Seringkali kita menemukan hadis yang maknanya tak dapat langsung dicerna oleh akal, adakalanya memiliki makna denotatif atau terkadang konotatif. Padahal kesimpulan yang dihasilkan dari hadis yang dipahami tekstual dengan kontekstual pastilah berbeda. Tentunya dalam memahaminya, kita tidak luput dari merujuk kepada kitab-kitab syarh dan hasyiah matan hadits tersebut.
Seperti hadis keutamaan seorang muadzin di bawah ini:
عن ابن عباس أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم قال: من أذّن سبع سنين محتسبا كتبت له براءة من النار (رواه الترميذي في باب ما جاء في فضل الآذان)
Dari Ibnu Abbas bahwasannya nabi Saw bersabda: Barang siapa yang adzan selama tujuh puluh tahun karena mengharapkan pahala (tidak mengharapkan upah),maka ia wajib bebas dari neraka (H.R Tirmidzi dalam bab keutamaan adzan).
Jika sekilas membaca hadis tersebut pasti timbul beberapa pertanyaan. Misalnya, bagaimana jika umurnya tidak mencapai tujuh puluh tahun? lagi-lagi kita harus merujuk pendapat ulama tentang hadits ini.
Dinuqil dari kitab Tuhfatul Ahwadzi, mengenai terbebasnya sang muadzin dari neraka Imam al-Munawi berpendapat bahwa hadis di atas bukan difahami secara dahir, melainkan karena seringnya seorang muadzin melafalkan dua kalimat sahadat dan doa tanpa faktor duniawi, sehingga menjadikannya selalu diliputi nilai-nilai tauhid.
Sehingga neraka tidak akan mampu menelan orang yang selalu mengesakan Allah. Walaupun derajat hadis ini dhaif, sebagaimana kaul Ibnu Majah dikarenakan dalam rangkaian sanadnya terdapat Jabir bin Yazid al-Jufi, tetapi hadis ini tetap boleh diamalkan karena berkaitan dengan fadhail amal.
Dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa seorang muadzin di hari kiamat nanti akan mendapatkan keutamaan, yang dideskripsikan dengan panjang lehernya.
وَعَنْ مُعَاوِيَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إنَّ الْمُؤَذِّنِينَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَابْنُ مَاجَهْ
“Dari Muawiyah bahwasannya Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya para muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat (H.R: Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).
Imam as-Syaukani menjelaskan dalam kitabnya Nailul Awthor bahwa Ulama Salaf maupun Kholaf berbeda pendapat mengenai makna “leher panjang” dalam hadis di atas.
Pertama, ada yang memaknai frasa tersebut dengan ‘orang yang paling banyak pengawasan pada rahmat Allah Swt’, karena orang yang sedang mengawasi biasanya memanjangkan lehernya untuk melihat sesuatu yang diawasinya.
Kedua, Nadhor bin Syumail berpendapat: “Apabila (banjir) keringat mempersulit manusia di hari kiamat (karena kelak matahari di Padang Mahsyar begitu dekat dengan manusia, sehingga membuat mereka tenggelam), maka mereka memanjangkan leher mereka supaya tidak mendapati kesulitan.
Ketiga, dikatakan juga bahwa mereka adalah pemimpin. Karena orang arab biasa menggunakan istilah “leher panjang” pada seorang pemimpin.
Keempat, dikatakan juga bahwa orang tersebut adalah orang yang paling banyak pengikutnya.
Kelima, pendapat Ibnu Arabi yang mengatakan bahwa Mereka adalah orang yang paling banyak amalnya.
Keenam, Imam Iyadh R.A dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa Sebagian orang meriwayatkannya dengan إعناقا atau إسراعا yang berarti cepat, maksudnya cepat dimasukan kedalam surga di hari kiamat.
Ketujuh, Ibnu Abu Dawud berkata: “Aku mendengar ayahku berkata: maknanya adalah bahwasannya manusia itu haus di hari kiamat, apabila ia haus, maka lehernya menunduk, sedangkan muadzin tidak kehausan karena leher mereka berdiri.”
Beberapa kaul di atas adalah paparan makna hadis leher panjang seorang muadzin di hari kiamat kelak. Adapun nilai dan Istifadah yang dapat kita ambil dari beberapa pendapat ulama di atas adalah teruslah berjuang dan semangat dalam memakmurkan masjid dengan lantunan adzan setiap waktu shalat datang, tentunya dengan mengharap keridaanya.
Wallahu A’lam