Berguru Kepada Nabi Muhammad, Bagaimana Logikanya?

Berguru Kepada Nabi Muhammad, Bagaimana Logikanya?

Di manakah titik rasionalnya jika ada seseorang yang mengklaim telah berguru kepada Nabi, sementara baca al-Quran saja masih tersandung-sandung?

Berguru Kepada Nabi Muhammad, Bagaimana Logikanya?

Bilamana satu waktu Anda bertemu dengan seorang ustadz, pendakwah, da’i, atau apalah itu namanya, lalu yang bersangkutan mengaku telah belajar Islam secara otodidak, berguru kepada Nabi Muhammad, saran saya sederhana: tinggalkan!!

Tentu saja ada pengecualian, tapi lain waktu saja kita bahas hal itu.

Begini logikanya: Nabi Muhammad itu berada di kurun abad ke-7 M. Saat itu, belum ada teknologi bernama gmaps yang akan memandu para kafilah dagang menyeberangi gurun pasir. Bahkan, Bilal bin Rabbah pun, sewaktu mengumandangkan adzan masih kudu mencari dataran yang tinggi, sebab waktu itu tidak ada pelantang suara di mesjid-mesjid.

Sementara itu, kita hari ini bisa dibilang hidup serba mudah. Ya, kita berada di masa ketika pohon mangga di depan rumah Anda, bisa Anda zoom sampai ke semut-semut rang-rangnya. Artinya, ada jurang peradaban yang cukup berarti antara masa kini dengan masa lalu. Itu satu.

Kedua, dari sejumlah ulama yang menulis kitab, dan bahkan ijtihadnya diikuti oleh banyak orang, saya belum menemukan satupun dari mereka yang memiliki klaim “telah belajar Islam secara otodidak, berguru kepada Nabi Muhammad.”

Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, betapapun ia adalah murid dari Imam Syafi’i. Pun demikian, Imam Syafi’i juga diketahui telah berguru kepada Imam Malik. Begitu seterusnya. Ini dalam konteks yurisprudensi Islam.

Lalu, dalam hal pengajaran al-Qur’an—yang dipercaya sebagai sumber utama dalam ajaran Islam—dinamikanya tentu saja lebih seru lagi.

Anda bisa bayangkan betapa al-Qur’an bisa sampai ke tangan kita hari ini telah melalui perjalanan yang tidak sederhana: mulai dari penulisan Qur’an itu sendiri, kemudian pemberian tanda tajwid, lalu penggandaan mushaf, dan Masuk ke mesin cetak, serta penerjemahan al-Quran, itu semua perdebatannya bisa cukup melelahkan.

Lantas, bagaimana mungkin seorang yang derajatnya masih mengakses al-Qur’an dari ponsel pintar, misalnya, atau mushaf cetak sekalipun, lalu sekonyong-konyong mengumandangkan bahwa dirinya telah belajar Islam, langsung dari sumbernya?

Saya menduga, itu semua merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari kemudahan teknologi. Teknologi hari ini memungkinkan seseorang mempelajari al-Qur’an tanpa harus berhubungan langsung dengan seorang alim atau sebuah lembaga agama. Dipikir dengan memasang headphone lalu memutar murotal, seolah-olah malaikat sedang membisiki ayat-ayat suci kepada mereka.

Padahal, bagaimanapun, al-Quran itu adalah teks lisan. Saya berani bertaruh, dari sekian mufasir yang menulis kitab, tidak ada satupun yang tidak hapal 30 Juz al-Qur’an.

Anda bisa absen, umpama, nama-nama kitab babon seperti Jami’ al-Bayan an Ta’wil ay al-Quran milik Imam at-Thabari, al-Jami’ li Ahkam al-Quran punya Imam al-Qurthubi, Mafatih al-Ghaib-nya Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kasysyaf milik az-Zamakhsyari, lalu al-Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil yang ditulis Imam Baidhawi, dan masih banyak lagi, para pengarangnya pastilah mengahafal al-Qur’an lebih dulu sebelum beranjak merenungi setiap makna dan lalu menuliskan penjelasan firman Allah.

Itulah mengapa aktivitas menghafal al-Quran merupakan langkah awal dalam pembelajaran berkelanjutan. Ini sekaligus menolak pandangan sebagian orang yang menggambarkan bahwa menghafal al-Quran adalah proses mekanis yang konyol dan indoktrinasi agama.   

Ringkasnya, bagi Umat Muslim, al-Qur’an menjadi sumber pemahaman, inspirasi, dan pembelajaran. Itu kondisi idealnya. Demikian catatan Helen N Boyle dalam Quranic School: Agent of Preservation and Change.

Lebih jauh, sebagai teks lisan, al-Qur’an adalah teks oral yang hidup melalui kamampuan mental dan psikologis umat Muslim. Mereka dapat menerjemahkan apa yang terpatri dalam pikiran ke lisan mereka, menghidupkan bacaannya, melantunkan dalam doa dan sembahyang, serta merenungkannya sepanjang hayat.

Persoalannya, di manakah titik rasionalnya jika ada seseorang yang mengklaim telah belajar langsung kepada Rasulullah, sementara baca al-Quran saja masih tersandung-sandung?

Yah, kecuali kalau yang bersangkatuan diam-diam punya mesin waktu milik dokter Strange lalu kembali ke masa Islam awal. Itu pun masih belum cukup. Beruntung kalau dia jadi pengikut Rasul, lhah kalau malah jadi buzzernya Abu Jahal?? Nah lho nah lho.