Pada Jumat malam lalu penulis berkesempatan mengikuti diskusi online bertema ‘Diplomasi Kebudayaan Gus Dur’. Ada tiga panelis yang mengisi kegiatan tersebut, yaitu Hilmar Farid, Dolorosa Sinaga, dan Imam Aziz. Ketiganya memiliki pengalaman personal bersama KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di forum tersebut ketiganya mengungkapkan berbagai pernyataan menarik dari perspektif masing-masing.
Salah satu yang paling membekas bagi penulis adalah pernyataan Imam Aziz tentang (dakwah) ‘yang benar’ dan ‘yang baik’. Bagi Imam, Gus Dur sangat lekat dengan nilai kemanusiaan karena bisa menempatkan perkara yang universal di atas hal-hal yang sifatnya parsial. ‘Kebaikan’ itu milik semua orang. Sementara ‘kebenaran’ selalu diklaim dan dipersepsikan secara berbeda oleh setiap orang atau kelompok. Jika dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang menyeru pada kebenaran, maka konflik tidak bisa dihindarkan.
Saya sepenuhnya setuju dengan pernyataan tersebut, terutama jika kita melihat bagaimana panggung sosial warga Indonesia sangat dipengaruhi oleh opinion leader bernama tokoh agama. Maraknya tokoh agama yang menyerukan ‘kebenaran’ daripada ‘kebaikan’ membuat sebagian umat tak segan memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain yang memiliki kebenarannya sendiri.
Akibatnya, berbagai peristiwa pelanggaran terus terjadi. Pada akhir bulan September lalu SETARA Institute mengeluarkan pernyataan sikap tentang kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. SETARA mencatat selama September saja terdapat empat kasus menonjol yang terjadi, mulai penolakan pendirian bangunan rumah ibadah, penolakan penggunaan rumah sebagai tempat ibadah, hingga penyegelan tempat ibadah.
Jika melihat data tahunan, jumlah pelanggaran tersebut sangat tinggi. Di tahun 2019, Imparsial menemukan 31 kasus pelanggaran KBB yang diberitakan media dalam kurun waktu 2018-2019. Sementara SETARA menyebut selama kurun setahun terakhir terjadi 200 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan!
Hal ini menegaskan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia belum bisa dinikmati semua warga. Fenomena pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan seperti menjadi ritual menahun yang terus terjadi, bahkan cenderung meningkat. Hal ini tentu berseberangan dengan konstitusi yang kita sepakati sebagai warga negara Indonesia.
Konstitusi dengan tegas menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan keyakinan masing-masing. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Sudah semestinya setiap warga menikmati hak konstitusi tersebut.
Padahal fenomena pelanggaran KBB layaknya fenomena gunung es, di mana peristiwa yang tampak hanyalah sedikit, sementara kejadian sesungguhnya jauh lebih banyak. Namun penulis tidak ingin berkomentar mengenai kuantitas. Karena ada hal yang lebih mendasar yang harus dilihat dari berbagai peristiwa pelanggaran KBB tersebut.
‘Maaf Sekadar Mengingatkan’
Otto Scharmer, seorang peneliti senior Massachusetts Institute of Technology, menulis teori U (U-Theory) untuk menganalisa berbagai fenomena. Bahwa peristiwa yang tampak tidak bisa dilepaskan dari tiga hal mendasar lainnya, yaitu pola dan tren, struktur penyebab, dan yang paling mendasar yaitu mental model atau paradigma.
Pelarangan beribadah hingga penyegelan rumah ibadah adalah pola yang terjadi setiap tahun. Penyebabnya mulai dari sikap keberagaman yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat hingga negara yang tak kunjung bersikap tegas menjamin hak konstitusi warga. Berbagai sebab tersebut sangat dipengaruhi dengan mental model bahwa beragama pada dasarnya menyampaikan kebenaran.
Di berbagai akun media sosial penulis pernah melihat satu caption yang pada intinya mengajak semua orang untuk tidak ragu dalam menyampaikan kebenaran. Beberapa diambil dari hadis yang tidak ditempatkan sebagaimana konteksnya.
‘Sampaikanlah walau satu ayat.’
‘Kebanaran selalu pahit, maka jalani dengan tulus dan ikhlas.’
Mental merasa benar dan merasa layak sebagai penyampai kebenaran ini membuat orang tidak ragu menggunakan cara-cara yang tidak baik. Bagi sebagian orang, kebenaran harus diperjuangkan. Tak heran jika beberapa orang bisa dengan tegas dan lugas menghakimi, lalu diakhiri dengan kalimat pamungkas ‘maaf, sekadar mengingatkan’.
Mereka tidak pernah sadar bahwa klaim kebenaran tidak tunggal. Orang yang dianggap salah juga memiliki kebenaran miliknya sendiri. Jika pihak yang disalahkan berbalik memperjuangkan kebenaran yang dimiliki, maka di sinilah akar konflik bermula. Di negara multikultural dan demokratis, mental model seperti ini harus diubah demi kehidupan yang damai dan harmonis.
Di kampung penulis pernah ada dua penceramah yang memiliki perbedaan pendekatan. Pertama, seorang penceramah yang berteriak lantang saat menjelaskan bagaimana hanya kelompok agamanya yang masuk surga, meski melakukan dosa berat, selama bukan dosa yang tidak terampuni. Meski ia menyadari bahwa di sekitar lokasi ceramahnya banyak warga yang menganut agama berbeda, ia tetap tidak peduli, bahkan memang itu yang dituju.
Sementara penceramah kedua selalu mematikan mic setiap kali menjelaskan pandangan-pandangan keagamaan yang sensitif dan berpotensi menyakiti hati orang lain. Ia memiliki empati yang tinggi bahkan untuk menyampaikan sesuatu yang dianggapnya benar, tetapi tidak baik.
Bagi penulis, cara penceramah kedua inilah yang tepat di tengah masyarakat multikultural. Ia muncul dari kesadaran bahwa yang benar menurut kelompoknya, belum tentu benar bagi kelompok lainnya. Ia menjalankan kewajibannya sebagai ‘penyampai kebenaran’ tanpa meninggalkan cara-cara ‘yang baik’ (ma’ruf).
Sebagai opinion leader, pendapat tokoh agama sangat berpengaruh bagi masyarakat. Dengan kata lain, agenda untuk mengurangi pelanggaran KBB sangat bergantung pada bagaimana tokoh agama menempatkan dirinya sebagai agen ‘kebaikan’, bukan semata-mata pembawa ‘kebenaran’.
Selain itu ketegasan pemerintah dalam menjamin hak konstitusi warga sangat dibutuhkan dalam agenda menghapus pelanggaran KBB. Pemerintah harus memiliki mental model bahwa keadilan adalah kebaikan sejati. Sikap adil pada setiap kelompok inilah yang akan membimbing bangsa ini menjadi bangsa yang damai.
Menyadur penutup artikel yang kerap ditulis oleh Gus Dur: hal ini mudah untuk diucapkan, tapi sulit untuk diwujudkan, bukan?