh. Hanya dengan pengetahuan, suatu bangsa akan menjadi baik”.
Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam gerakan revolusi intelektual dan mental semakin terasa setelah kepulangannya dari Mekkah. Beliau banyak mengadakan perubahan dalam sektor pendidikan ini dengan diberlakukannya sistem klasikal di Pesantren Tebuireng yang beliau asuh. Tidak hanya itu saja, asimilisi pelajaran agama dan umum untuk selanjutnya dikemas dalam kurikulum pesantren pun menjadi bagian dari gerakan revolusi intelektual yang beliau lakukan.
Berbeda dengan KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari justru berseberang pendapat dengan Muhammad Abduh. Pemikiran Abduh yang banyak dikritisi oleh KH. Hasyim Asy’ari adalah dalam hal keterlepasan umat Islam dari ikatan madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Menurut beliau, memahami al-Qur’an dan al-Sunnah yang menjadi sumber utama ajaran Islam mustahil dilakukan tanpa merujuk pada pendapat ulama-ulama yang tersebut tertuang dalam sistem madzhab. Menafsirkan sendiri al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa melakukan kajian dan penelitian terhadap pemikirian ulama madzhab, hanya akan melahirkan kerancuan-kerancuan dari hakikat ajaran Islam itu sendiri.
Namun tidak semua pemikiran Muhammad Abduh ini mendapat banyak kritikan dari KH. Hasyim Asy’ari. Ada beberapa pemikiran Abduh yang justru banyak mendapat dukungan dari beliau, di antaranya adalah (1) reformasi pendidikan Islam di beberapa universitas di dunia, (2) perumusan kembali doktrin Islam setelah diadakan kajian yang mendalam, dan (3) Persatuan kaum muslimin dalam mempertahankan Islam.
Penulis menilai jihad individual dan gerakan revolusi intelektual mental yang yang dilakukan oleh Sang Kyai ini banyak dituangkan dalam karya-karya ilmiah yang beliau tulis. Sejauh yang penulis ketahui, karya KH. Hasyim Asy’ari yang secara spesifik membahas gerakan revolusi intelektual mental ini tertuang dalam “Adab al-Aalim wa al-Muta’allim”.Kitab yang berisi tentang regulasi dan undang-undang seorang guru dalam hal mengajar, juga aturan-aturan seorang murid dalam kapasitasnya sebagai penuntut ilmu.
Walhasil pada akhir tulisan ini, penulis sedikit memberikan kesimpulan, bahwasanya KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari dua tokoh besar yang sama-sama mempunyai peran penting dalam gerakan dan pembaharuan yang dilakukannya dalam ranah dan wilayah masing-masing. Sang Pencerah dengan Muhammadiyah-nya, dan6 Sang Kyai dengan Nahdlatul Ulama-nya. Jika ditemukan perbedaan-perbedaan pada diri keduanya, itu semata-mata masalah dalam wilayah khilafiah yang sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat. Yang jelas, kedua-duanya sama-sama berjuang untuk membebaskan bangsa dari belenggu kebodohan. Wallahu A’lam Bisshawab.