Berdirinya lembaga dan bangunan mungil bernama Baitul Hikmah di zaman Raja Harun Al-Rasyid, mengilhami tumbuh-kembangnya lembaga-lembaga serupa di belahan dunia. Satu contoh, berdirinya perpustakaan di tengah-tengah kota Paris. Bibliothequ Nationale nama perpustakaan itu.
Adalah Raja Louis XI yang membangun perputakaan pertama di Prancis itu. Ia membangun Bibliothequ Nationale sepulang dari perjalanan perang Salib. Dalam peperangan, sang raja yang gagah sempat melongok-longok Baitul Hikmah. Dan sang raja terpesona.
Pada zamannya, abad ke-9 M, Baitul Hikmah bukan saja sebagai satu-satunya pusat koleksi karya-karya kuno yang penting dan berkualitas, melainkan juga mendorong para pakar dari berbagai disiplin ilmu untuk menggerakkan tradisi penelitian, penulisan, penerjemahan, serta pendokumentasian.
Para ulama atau kiai Indonesia bagian dari gegap-gempita tradisi keilmuan, utamanya ilmu keislaman. Mereka tak tertinggal. Di penghujung abad ke-17, di Arabia, mereka bukan saja belajar, melainkan berlomba memproduksi karya-karya berbobot dalam bidang keislaman. Hasilnya, buah tangan mereka tidak hanya digemari oleh penduduk negeri khatulistiwa, tapi juga dikagumi para ulama di Arabia, daratan yang punya kedekatan sejarah dengan Baitul Hikmah.
Yang wajib dicatat dari sejarah keilmuan Islam di Indonesia adalah Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar at-Tanari al-Bantani al-Jawi. Laki-laki yang wafat di usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 adalah salah satu ulama Indonesia yang menulis puluhan kitab –lazim disebut Kitab Kuning- dalam berbagai disiplin keislaman. Paling tidak, sebanyak 34 karnyanya tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis.
Tafsir Marah Labid merupakan salah satu karya emasnya yang dikaji di pusat-pusat perguruan tinggi Islam dunia. Saking harumnya, nama Syaikh Namawi sering disalahtukarkan dengan Imam an-Nawawi, penerus Imam Asy-Syafi’I dari Damaskus yang tersohor.
Selain Syaikh Namawi, ulama Indonesia yang giat menuliskan pikirannya adalah, antara lain, Syaikh Arsyad al-Banjari, Syaikh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syaikh Yusuf Makasari, Syaikh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syaikh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi, Hadratusy Syaikh Hasyim As’ari, Kiai Bisri Mustofa, dan lain-lain.
Tradisi kepenulisan –berbentuk prosa, syair, deskrispsi, dll.- yang kuat di tangan para ulama Indonesia tidak saja ikut serta mengistikomahkan pengembangan ajaran atau studi Islam, tapi juga turut menjaga budaya-budaya lokal, dalam hal ini bahasa.
Sebut saja Sabilal Muhtadin karya besar dari Syaikh Arsyad al-Banjari (1710–1812). Kitab fiqih ini menggunakan bahasa Melayu sebagai media berkomunikasi. Hanya Sabilal Muhtadin-lah dokumen berbahasa Melayu yang dibaca tiap hari. Selainnya tidak.
Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Sidenreng Rappang (Sidrap), almahum Kiai Abdul Mu’in Yusuf (W 2004) telah berhasil mengupayakan tafsir berbahasa Bugis. Selain santri, tak ada anak-anak Bugis yang membaca karya berbahasa ibunya saban hari.
Di desa Leteh, tidak jauh dari pesisir Jawa, Kiai Bisri Musthofa sukses menulis kitab tafsir berbahasa Jawa “aneh”. Al-Ibriz namanya. Dikatakan bahasa Jawa “aneh” karena menyajikan diksi-diksi yang tak dikenala dalam keseharian, dan di dalamnya menunjukkan campuran bahasa Jawa yang beraneka ragam, ada Cirebonan, Banyumasan, Mataraman, Suroboyoan, dan lain-lain. Tak ada komunitas Jawa manapun yang menggunakan Jawa “aneh” selain komunitas pesantren. Al-Ibriz bukan satu-satunya kitab berbahasa Jawa “aneh”. Masih banyak contoh yang lain.
Keuntungan karya-karya ulama menggunakan bahasa Jawa, Bugis, Melayu, adalah bukan saja mudah diserap dan pas secara rasa, tapi juga sebagai sarana mempertahankan bahasa ibu yang kaya.
Hari ini, sistem keilmuan modern yang cepat saji, serta dunia komunikasi yang revolusioner membuat sejarah emas tradisi penulisan yang dituturkan di atas, di pesantren, di bangku-bangku sekolah atawa kampus, dan di mana-mana, hanya terasa romantisme saja. Tradisi keilmuan di Indonesia tak disertai dengan tradisi kepenulisan yang kuat. Sehingga tradisi keilmuan terasa sunyi.
Untung saja, pesantren hari ini punya KH. Saifudin Zuhri, Mahbub Djunaidi, KH. Abrurahman Wahid, KH. A. Musthofa Bisri, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, dan beberapa gelintir lagi. Di tangan mereka, lewat berbagai model penulisan –puisi, esai, novel, cerpen, dll, tradisi pesantren terus bergerak, bergema, dan terdengar. Tapi, jumlah itu amatlah kecil. Siapa yang hendak meneruskan tradisi penulisan di pesantren?