Akhir-akhir ini kita sering dihadapkan kepada fenomena radikalisasi agama, yaitu fenomena yang mencoba menggunakan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi hanya untuk tujuan politik tertentu. Radikalisasi agama juga menimbulkan kengerian bagi yang menjadi korbannya. Termasuk persoalan yang sering diangkat untuk mendelegitimasi lawan politik ialah politisasi dan radikalisasi makna thaghut.
Bagi segelintir orang, negara yang tidak didasarkan kepada syariat Islam ialah negara thagut, negara yang segenap aparaturnya dianggap sebagai kafir-musyrik meski yang mengisi posisi-posisi jabatan tertentu pada struktur negara ini ialah orang-orang Islam. Mereka mengklaim bahwa seorang muslim yang bekerja di berbagai sektor negara yang tidak menganut sistem Islam ini dianggap telah keluar dari agama dan karenanya wajib diperangi dengan segala macam cara.
Argumen mereka didasarkan pada ayat al-Quran yang maknanya sering dipelintir dan disalahartikan. Hal demikian seperti yang tercantum dalam pesan di ayat berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang murtad ke belakang (kepada kekafiran) sesudah
petunjuk itu jelas bagi mereka, syaithon telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci terhadap apa yang diturunkan Allah : “Kami akan mentaati kamu dalam beberapa (sebagian) urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka”. (QS. Muhammad: 25-26)
Ayat ini bagi mereka berbicara tentang bagaimana Allah memvonis seorang hambanya sebagai murtad hanya karena ucapannya kepada orang-orang kafir: “Kami akan menaati kamu dalam beberapa urusan”. Implikasi dari pemahaman seperti ini ialah seorang muslim yang bekerja untuk pemerintah yang tidak menerapkan syariat Islam dianggap sebagai murtad alias keluar dari Islam. Kenapa demikian? Karena ia telah bekerja untuk negara thagut.
Pemahaman seperti ini jelas amat simplistik namun sangat berbahaya jika diadopsi. Pasalnya, jika hal demikian dianut menjadi keyakinan seseorang, maka ia akan selalu melihat dunia sekelilingnya sebagai dunia kekafiran dan kemurtadan. Dalam benaknya, esensi Islam hanya pada perang, perang dan perang melawan thagut dan pengikut-pengikutnya yang kafir.
Melalui kacamata ini, dan dengan mencontoh heroisme para sahabat Nabi dalam memerangi kaum kafir-musyrik dan kaum murtad, dalam konteks Indoensia, seseorang yang menganut paham demikian akan selalu terdorong untuk memerangi pemerintah yang menganut ideologi Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Bagi mereka, paham apapun yang tidak didasarkan kepada wahyu Allah dan ber-tahakum dengan selain hukum Allah akan dianggap sebagai anshar thagut. Sebuah pemikiran yang amat sederhana dan lugu namun berbahaya bagi stabilitas keamanan umat jika hal demikian dipegang teguh.
Sebenarnya thagut sendiri dalam al-Quran memiliki berbagai macam makna. Masing-masing maknanya tidaklah mutlak merujuk kepada konsep tertentu. Karena itu perlu kiranya kita merujuk sejenak beberapa pandangan mengenai makna thagut ini. Kata thagut sendiri sebenarnya berasal dari thaga yang artinya melakukan puncak kekufuran (man thaga fi al-kufr) dan melampui batas dalam kekufuran (jawaza al-hadd).
Thagut menurut Ibn al-Manzhur dalam Lisan al-Arab bisa merujuk kepada dukun-dukun, berhala-berhala dari jenis jin dan manusia, syetan-syetan dan para dedengkot kesesatan. Sementara itu, at-Tabari dalam Jami al-Bayan menafsirkan thagut tidak hanya sekedar yang disebutkan oleh Ibnu al-Manzhur, namun juga menambahkannya dengan menyebut pribadi yang dinamai thagut dalam al-Quran, yakni Ka’ab al-Asyraf dan Huyay bin al-Ahthab.
Dalam I’lam al-Muwaqi’in, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang disembah, diikuti atau ditaati oleh seorang hamba dengan cara yang melampaui batas (secara ekstrim) disebut sebagai thagut. Muhammad bin Abdul Wahab menjelaskan bahwa thagut meliputi Iblis, individu yang ingin disembah dan ingin dikultuskan, serta individu yang bersandar kepada hukum selain yang ditetapkan Allah. Rasyid Ridha, dalam tafsir al-Mannar, menafsirkan kata thagut dalam al-Quran sebagai ‘kekuatan atau dorongan jahat yang menguasai pikiran dan hati manusia’.
Hal senada juga dinyatakan oleh Muhammad Asad dalam The Message of The Quran. Kata Thagut diterjemahkannya sebagai powers of evil ‘kekuatan-kekuatan jahat’. Namun dalam tafsirnya terhadap masing-masing ayat yang didalamnya thagut disebutkan, Asad memiliki beberapa tafsir yang berbeda namun muaranya sama, yakni ‘kekuatan jahat yang menguasai hati dan pikiran manusia’. Artinya dalam hal ini, Asad menafsirkan segala dorongan-dorongan negatif dalam diri manusia yang menjerumuskannya ke dalam kehancuran spiritual disebut sebagai thagut. Melalui keterangan ini thagut tidak ada bedanya dengan hawa nafsu yang sama-sama memiliki arti dorongan negatif.
Dari beberapa pengertian ini, yang dikemukakan Muhammad bin Abd al-Wahab lah yang menarik untuk kita tinjau lebih jauh. Pasalnya, salah satu makna thagut yang dikemukakannya, yakni ‘individu yang bersandar kepada hukum selain yang ditetapkan Allah’ sering dipolitisasi oleh kelompok teroris untuk mendorong umat agar bersikap anti-Pancasila, UUD 45 dan NKRI. Bagi mereka, Pancasila, UUD 45 dan NKRI adalah hukum buatan manusia. Sedangkan syariat Islam ialah wahyu dari Allah dan oleh karenanya Pancasila harus diganti dan bila perlu dihancurkan.
Paham ini jelas sangat kaku dan terkesan ekstrim dalam melihat persoalan. Kalau mereka lebih jeli memperhatikan Pancasila dan mengesampingkan pemahaman yang radikal, akan terlihat bahwa di dalam Pancasila terdapat kulliyat asasiyah – meminjam terma ar-Raisuni – yang dengannya syariat Islam dan hukum-hukum parsialnya bersandar. Dalam Pancasila, kita akan menemukan kulliyat asasiyah berupa iman kepada Allah yang Maha Esa, menjunjung tinggi kemanusiaan, menjalin persatuan, menegakkan keadilan dan perwakilan dalam kepemimpinan. Selain itu, isi UUD 45 mengandung semangat pembebasan dari segala bentuk penjajahan dan perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Semua itu ialah kulliyat asasiyah yang sangat islami yang digariskan al-Quran dalam berbagai ayat-ayatnya, terutama, kata Raisuni, ayat-ayat Makkiyah.
Selain itu, negara Pancasila dalam pandangan ulama Indonesia, merupakan negara perjanjian dan persaksian karena negara ini didirikan atas kesepakatan dan perjanjian damai bersama dari berbagai elemen-elemen bangsa dan karena itu, semua elemen bangsa yang dihidup dalam negara ini terikat perjanjian damai. Dalam perspektif hadis nabi, semua orang yang melanggar dan merusak perjanjian tidak akan mendapatkan baunya surge. Hal demikian seperti yang dapat dilihat dalam hadis berikut:
“Barang Siapa Menyakiti Kafir Dzimmi, Maka Aku (Rasulullah) Akan Menjadi Lawannya di Hari Kiamat”
“Barang Siapa Membunuh Seorang Kafir Dzimmi (dalam riwayat lain, mu’ahad), maka dia tidak akan mencium bau surga.”
Hadis ini menjadi bukti bahwa usaha teroris untuk membom, membunuh atau menteror warga sipil dalam negara ini akan terkena ancaman hadis nabi di atas. Dengan demikian, segala bentuk usaha yang mengatasnamakan agama untuk merongrong Pancasila, UUD 45 dan NKRI jelas tidak islami dan bisa dianggap sebagai kekuatan jahat. Dengan kata-kata lain, merekalah yang justru thagut…..????